Dr Abdul Mu’ti, MEd
Walaupun Muhammadiyah bukan gerakan politik praktis, namun berperan dalam dunia politik tetap harus dimainkan Muhammadiyah. Rasanya agak sulit organisasi non politik kemudian melakukan peran politik. Karena seolah-olah politik itu hanya bisa diperankan oleh partai politik saja. Jika politik itu dibawa kepada ranah yang lebih luas, yaitu berkaitan dengan penyelenggaraan negara, maka sudah barang tentu Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan sama sekali dengan realitas kebangsaan itu.
Rumusan keputusan Muktamar 47 Makassar Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah, itu merupakan dokumen politik Persyarikatan. Karena itu menyangkut bagaimana posisi dan pandangan Muhammadiyah mengenai Negara Indonesia. Kalau yang lain menyatakan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati, maka itu termasuk peryataan politik. Dalam konteks Muhammadiyah, Negara pancasila itu kemudian dirumuskan dalam konsep darul ahdi wa syahadah, dan itu pilihan Muhammadiyah.
Sebagai contoh, ketika Isra’ Mi’raj itu diadakan di istana, maka itu bagian dari peristiwa politik, dan kemudian Muhammadiyah memutuskan mengutus anggota PP untuk menjadi pembicara, itu adalah peran politik. Jadi politik itu jangan dimaknai secara sempit sebatas urusan coblos-menyoblos.
Maka dalam rangka menjalankan peran politik itu, ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah mengambil peran politik sebagai opinion maker, organisasi yang senantiasa menyuplai gagasan, konsep, pemikiran, dalam rangka mempengaruhi kebijakan politik dan perundang-undangan. Peran politik ini sangat penting dan Muhammadiyah selama ini sudah melakukan itu. Bentuknya bisa dalam proposisi, usul-usul mengenai penyelenggaraan negara dan format negara.
Sebagai opinion maker, Muhammadiyah bisa melakukan kritik. Amar ma’ruf itu sebagian dari gerakan Muhammadiyah, sebagian lainnya nahi munkar. Itu sudah menjadi satu paket, satu tarikan nafas. Kalau amar ma’ruf itu bersifat proposisi sedang nahi munkar itu koreksi. Maka jika ketua umum PP menyampaikan kritik kepada pemerintah, itu termasuk peryataan politik. Tentu peryataan politik yang disampaikan harus tetap pada koridor khittah Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak boleh buta dan tuli, diam terhadap keadaan. Sebagai kelompok kritis Muhammadiyah harus korektif, yaitu menunjukan kritik terhadap kesalahan dengan memberikan pula solusinya.
Opinion maker juga bisa berbentuk penetrsi politik. Penyampaian gagasan yang berulang-ulang, diresonansi dalam berbagai macam forum, oleh orang yang berbeda-beda tapi muatannya sama itu bisa dilakukan Muhammadiyah. Inilah penetrasi politik.
Peran Muhammadiyah sebagai opinion maker itu sangat mungkin dimaksimalkan sebagai wujud andil dalam politik kebangsaan. Karena selama ini Muhammadiyah masih dipercaya oleh berbagai elemen bangsa untuk menjadi organisasi yang bisa memberikan gagasan dan pemikiran.
Inilah tantangan Muhammadiyah kedepan yang tidak sederhana. Peran politik ini merupakan pilihan, karena terkadang apa yang menjadi gagasan Muhammadiyah belum tentu bisa diterima banyak pihak. Peran ini sama persis dengan tugas seorang muadzin. Mereka mengumandangkan kebenaran tapi belum tentu pula mereka yang mendengar mau melakukanya.
Kedua, untuk menjalankan peran itu, Muhammadiyah bisa melakukan lobi-lobi politik, politik lobi. Tujuannya adalah untuk memperkuat jejaring politik. Caranya tentu dengan melakukan komunikasi politik yang baik dengan berbagai elemen bangsa.
Ketiga, Muhammadiyah mendelegasikan, pendelegasian politik dan distribusi kader dalam berbagai macam kultur, baik di politik, birokrasi, dan lembagalembaga negara lainya. Semuanya itu dilakukan Muhammadiyah dalam rangka melakukan dakwah kebangsaan. (gsh)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 13 Tahun 2016