Larangan Menikahi Orang Musyrik (2) Surat Al-Baqarah Ayat 221

Larangan Menikahi Orang Musyrik (2) Surat Al-Baqarah Ayat 221

Buku Nikah

 

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Antara kata ahlul kitab dan al-musyrikin terdapat huruf athaf (menghubungkan)  yang menunjukkan bahwa keduanya berbeda, namun keduanya menunjukkan kelompok orang kafir  (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, hlm. 349).  Pendapat  yang membedakan antara musyrik dan ahlul kitab ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5):5, yang mengizinkan seorang muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab yang berbunyi,

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَآ آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ

(Dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga  kehormatan  di antara orang-orang yang diberi  al-Kitab  sebelum kamu, bila kamu  telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Sementara itu para ulama yang berpendapat bahwa kata al-musyrik mempunyai  makna  umum  terhadap  semua  orang  yang mempersekutukan Allah termasuk di dalamnya ahlul kitab, menilai bahwa Q.S. al-Maidah (5):5 itu telah  di-nasakh (dibatalkan) hukumnya oleh Q.S.al-Baqarah (2):221 di atas. Akan tetapi  pendapat  ini  sulit diterima, karena  surah al-Baqarah lebih dahulu turunnya dibanding surat al-Maidah, dan bahkan disepakati bahwa surat al-Maidah  merupakan  surat  yang  terakhir  diturunkan. Oleh karena itu, tidak logis jika  ayat  yang  lebih  dahulu  diturunkan  membatalkan  hukum  ayat yang datang  sesudahnya.

Dengan penjelasan di atas, maka pesan yang dimaksud oleh ayat ini adalah, larangan bagi laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik sebelum mereka benar-benar beriman. Allah memberikan penegasan bahwa perempuan yang beriman, sekalipun dari kalangan budak, lebih baik dari pada perempuan musyrik yang menarik hati.

وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun menarik hatimu.

Dalam  kitab  Tafsīr  Ibnu Katsīr tercantum hadis yang menjelaskan sebab  turunnya ayat 221 tersebut  (Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm,(Kairo: Dār al-Hadīs, th.1426H/2005M), jilid I, hlm.560). Ayat tersebut turun  berkenaan  dengan  Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba  sahaya wanita yang hitam. Pada suatu waktu Abdullah bin Rawahah marah  kepadanya, sampai  menamparnya.  Kemudian  ia  menyesali perbuatannya itu, lalu menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal itu. Kemudian  terjadilah  dialog antara Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah sebagai berikut,

قال النبي صلى الله عليه و سلم له : ما هي يا عبد الله قال : تصوم وتصلي وتحسن الوضوء وتشهد أن لا إله إلآ الله وأنك رسول الله فقال : يا عبد الله هذه مؤمنة فقال عبد الله : فوالذي بعثك بالحق لأعتقنها ولأتزوجنها ففعل فطعن عليه ناس من المسلمين

Rasulullah berkata kepada Abdullah,“Perempuan seperti apa dia?” Abdullah menjawab,“Ia berpuasa, shalat, wudhunya bagus, Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain  Allah  dan engkau utusan Allah.” Nabi bersabda,“Hai Abdullah, ini adalah perempuan mukmin.” Abdullah menjawab,“Demi Allah yang telah mengutus Engkau dengan benar, saya akan memerdekakannya dan akan mengawininya.” Kemudian  iapun  menikahinya.  Pada  waktu itu sebagian orang-orang  muslim mencela tindakannya itu.

Hadis di atas menegaskan bahwa mengawini wanita budak, yang status sosialnya  lebih  rendah  dan tidak cantik, tetapi beriman lebih baik dari mengawini wanita musyrik, walaupun cantik, dari keturunan terhormat dan menarik hati. Di sini  ditegaskan  bahwa  dalam  menentukan  pilihan jodoh untuk dinikahi, pertimbangan utama bukan pada kecantikan, status sosial, harta kekayaan, dan seumpamanya, tetapi adalah iman. Karena dengan iman, seorang akan mencapai kesempurnaan agama dan dunia sekaligus, sedangkan dengan kecantikan, status sosial dan harta kekayaan, orang hanya akan memperoleh kesempurnaan  dunia. Kebahagiaan  rumah tangga tidak bisa dicapai hanya dengan kesempurnaan dunia semata, karena itu, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan  oleh  al-Bukhari  dan  Muslim  dari Abu Hurairah dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Dahulukanlah karena agamanya, anda akan bahagia”. Bersambung

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2017

Exit mobile version