Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Majelis Tarjih Muhammadiyah yang saya hormati, saya ingin menanyakan, adakah kewajiban seorang Muslim terhadap seorang yang mendapat musibah hilang akal (gila)?
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Azwar Anas (disidangkan pada Jum’at, 20 Muharram 1438 H / 21 Oktober 2016 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelum kami paparkan mengenai kewajiban seorang Muslim terhadap orang yang hilang akal (gila), terlebih dahulu kami cantumkan pengertian gila sebagai berikut:
Gila atau dalam bahasa Arab disebut dengan al-junun, maksudnya adalah sakit jiwa, saraf yang terganggu atau fikiran yang terganggu. Adapun secara istilah gila adalah suatu penyakit yang menutupi atau mengganggu akal, sehingga akal tidak mampu menangkap suatu objek dengan benar dan disertai oleh kebingungan dan kekacauan pikiran. (Ensiklopedi Hukum Islam alMausu’ah al-Fiqhiyah jilid 2 diterbitkan oleh PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, cetakan ke-1 tahun 1996). Gila terbagi menjadi 3 macam:
- Gila seumur hidup, yaitu gila sejak lahir sampai meninggal.
- Gila di tengah perjalanan hidupnya.
- Gila musiman.
Menurut PPDGJ atau Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (yang mengacu pada The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)), gangguan jiwa ialah sindrom atau pola perilaku atau kondisi psikis seseorang yang secara klinis mengalami masalah bermakna. Kondisi tersebut secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan atau hendaya di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Fungsi yang penting itu antara lain dalam segi perilaku, psikologis, dan biologis.
Dalam tinjauan Hukum Islam, orang gila termasuk orang yang tidak terkena beban hukum (ghairu mukallaf) Rasulullah saw bersabda:
عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ [رواه أبو داود].
“Dari Ali alaihis-salam (diriwayatkan) dari Nabi saw., beliau bersabda: Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi dan orang gila hingga ia berakal” [HR. Abu Dawud]
Menurut Abu Dawud, Hadits ini diri wayatkan oleh Ibnu Juraij, dari al-Qasim bin Yazid dari Ali r.a., dari Nabi saw. Ia menambahkan di dalamnya, dan kharif (orang yang kurang akalnya).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa orang gila tidak diberi beban hukum dan terbebas dari dosa karena orang gila adalah orang yang sedang terkena musibah gangguan jiwa dan akalnya karena ia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Namun kalau orang gila itu sudah sembuh ia menjadi seorang mukallaf (mendapat beban hukum). Segala sesuatu yang berkaitan dengan diri dan harta orang gila itu menjadi beban walinya. Yang menjadi wali yakni orang tua atau jika orang tuanya sudah meninggal dunia atau dicabut haknya menjadi wali, diambil dari kerabatnya. Jika dari keluarganya tidak ada yang mampu menjadi wali maka menjadi kewajiban Pemerintah atau penguasa untuk menunjuk pihak yang akan menjadi wali. Wali diperlukan untuk berusaha mencari kesembuhannya dan mewakili orang gila dalam melakukan tindakan hukum.
Islam mengajarkan agar umatnya memberi pertolongan kepada pihakpihak yang membutuhkan termasuk memberikan pertolongan kepada wali orang gila ini atau kepada orang gila itu sendiri dalam hal-hal yang dibutuhkan sejauh kemampuannya, karena orang gila memiliki hak untuk hidup. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS Al-Maidah [5]: 2).
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ ۗ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ .
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs At-Taubah [9]: 71)
Tentang hak hidup dalam Al-Qur’an disebutkan:
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا .
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (Qs AlMaidah [5]: 32).
Sebagai seorang Muslim dalam membantu orang yang terkena musibah (gila), hal yang dapat dilakukan antara lain adalah:
- Membantu biaya pengobatan/ perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan atau orang lain, dan atau mengganggu ketertiban dan atau keamanan umum.
- Memberi bantuan materiil kepada orang yang terkena musibah (gila). Misalnya, memberikan pakaian jika orang tersebut tidak memiliki pakaian agar tetap berpenampilan pantas dan menutup aurat.
- Membantu mengawasi orang yang terkena musibah (gila) agar tidak merusak atau mengganggu ketenteraman masyarakat.
Dalam peraturan perundangan di Indonesia, antara lain dalam UUD 1945, telah diatur tentang hak warga negara pada pasal 27 ayat (2) sebagai berikut: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka orang gila pun berhak mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam pada itu negara juga berkewajiban antara lain, disebutkan di dalam Pasal 34 UUD 1945: “(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Dengan demikian negara juga berkewajiban terhadap orang gila untuk menjaga martabat kemanusiaannya, memberikan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Berkaitan dengan hak hidup dijelaskan dalam UUD 1945 sebagai berikut:
- Pasal 28 G ayat (2): “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
- Pasal 28 I ayat (1): “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Ketentuan dalam pasal 28 G ayat (2) dan 28 I ayat (1) berlaku juga bagi orang gila.
Secara khusus, mengenai orang gila telah diatur dalam perundangan berikut:
- UU HAM No. 39 Tahun 1999 Pasal 42: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Jiwa:
a Pasal 147: “Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggungjawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”.
b Pasal 148:
(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara;
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain”.
c Pasal 149:
(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan atau orang lain, dan atau mengganggu ketertiban dan atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan atau orang lain, dan atau mengganggu ketertiban dan atau keamanan umum.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat.
(4) Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka wajib hukumnya bagi setiap Muslim khususnya dan warga masyarakat pada umumnya untuk memberikan pertolongan dan pelayanan terbaik kepada orang gila agar tidak terlantar, menggelandang mengancam keselamatan dirinya maupun orang lain dan mengganggu ketertiban maupun keamanan umum serta mengusahakan kesembuhannya jika memungkinkan.
Wallahu a‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2018