Siapa yang tidak kenal dengan Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih populer dengan nama penanya, Hamka. Semua orang tentu sudah sangat familiar dengan nama legendaris tersebut, entah dari buah emas pikiran yang tertulis dalam buku-buku atau dari suara yang senantiasa mengingatkan manusia untuk kembali kepada jalan Tuhan-nya.
Banyak yang menyebutnya sebagai seorang ulama, cendikiawan, sekaligus juga sastrawan. Gagasannya tidak hanya terhenti pada lisan maupun tulisan, namun juga terejewantahkan dalam sikap pilitik kebangsaan. Manusia penuh kebijaksanaan yang tak pernah merawat dendam kepada siapapun. Jiwa kesederhanaan yang melekat kuat pada hidupnya, menumbuhkan cinta kepada siapapun yang mengenalnya. Menjunjung tinggi rasa hormat kepada siapa saja yang berbeda. Sosok yang berilmu tinggi namun rendah hati.
Hamka begitu transparan dalam memori publik, sebab seluruh isi pikiran dan perjalanan hidupnya terbaca terang dalam hamparan karyanya yang tidak kurang dari 115 buku, dan tidak kurang 195 buku yang terkait dengan Hamka yang hingga kini beredar di masyarakat. Karya ini belum termasuk seluruh tulisan Hamka yang tercecer dalam media yang terbit di seluruh Nusantara sejak dirinya remaja hingga wafatnya.
Siapa mengira bahwa Hamka tidak pernah menuntut ilmu secara formal, apalagi lulus dari Universitas Al-Azhar yang merupakan tujuan pilihan banyak pelajar di seantero dunia. Dikutip dari majalah Suara Muhammadiyah edisi ke-17 tahun 2018 bahwa dirinya mengaku tidak lulus sekolah paling rendah sekalipun.
Namun untuk menutupi kekurangannya tersebut, Hamka adalah sosok yang sangat gemar membaca. Sejak kecil, Hamka sudah keranjingan membaca. Ketika Hamka kecil tahu bahwa gurunya Zaenuddin Labay El Yunusy membuka Bibliotek, yaitu tempat penyewaan buku, maka Hamka selalu menyewanya setiap hari. Setelah membaca Hamka selalu menyalinnya kembali dengan tulisan sendiri. Ketika uangnya habis, Hamka selalu membantu pekerjaan di percetakan, dan imbalan yang dipintanya yaitu diperbolehkan membaca buku.
Termasuk ketika Hamka naik haji dan menetap di Makkah, untuk menyambung hidupnya karena perbekalan sangat terbatas, Hamka bekerja di percetakan kitab. Disana pula Hamka tenggelam dalam lautan ilmu. Ratusan kitab dibacanya. Di tempat itu Hamka antara bekerja dan menuntut ilmu.
Walaupun tidak menamatkan satu pun pendidikan formal, namun cara belajar yang otodidak (banyak membaca) dan berguru langsung kepada tokoh-tokoh tertentu membuat Hamka memiliki keluasan pengetahuan, kedalaman ilmu, dan keluhuran budi. Lalu bagaimana dengan kita yang dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang ada. Apakah kita bisa lebih baik dari Buya Hamka atau malah sebaliknya. Hanya diri kita sendiri yang bisa menentukannya.(diko)