Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya melihat orang yang masbuk membuat jamaah lagi, seorang menjadi imam. Ada pula yang menyatakan shalatnya batal hingga timbul pro-kontra. Manakah yang benar, masbuk meneruskan atau menggenapi kekurangan rakaatnya secara sendiri-sendiri atau berjamaah dengan salah satunya menjadi imam? Mohon penjelasan Majelis dengan hadits Nabi saw.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
- Bapak Wakidjo Az, Agen SM No. 025, Pekalongan Metro Lampung
- M, Kec. Labuhan Haji Tengah. Kab. A. Selatan 23761
(Disidangkan pada hari Jumat, 26 Jumadal Ula 1435 H / 28 Maret 2014)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Sebenarnya pertanyaan yang sama pernah ditanyakan dan dijawab pada rubrik fatwa agama SM No. 13 tahun ke-83/1998. Namun untuk lebih jelasnya akan kami sampaikan kembali.
Secara sederhana, maksud pertanyaan tersebut adalah ada seorang yang masbuk dijadikan imam oleh jamaah di sampingnya yang sama-sama masbuk dengan cara mundur atau majunya jamaah tersebut. Dengan kata lain, seorang masbuk menjadi imam bagi masbuk juga. Pada kasus seperti ini memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalil yang digunakan oleh orang yang membolehkan seorang masbuk berimam sesama masbuk adalah sebagai berikut:
عَن اَبى هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا . [رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي الصَّحِيحِ 908]
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Jika sudah iqamat untuk shalat, maka janganlah mendatanginya dengan tergesa-gesa dan tidak sopan, hendaknya kalian bersikap tenang. Apa yang kamu dapatkan dari shalat, maka lakukanlah seperti itu, adapun yang tertinggal maka sempurnakanlah kekurangannya.” [HR. al-Bukhari No. 908]
Hadis tersebut dijadikan dalil bagi mereka yang membolehkannya. Mereka memahami bahwa menyempurnakan sisa rakaat shalat makmum yang masbuk tersebut adalah dengan membentuk jamaah lagi. Yakni dengan mengangkat salah seorang menjadi imam shalat. Mereka mendasarkan pendapat mereka dengan dalil umum sebagaimana dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةُ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ . [رواه أبو داود في سننه رقم 2608]
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila tiga orang keluar untuk melakukan safar, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi pemimpin.” [HR. Abu Dawud no.2608, hadis ini hasan shahih]
Dari hadis tersebut mereka memahami bahwa apabila seseorang masbuk, maka hendaklah ia mengangkat salah seorang temannya untuk menjadi imam sebagaimana keumuman hadis Nabi saw di atas. Sehingga untuk menyempurnakan kekurangan rakaat shalatnya, mereka membentuk jamaah baru.
Sedangkan ulama yang melarangnya memahami lafaz hadis فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا dengan menyelesaikan kekurangan rakaat shalat secara sendiri-sendiri. Nabi saw hanya menyuruh menyempurnakan kekurangan shalat yang tidak bisa dikerjakan bersama imam dan tidak menyebutkan/memerintahkan untuk dilaksanakan secara berjamaah dengan mengangkat imam baru dalam menyempurnakan kekurangan shalatnya itu. Kewajiban masbuk selanjutnya adalah menyelesaikan/menyempurnakan rakaat yang menjadi kekurangannya, yaitu rakaat yang tertinggal dari imam. Apa yang didapati masbuk beserta imam, itulah yang dipandang permulaan shalat baginya dan yang harus disempurnakan sesudah imam salam itulah akhir shalat baginya. Nabi saw sendiri hanya memerintahkan untuk menyempurnakan kekurangannya saja, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhari.
Apabila kita cermati hadis tentang mengangkat pemimpin ketika tiga orang melakukan perjalanan, tidak secara khusus berkaitan dengan kaifiyah shalat. Hadis tersebut berkaitan dengan persoalan imarah dan khilafah, bukan secara khusus persoalan imam dalam shalat. Oleh karena itu tidak bisa dijadikan dalil mengenai persoalan tatacara shalat yang seperti itu. Padahal dalam persoalan ibadah ada kaidah yang mengatakan
الأَصْلُ فِى العِبَادَاتِ التَوْقِيْفُ وَ الِاتْبَاعُ
“Hukum asal dalam perkara ibadah adalah sesuai dan mengikuti ajaran yang ditetapkan.”
الأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ البُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الْأَمْرِ
“Hukum asal dalam perkara ibadah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.”
Dari uraian tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan:
Pertama, Tim Pengasuh Rubrik Fatwa Agama SM belum menemukan dasar hukumnya bahwa salah seorang di antara para masbuk ada yang maju ke depan untuk menjadi imam dalam menyelesaikan shalatnya yang ketinggalan dengan imam, atau yang lain mundur ke belakang dan salah seorang di antara masbuk tetap di tempatnya untuk menjadi imam.
Kedua, sementara ini Tim Pengasuh Rubrik Fatwa Agama berpendapat tidak perlunya para masbuk mengangkat imam baru dalam menyelesaikan kekurangan shalatnya, sekalipun imam tersebut dari sesama masbuk.
Ketiga, Kewajiban masbuk selanjutnya adalah menyelesaikan atau menyempurnakan rakaat yang menjadi kekurangannya, yaitu rakaat yang tertinggal dari imam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2015