Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum w. w.
Sebelumnya saya minta maaf, saya ingin menanyakan apa hukumnya penelitian medik menggunakan objek manusia. Manusia dijadikan bahan penelitian untuk mencoba obat-obatan yang dibuat guna membandingkan dengan obat yang sudah ada di pasaran. Mohon disertakan landasannya. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Nur Wahid (disidangkan pada hari Jum’at, 17 Muharram 1437 H / 30 Oktober 2015)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan Anda. Agama Islam dengan syariatnya selalu berusaha menjaga aspek-aspek yang mutlak adanya bagi manusia atau yang lebih sering disebut dengan Maqasid asy-Syari’ah (tujuan-tujuan disyariatkannya hukum Islam) yaitu hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu an-nafs (menjaga jiwa), hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), hifdzu al-‘aql (menjaga akal) dan hifdzu al-mal (menjaga harta) (Asy-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat fi Ulum al-ushul). Salah satu dari Maqasid asy- Syari’ah adalah hifdzu an-nafs (menjaga jiwa), artinya adalah bahwa Islam selalu menjaga jiwa manusia untuk tetap hidup dan diakui eksistensinya serta agar tidak dengan mudah dihilangkan (dibunuh) tanpa sebab yang diperbolehkan oleh syariat Islam (dengan cara yang haq) seperti qisas maupun diyat. Firman Allah dalam QS. Al-Isra’: 33
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ … [الإسراء، 17: 33].
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar … [QS. al-Isra’ (17): 33].
Allah juga berfirman dalam ayat lain, sebagai berikut ;
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ [المائدة، 5: ٣٢].
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. [QS. al-Maidah (5): 32]
Ketetapan hukum pada QS. al-Maidah (5): 32 ini termasuk dari syari’at pada umat terdahulu/umat sebelum Islam (syar’u man qablana), meskipun demikian syari’at itu tetap berlaku bagi umat sekarang (umat Islam).
Penelitian medik menurut Islam adalah diperbolehkan. Namun berkaitan dengan pertanyaan saudara, bahwa manusia sebagai bahan penelitian medik untuk mencoba obat-obatan yang dibuat guna membandingkan dengan obat yang sudah ada di pasaran adalah tidak sesuai dengan hukum Islam dengan didasarkan pada prinsip sadd adz-dzari’ah (prinsip pengambilan langkah preventif), yakni untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Hal ini karena uji coba obat-obatan yang dilakukan pada manusia bisa jadi akan menimbulkan kerugian bagi manusia seperti cacat tubuh bahkan kematian.
Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa menjadikan manusia sebagai objek penelitian medik untuk uji coba obat-obatan adalah dilarang atau haram hukumnya. Hal ini disebabkan di dalam penelitian medik dengan objek manusia itu mengandung kemungkinan antara berhasil dan gagal. Bisa jadi risiko gagal adalah lebih besar dari pada hanya sekedar mengetahui perbandingan khasiat obat tersebut dengan obat yang sudah beredar di pasaran, seperti terenggutnya nyawa seseorang. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fikih:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak kerusakan (mafasid) lebih didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan.
Risiko lebih besar yang mungkin terjadi seharusnya dihindari. Hal ini sebagimana Hadis Rasulullah saw sebagai berikut :
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ [رواه ابن ماجه]
Dari Ubadah bin ash-Shamit (diriwayatkan) bahwasanya Rasulullah saw menetapkan: Tidak boleh memadharatkan dan tidak boleh dimadharatkan. [HR. Ibnu Majah]
Juga sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
اَلضَّرَرُ يُزَالُ
Bahaya itu harus dihilangkan.
Terlebih lagi, dalam ayat yang lain dijelaskan bahwa Allah telah memuliakan manusia atas makhluk-makhluk Allah yang lain. Firman Allah SWT:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا [الإسراء، 17: ٧٠].
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. [QS. al-Isra’ (17): 70]
Berdasarkan QS. al-Isra’ (17): 70 di atas, maka menjadikan manusia sebagai objek penelitian secara tidak langsung telah merendahkan manusia dengan menyamakan manusia seperti hewan-hewan yang biasa digunakan untuk objek penelitian. Pada penelitian medik, biasanya yang digunakan sebagai objek adalah hewan, seperti kera, tikus atau kelinci.
Wallahu a‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2016