Oleh: Mukhlis Rahmanto
“Sudah sampai mana perkembangan S3-nya di Malaya? Nanti insya Allah saya bantu karena saya sering diminta menjadi penguji eksternal promosi doktor di APIUM University of Malaya”, tanya Buya. Pertanyaan tersebut ternyata adalah titik perjumpaan saya terakhir dengan Buya dimana beliau selanjutnya harus dirawat intensif di rumah sakit.
Sebenarnya saya lebih suka memanggil beliau dengan Ustadz, karena di Muhammadiyah lebih familiar seorang ulama dipanggil dengan ustadz daripada kiyai. Terdengar lebih egaliter atau setara sebagai bagian ciri dari lanskap sosial di (dan) rahasia bertahannya Muhammadiyah lebih dari satu abad (Kim Hyun-jun, 2010). Padahal beliau sudah bergelar akademik guru besar (profesor).
Atau beliau lebih suka dipanggil Buya, sebutan khas ulama dari tanah kelahiran beliau, Minangkabau. Karena memang beliau adalah salah satu pelanjut benang ulama dan intelektualisme “kaum muda-modernis” di ranah Minang, mulai dari Haji Rasul (ayah Hamka), Syekh Tahir Jalaludin, Syekh Jamil Jambek, Buya Hamka, Buya Syafii Ma’arif, Azyumardi Azra dan banyak cendekiawan-intelektual lainnya.
Yunahar Ilyas lahir di Bukit Tinggi, 22 September 1956. Lulus dari PGA di Padang 1974, mendapat gelar dua gelar sarjana (S1) dari Fak. Tarbiyah IAIN Imam Bonjol (1984) dan Fak. Ushuludin Universitas Ibnu Saud Riyadh, Saudi Arabia (1983), S2 (1996) dan S3 (2003) di UIN Sunan Kalijaga. Sepulangnya dari Timur Tengah, mengajar di Madrasah Mu’allimin dan pesantren mahasiswa Budi Mulia hingga kini menjadi pengasuhnya. Pengajar tetap di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1987-2020) dan diangkat sebagai guru besar Ilmu-ilmu al-Qur’an tahun (2004).
Di UMY beliau juga diamanahi sebagai ketua Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) dan menerbitkan buku magnum opus-nya “Kuliah Akidah” (1992) dan “Kuliah Akhlak”(1999) yang kini menjadi diktat kuliah klasik mata kuliah teologi Islam para mahasiswa di Indonesia, khususnya Perguruan tinggi Muhammadiyah. “Rezeki Allah itu salah satunya lewat royalti menulis buku. Seperti para ulama dahulu yang kini royalti karya-karyanya menjadi amal jariyah bagi umat”, ucap beliau kepada koleganya, Ust. Syakir Jamaludin. Karya lainnya berjumlah puluhan salah satunya “Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), mewakili kecenderungan pemikirannya untuk menjaga umat dari pemikiran-pemikiran yang dalam pandangannya dianggap “menyimpang”. Hal yang terus ia yakini dan perjuangkan hingga akhir hayat sebagai bagian dari dakwah Islam.
Di Muhammadiyah ia diamanahi sebagai ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah 2000-2005 dan Ketua PP Muhammadiyah 2005-2020, dimana ia mewakili dan merepresentasikan sosok “ulama” di jajaran PP Muhammadiyah, serta merawat jaringan Muhammadiyah dengan Timur Tengah. Sebagai da’i, ia banyak melakukan safari dakwah berkeliling Indonesia dan internasional, serta istiqamah merawat jamaah pengajian tafsir Al-Qur’an kamis pagi di kantor PP Muhammadiyah Cik di Tiro Yogyakarta. Ia juga aktif di Majelis Ulama Indonesia pusat dan terakhir sebagai wakil ketuanya. Keaktifannya tersebut mencerminkan jaringannya yang melintas batas seluruh gerakan-organisasi Islam di Indonesia.
Ia adalah pribadi yang teguh memegang prinsip dan pandangannya, namun tetap menyelingi kisah-kisah jenaka-humor dalam setiap ceramah dan kuliahnya, sehingga banyak mahasiswa yang rebutan ingin mengambil kelas yang diajarnya. Jamaah pengajian yang diasuhnya, baik di dunia nyata dan maya, selalu merindukan ceramah-ceramahnya yang berisikan solusi-solusi masalah keseharian hidup dan untaian tafsir Al-Qur’an yang merupakan keahliannya.
Kepergian Buya Yunahar Ilyas adalah kepergian ulama, mursyid (pembimbing) kompas dan akidah umat Muhammadiyah dan Islam Indonesia. Kepergian seorang ulama adalah hilangnya sedikit demi sedikit struktur bangunan warisan Nabi, yaitu ilmu. Sabda Nabi: “Innallaha la yaqbidhu al-ilma intiza’an yantazi’uhu minal-‘ibad, walakin yaqbidhu al’ilma biqabdhi al-‘ulama,hatta idza lam yubqi ‘aliman, ittakhadza an-nasu ru’usan juhhalan fasu’ilu fa’aftau bi-ghairi ‘ilmin, fadhallu wa ‘adhallu, Sungguh Allah tidak mencabut ilmu secara sekaligus dari manusia, tetapi Allah mencabutnya dengan mewafatkan para ulama hingga bila tidak tersisa ulama lagi, manusia pun akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang jahil, ketika ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, pun mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Al-Bukhari).
Mukhlis Rahmanto, murid dan kolega beliau di FAI UMY