Apa sebenarnya yang menjadi sumber persoalan dan petaka yang terus menghantui kehidupan di masyarakat atau suatu bangsa? Salah satu jawaban yang layak diajukan adalah sifat tamak, atau hasrat berkuasa, dan nafsu posesif yang tak terkendali dalam diri manusia. Tamak adalah sikap rakus terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan tanpa memperhitungkan mana yang halal dan haram. Sifat ini sebagai sebab timbulnya rasa dengki, hasud, permusuhan, serta perbuatan keji dan munkar lainnya. Korupsi, pembegalan, perampokan, penipuan, dan perilaku lacur lainnya bermuara pada ketamakan.
Serakah atau tamak merupakan sikap yang selalu ingin memperoleh sesuatu yang banyak untuk diri sendiri atau kelompoknya. Sudah menjadi suratan, lazimnya orang tamak selalu mengharap pemberian orang lain yang sebanyak-banyaknya, namun dia sendiri justru bersikap pelit atau bakhil. Orang yang tamak selalu merasa bahwa harta kekayaan yang dimilikinya selalu kurang dan berat untuk bersyukur kepada Allah SwT. Rakus atau tamak (al-hirshu) atau (ath-thama’u) yaitu suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain.
Rasulullah menggambarkan sikap rakus dengan sangat tandas: “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas dia akan mencari agar menjadi dua lembah dan tidak ada yang akan menutup mulutnya melainkan tanah. Dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Tamak merupakan tabiat pada kebanyakan manusia yang amat mencintai harta benda. Jika memiliki harta benda, maka ia takut bila kehilangan sebagian dari hartanya dan berhasrat untuk menambah lebih banyak lagi.
Ungkapan tentang bahaya sikap tamak dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa rakusnya seseorang terhadap harta benda dan kedudukan akan merusak agamanya dan kerusakan ini lebih dahsyat dibanding kerusakan dua serigala yang sedang lapar terhadap kambing yang menyen diri. Kalimat bijak lainnya datang dari Mahatma Gandhi, “Bumi mampu mencukupi semua kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak mampu mencukupi kerakusan seorang manusia.” Begitulah, tamak dapat menyebabkan seseorang lupa menyembah kepadaNya, dapat berlaku kikir, memeras serta merampas hak-hak orang lain.
Secara moral Islam menganjurkan untuk mencari harta sebagai bekal hidup di dunia seolah-olah hidup ini tidak akan berakhir. Dengan kekayaan, seseorang bisa membantu orang lain, mengentaskan mereka dari kemiskinan dan ketidakberdayaan. Begitu juga dengan kekuasaan seseorang bisa membuat aturan yang jauh lebih baik, bisa membantu masyarakat kecil yang teraniaya secara hukum. Namun harta dan kekuasaan harus dicapai dengan cara benar dan halal serta digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Hanya orang yang rakus sajalah yang ingin dan ingin terus menumpuk harta tanpa memikirkan nasib orang sekitarnya.
Rasulullah saw mengingatkan, “Hai manusia, berbaik-baiklah dalam mencari (nafkah), karena sesungguhnya hamba tidak mendapatkan (sesuatu), kecuali apa yang telah ditakdirkan padanya.” Tindakan yang rakus termasuk akhlak buruk terhadap Allah. Ini berarti peringatan kepada manusia, agar tidak terlalu mengejar nafkah yang seharusnya bukan milikinya.
Ketamakan terhadap harta hanyalah akan menghasilkan sifat buas, laksana serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya walaupun harta itu bukan haknya. Fitrah manusia memang sangat mencintai harta kekayaan dan berhasrat keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara dan usaha.
Untuk menghindari sifat tamak dapat dilakukan dengan selalu meminta pertolongan Allah supaya dijauhkan dari sifat serakah, sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup dan hemat dalam biaya hidup, jangan merasa cemas berlebihan terhadap kejadian di masa datang, puas terhadap apa yang dimiliki, serta meneladani orang-orang yang mulia yang mampu menjauhi sifat serakah.
Selanjutnya, agar tidak dikendalikan nafsu serakah terhadap dunia, membiasakan hidup dengan sifat wara’ (hati-hati), qanaah (merasa puas atas apa yang telah dianugerahkan Allah), membiasakan berempati terhadap kehidupan masyarakat bawah, serta pandai mensyukuri nikmat yang ada. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Qs Ibrahim [14]: 7).
Mutohharun Jinan, Pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2015