وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
- Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Antara kata ahlul kitab dan al-musyrikin terdapat huruf athaf (menghubungkan) yang menunjukkan bahwa keduanya berbeda, namun keduanya menunjukkan kelompok orang kafir (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, hlm. 349). Pendapat yang membedakan antara musyrik dan ahlul kitab ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5):5, yang mengizinkan seorang muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab yang berbunyi,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَآ آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ
(Dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Sementara itu para ulama yang berpendapat bahwa kata al-musyrik mempunyai makna umum terhadap semua orang yang mempersekutukan Allah termasuk di dalamnya ahlul kitab, menilai bahwa Q.S. al-Maidah (5):5 itu telah di-nasakh (dibatalkan) hukumnya oleh Q.S.al-Baqarah (2):221 di atas. Akan tetapi pendapat ini sulit diterima, karena surah al-Baqarah lebih dahulu turunnya dibanding surat al-Maidah, dan bahkan disepakati bahwa surat al-Maidah merupakan surat yang terakhir diturunkan. Oleh karena itu, tidak logis jika ayat yang lebih dahulu diturunkan membatalkan hukum ayat yang datang sesudahnya.
Dengan penjelasan di atas, maka pesan yang dimaksud oleh ayat ini adalah, larangan bagi laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik sebelum mereka benar-benar beriman. Allah memberikan penegasan bahwa perempuan yang beriman, sekalipun dari kalangan budak, lebih baik dari pada perempuan musyrik yang menarik hati.
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun menarik hatimu.
Dalam kitab Tafsīr Ibnu Katsīr tercantum hadis yang menjelaskan sebab turunnya ayat 221 tersebut (Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm,(Kairo: Dār al-Hadīs, th.1426H/2005M), jilid I, hlm.560). Ayat tersebut turun berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba sahaya wanita yang hitam. Pada suatu waktu Abdullah bin Rawahah marah kepadanya, sampai menamparnya. Kemudian ia menyesali perbuatannya itu, lalu menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal itu. Kemudian terjadilah dialog antara Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah sebagai berikut,
قال النبي صلى الله عليه و سلم له : ما هي يا عبد الله قال : تصوم وتصلي وتحسن الوضوء وتشهد أن لا إله إلآ الله وأنك رسول الله فقال : يا عبد الله هذه مؤمنة فقال عبد الله : فوالذي بعثك بالحق لأعتقنها ولأتزوجنها ففعل فطعن عليه ناس من المسلمين
Rasulullah berkata kepada Abdullah,“Perempuan seperti apa dia?” Abdullah menjawab,“Ia berpuasa, shalat, wudhunya bagus, Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan engkau utusan Allah.” Nabi bersabda,“Hai Abdullah, ini adalah perempuan mukmin.” Abdullah menjawab,“Demi Allah yang telah mengutus Engkau dengan benar, saya akan memerdekakannya dan akan mengawininya.” Kemudian iapun menikahinya. Pada waktu itu sebagian orang-orang muslim mencela tindakannya itu.
Hadis di atas menegaskan bahwa mengawini wanita budak, yang status sosialnya lebih rendah dan tidak cantik, tetapi beriman lebih baik dari mengawini wanita musyrik, walaupun cantik, dari keturunan terhormat dan menarik hati. Di sini ditegaskan bahwa dalam menentukan pilihan jodoh untuk dinikahi, pertimbangan utama bukan pada kecantikan, status sosial, harta kekayaan, dan seumpamanya, tetapi adalah iman. Karena dengan iman, seorang akan mencapai kesempurnaan agama dan dunia sekaligus, sedangkan dengan kecantikan, status sosial dan harta kekayaan, orang hanya akan memperoleh kesempurnaan dunia. Kebahagiaan rumah tangga tidak bisa dicapai hanya dengan kesempurnaan dunia semata, karena itu, dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Dahulukanlah karena agamanya, anda akan bahagia”. Bersambung
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2017