Mencampuradukkan Ajaran Imam-Imam Mazhab

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saya pernah mengikuti pengajian  fiqih masail sehubungan dengan masalah mazhab, ada pernyataan dari narasumber bahwa kita harus bermazhab. Kita tidak boleh mencampuradukkan beberapa pendapat Imam mazhab dalam satu ibadah. Misalkan dalam bab shalat itu prakteknya harus satu mazhab. Contoh: Tidak boleh jika membaca basmalah dengan  jahr kemudian tidak qunut.

Was-salamu ‘alaikum wr. wb.

Rusman, Ketua PCM Masamba Kab. Luwu Utara, Sulawesi Selatan

(Disidangkan pada hari Jum’at, 6 Zulhijjah 1434 H / 11 Oktober 2013)

Jawaban:

Saudara Rusman yang budiman, terima kasih atas pertanyaan anda. Pertanyaan yang hampir sama pernah pula diajukan ke Tim Fatwa Majelis Tarjih dan telah dijawab serta dimuat di rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 17 tahun 2008. Namun demikian, agar lebih dipahami kami coba sampaikan kembali persoalan tersebut di bawah ini.

Mazhab berasal dari bahasa arab مَذْهَبٌ dari akar kata ذَهَبَ (ża-ha-ba) yang berarti jalan, tempat yang harus dilalui, perjalanan, pendapat, pendirian, paham, pegangan, aliran juga bermakna sekte atau doktrin. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mazhab diartikan sebagai haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam.

Dalam fikih, mazhab dimaknai sebagai jalan fikiran, pemahaman dan pendapat yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan as-Sunnah. Mazhab juga diartikan sebagai fatwa atau pendapat ulama dalam urusan agama. Mazhab dalam fikih banyak jumlahnya, namun yang masyhur ada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Mazhab-mazhab ini mulai berkembang pada era pemerintahan Dinasti Abbasyiyah, yaitu pada kurun ke-2 H (8 M).

Mengenai keharusan bermazhab dalam beragama, sebenarnya para imam mazhab tidak pernah memberi perintah agar umat Islam berpegang kepada paham mereka. Bahkan sebaliknya, para imam mazhab justru menyuruh untuk mengikuti mana saja yang benar meskipun itu pendapat dari mazhab lain. Hal ini didasarkan pada perkataan para imam mazhab tersebut,

  1. Imam Abu Hanifah: “Apabila aku mengatakan sesuatu pendapat yang menyelisihi al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw, maka tinggalkanlah pendapatku tersebut”.
  2. Imam Malik bin Anas: “Aku hanyalah seorang manusia yang (mungkin) salah dan (mungkin) benar. Oleh karena itu perhatikanlah pendapatku, selama sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka ambillah (gunakanlah), namun selama tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah”.
  3. Imam asy-Syafi’i : “Apabila engkau menemukan dalam kitab (pendapat)-ku menyelisihi sunnah Rasulullah saw, maka katakanlah (ikutilah) yang disampaikan oleh Rasulullah saw dan tinggalkanlah apa yang aku katakan (pendapatku)”.
  4. Imam Ahmad: “Janganlah engkau taqlid (ikut-ikutan) kepadaku, kepada Imam Malik, kepada Imam asy-Syafi’i, kepada Imam Auza‘i dan Imam ats-Tsaury, Tetapi ambillah (ikutilah) dari mana mereka mengambilnya (yaitu al-Qur’an dan al-Hadis)”.

Pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup, ketika umat menjumpai suatu persoalan dapat langsung bertanya kepada beliau untuk memperoleh jawabannya. Nabi saw terkadang menunggu wahyu al-Quran yang turun berkenaan dengan persoalan tersebut dan terkadang menjawab dengan sunnah, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau. Adapun jawaban Nabi saw. itu, pada hakikatnya tidak terlepas pada petunjuk Allah sesuai dengan al-Quran surah an-Najm (53) ayat 3-4 yang berbunyi,

وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ.

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Namun, setelah Nabi Muhammad saw. wafat wahyu tidak turun lagi, sehingga jika terjadi persoalan hukum para sahabat akan mencari ketetapan hukum di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Apabila tidak terdapat dalam keduanya, maka mereka berijtihad sendiri dengan bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah. Ijtihad yang dilakukan para sahabat ini sesuai firman Allah Swt dan sabda Nabi Muhammad saw.,

  1. Surah an-Nisa (4) ayat 59,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

  1. Surah al-An’am (6) ayat 153,

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ  ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”.

  1. Hadis Rasulullah saw. dari Abu Mus’ab,

أَخْبَرَنَا أَبُو مُصْعَبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَالِكٌ؛ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ , وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلى اللهُ عَلَيه وَسَلم.

“Abu Mus’ab berkata, Malik telah menceritakan kepada kami, sesungguhnya beliau (Malik) menceritakan pada Mus’ab, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Aku meninggalkan pada kalian dua hal, tidaklah kalian tersesat jika kalian berpegang pada keduanya yakni: Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah Rasulullah saw.” [Al-Muwattha’, Imam Malik]

  1. Hadis Rasulullah saw. dari Muadz bin Jabal.

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو ابْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللهِ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنِي أَبُو عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ.

Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar dari Syu’bah dari Abu ‘Aun dari al-Harits bin ‘Amru anak saudara al-Mughirah bin Syu’bah, dari beberapa orang penduduk Himsh yang merupakan sebagian dari sahabat Mu’adz bin Jabbal. Bahwa Rasulullah saw. ketika akan mengutus Mu’adz bin Jabbal ke Yaman beliau bersabda: “Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah peradilan yang dihadapkan kepadamu?” Mu’adz menjawab, “Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah.” Beliau bersabda: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan kembali kepada sunnah Rasulullah saw..” Beliau bersabda lagi: “Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah saw. serta dalam Kitab Allah?” Mu’adz menjawab, “Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi.” Kemudian Rasulullah saw. menepuk dadanya dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat senang Rasulullah.” Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari Syu’bah telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aun dari al-Harits bin ‘Amru dari beberapa orang sahabat Mu’adz dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw. tatkala mengutusnya ke Yaman, kemudian ia menyebutkan maknanya.”

Sepanjang penelusuran kami, belum didapati nash baik al-Quran ataupun al-Hadis yang memerintahkan kepada umat Islam untuk bermazhab, yang ada adalah perintah untuk mengikuti apa yang ada dalam al-Quran dan as-Sunnah. Namun demikian, tidak boleh diingkari bahwa para imam mazhab adalah ulama yang sangat mumpuni dalam ilmu agama dan sangat besar jasanya dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, sehingga pendapat-pendapat mereka tidak dapat dikesampingkan begitu saja dalam menentukan hukum persoalan keagamaan. Salah satu butir pokok manhaj Tarjih Muhammadiyah adalah tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.

Adapun pertanyaan saudara tentang mencampuradukkan pendapat mazhab, dalam kajian fikih disebut dengan talfiq. Pada Putusan Munas Tarjih ke-25 tahun 2000 di Jakarta tentang Manhaj Tarjih Muhammadiyah, disebutkan bahwa talfiq adalah menggabungkan beberapa pendapat dalam satu perbuatan syar‘i. Talfiq terjadi dalam konteks taqlid (mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya) dan ittiba‘ (mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya). Muhammadiyah membenarkan talfiq sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih. Tarjih, secara teknis adalah proses analisis untuk menetapkan hukum dengan menetapkan dalil yang lebih kuat (rajih), lebih tepat analogi dan lebih kuat mashlahatnya. Adapun secara institusional Tarjih adalah lembaga ijtihad jama‘i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang beranggota orang-orang yang memiliki kompetensi ushuliyyah dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing.

Bagi warga Muhammadiyah, dalam menjalankan hukum agama Islam minimal adalah memilih sikap ittiba’, yakni mengikuti keputusan persyarikatan dalam bidang agama, misalnya persoalan yang dimuat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), dengan mengetahui dalil maupun cara istinbat (pengambilan) hukumnya. Adapun talfiq, boleh digunakan setelah melalui proses tarjih yang dilakukan oleh Majelis Tarjih.

Mengenai contoh yang saudara sebutkan, perlu diketahui bahwa dalam persoalan ibadah, khususnya tata cara shalat, Muhammadiyah memedomani beberapa kaidah tentang hadis sebagaimana yang tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih: Kitab Beberapa Masalah nomor 21 Usul Fiqih (lihat HPT, hal 302-303), bukan berdasarkan pendapat mazhab tertentu. Dalam hal bacaan basmalah, menurut Muhammadiyah basmalah pada surah al-Fatihah dalam shalat boleh dibaca sirr dan boleh pula di baca jahr (Keputusan Munas Tarjih ke-27 di Malang tahun 2010). Sementara masalah qunut subuh, Muhammadiyah berpandangan bahwa dalil-dalil tentang qunut subuh tidak memenuhi kriteria sebagai hadis yang dapat diterima sebagai hujjah, sebagaimana tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih: Kitab Putusan Tarjih Wiradesa butir V Qunut (lihat HTP, hal 377-379).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2016

Exit mobile version