In Memoriam Buya Yunahar Ilyas
Oleh: Haidir Fitra Siagian
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Sekembali dari salat subuh tadi di Masjid Omar Wollongong, kemudian tiba di rumah, melanjutkan tadarrus bersama dengan keluarga. Sambil mendengarkan putriku mengaji, saya buka buka telepon genggam. Pesan pertama yang saya baca adalah meninggalnya Buya Prof. Dr. K.H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag., pada grup WA Muhammadiyah Ranting NSW Australia. Untuk memastikannya, saya buka grup lain dari teman-teman Angkatan Muda Muhammadiyah tingkat pusat. Memang betul, almarhum telah mendahalui kita, tadi malam, kurang sedikit pukul dua belas tengah malam. Dalam halaman media online nasional terkemuka dan media sosial lainnya juga sudah memuat berita duka ini.
Saya bersyukur pernah berbincang akrab dengan Buya dan mendapat langsung nomor telepon selulernya pada tahun 2015 lalu. Saya itu sebagai Ketua Bidang Kesekretariatan Panitia Muktamar Muhammadiyah di Makassar, saya bertugas menjemput beliau di Bandara Sultan Hasanuddin Maros. Begitu bertemu di bandara saya minta nomor kontaknya. Dalam perjalanan dari bandara ke hotel, saya banyak bertanya kepada Buya. Setiba di hotel, saya antar menuju kamarnya. Ketika membuka pintu hotel, saya cari stop kontak lampu. Malu saya, ternyata hotel itu tidak memakai stop kontak manual. Sambil senyum, Buya minta kunci, lalu menempelkannya ke saklar dekat pintu masuk supaya lampu bisa menyala.
Bagi saya, almarhum adalah guru agama pun penasihat. Secara formal memang saya bukanlah anak didiknya, baik di bangku sekolah maupun di kursi perkuliahan. Ilmu agama saya peroleh dari beliau dengan empat cara. Pertama, membaca buku yang buya terbitkan. Bukunya yang paling terkenal adalah “Kuliah Akhlak” dan “Kuliah Aqidah”. Awal tahun 2000-an buku ini sangat laris. Selain membacanya, saya juga menjualnya di lingkungan keluarga Muhammadiyah di Sulawesi Selatan. Saat ini, selain sebagai staf kantor PWM Sulsel, saya juga “nyambi” menjual pernak-pernik organisasi, termasuk buku-buku dan kalender.
Kedua, adalah mendengar ceramah langsung beliau ketika datang berkunjung ke Makassar. Terakhir kali saya bertemu langsung dengan almarhum adalah ketika membawakan materi rapat koordinasi dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, 16 September 2017 di Kampus Unismuh Makassar. Beberapa bulan sebelumnya pun saya masih sempat bertemu dengan almarhum dalam acara Syawalan Keluarga Besar Muhammadiyah Sulawesi Selatan di halaman Gedung Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan, 1 Juli 2017. Saat itu saya bertindak sebagai Sekretaris Panitia Pelaksana, sedangkan Ketua Panitianya adalah Ustadz H. Thamrin Taha, yang juga Ketua Majelis Dikdasmen PWM Sulsel.
Ketiga adalah melalui media online dan media sosial. Dalam media online, beberapa tulisan dan pernyataan keagamaan Buya sangat mencerahkan. Demikian pula dalam tanggapan beliau yang bijaksana dalam berkomunikasi menjawab pertanyaan wartawan. Sedangkan melalui media sosial, almahum memiliki akun Youtube, yang menyajikan ceramah keagamaan. Metode ceramahnya dalam akun tersebut memakai pendekatan yang berbeda dengan ustadz lain dalam media sosial, yang kerap menyelip gurauan lucu dan mengundang tawa.
Uniknya meski tidak bergurau, ceramah almarhum jika dihayati lebih mendalam, dapat mengundang tawa. Bukan karena bahasa atau kata-katanya, tetapi dalam fakta yang beliau kemukakan, kelucuan yang terjadi dalam kehidupan kita di negeri ini. Baik dilakukan oleh warga negara, maupun oleh para pemimpin negeri ini, kalangan elit politik, pejabat, dan tokoh masyarakat atau opinion leader lainnya.
Keempat adalah dengan cara konsultasi pribadi masalah keagamaan. Saya beberapa kali mengirim pertanyaan melalui pesan singkat, baik melalui SMS atau WhastApp. Melalui nomor yang dia berikan, saya sering bertanya masalah agama. Paling tidak yang saya ingat ada dua hal yang pernah saya tanyakan. Pertama perihal meminta pinjaman untuk naik haji. Apakah boleh saya berhutang melunasi ongkos naik haji, supaya bisa dapat nomor porsi yang lebih cepat. “Apa alasannya berhutang”, jawabnya secara singkat. Kemudian mengenai polemik air kencing unta diminum langsung untuk kepentingan obat. “Jelas, ada hadistnya, sahih, dan tak perlu diperdebatkan”, jawabnya singkat.
Dalam acara Syawalan tahun 2017 lalu, saya masih ingat isi ceramah beliau. Yakni pentingnya meningkatkan silaturrahim. Beliau menyampaikan kisahnya membangun silaturrahim ketika masih kuliah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Suúd, Riyah, Arab Saudi. Awal masuk kuliah, beliau bertemu dengan dekan fakultas saat salat berjamaah. Lalu dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa baru dari Indonesia. Setiap bertemu dengan dekan, beliau selalu mengupayakan menjabat tangan dan mengucapkan salam. Sehingga dekannya saat itu menjadi mengenal nama dan raut mukanya. Ketika akan ada pengiriman petugas haji, beliau mendaftarkan diri. Jatah itu terbatas. Biasanya yang lulus setiap tahun adalah ketua persatuan mahasiswa, itu sudah lumrah dari tahun ke tahun.
Khusus tahun ini, utusan dari Indonesia ada dua orang. Ketua persatuan mahasiswa Indonesia dan beliau sendiri. Kenapa bisa dua orang? Dekan yang membaca nama Yunahar ikut mendaftar. Dekan ingin Yunahar yang ikut. Tetapi pihak rektorat menyatakan tidak bisa, harus ketua saja, nanti mereka protes. Kalau begitu, masukkan dua-duanya, kata pak Dekan. Bagi Yunahar, inilah salah satu nikmat besar yang dia peroleh karena membangun silaturrahim dengan pimpinan, atasan atau orang yang dituakan. Hanya dengan sering menjabat tangan dan mengucapkan salam, silaturrahim berbuah tiket ibadah haji plus dinar.
Prof Yunahar adalah sosok ulama tawaddu. Ketika Muktamar Muhammadiyah di Makassar tahun 2015, beliau bersama Prof. Haedar Nashir sama-sama berpeluang menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jumlah perolehan suara keduanya tidak terpaut jauh. Akan tetapi demikianlah dalam Muhammadiyah, tidak ada yang namanya rebutan jabatan, tidak ada sikut-sikutan maupun saling menjatuhkan. Semua diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Pak Haedar terpilih sebagai Ketua Umum, sedangkan Prof. Yunahar berada sebagai salah seorang ketua.
Selain sebagai pengurus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Yunahar pun aktif sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat selama dua periode. Sebagai Wakil Ketua Umum, sesungguhnya beliau sempat memiliki peluang menjadi Ketua Umum. Hal tersebut terjadi menjelang Pemilihan Umum 2019 lalu. Akan tetapi beliau tidak melakukan gerakan apapun untuk mendapati jabatan tersebut, karena demikianlah watak beliau. Tawaddu, rendah hati dan sama sekali tidak pernah terpikir untuk memeroleh jabatan apapun. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan keagamaan, pengalaman dan kedudukan sosialnya, beliau sesungguhnya bisa menjadi ustadz terkenal di negeri ini. Dalam kenyataannya masih lebih banyak ustadz lain yang lebih populer dan menjadi rujukan bagi umat Islam Indonesia.
Almarhum lahir di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, 22 September 1956. Guru besar Fakultas Agama Islam Yogyakarta ini meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak. Seorang anaknya telah berpulang pada tahun 2004 lalu.
Almarhum telah mewariskan ilmu besar kepada kita semua melalui setidaknya empat belas judul karya ilmiah yang terdiri dari buku dan artikel dalam jurnal. Beliau memulai karir sebagai guru Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1984. Banyak berdakwah di dalam dan di luar negeri dalam berbagai kesempatan, baik sebagai pengurus Muhammadiyah, pengurus MUI maupun selaku akademisi. Mencerahkan umat dengan lembut namun penuh ketegasan.
Wassalam
Wollongong, 03 Januari 2020 ba’da subuh
Haidir Fitra Siagian, Dosen UIN Alauddin Makassar, tinggal di Gwynneville, Wollongong, New South Wales, Australia