Dari mana keonaran dunia dimulai? Sejarah selalu mencatat sosok-sosok pemuja kekerasan dan kegaduhan sebagai pelaku kerusakan di muka bumi ini. Hitler dan Mussolini adalah contoh dari aktor yang mengguncang Perang Dunia Kedua tahun 1939-1944 yang memakan korban lebih dari 80 juta manusia. Dari perang era modern ini sekitar enam juta orang Yahudi terbunuh dalam tragedi Auschwitz yang memilukan. Mereka hidup di era modern, tetapi peradabannya primitif karena tidak memiliki basis teologis kerisalahan profetik yang mencerahkan.
Sebelumnya, Perang Dunia I tahun 1914-1918 dimulai oleh titik kekerasan. Pembunuhan tanggal 28 Juni 1914 sang pewaris tahta Austria-Hongaria oleh seorang nasionalis Yugoslavia di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina yang pencetus perang ini. Dari tragedi ini terjadi kecamuk perang besar yang melibatkan kekuatan imperialis besar di Eropa, termasuk Kekaisaran Jerman, Kekaisaran Austria-Hongaria, Kesultanan Utsmaniyah, Kekaisaran Rusia, Imperium Britania, Republik Prancis, dan Italia.
Dalam sejarah risalah para nabi selalu hadir figur-figur antagonis yang menebar kemunkaran, arogansi, dan segala keonaran. Fir’aun di era Musa alaihissalam serta Abu Jahal, Abu Lahab, dan para tiran lainnya di masa kerisalahan Nabi Muhammad adalah contoh dari sosok-sosok kontras biang keonaran hidup. Mereka melakukan fasad fil-ardl, pengerusakan di muka bumi. Ketika merusak pun justru menggunakan dalih membangun sebagaimana peringatan Allah, “Ketika dikatakan kepada mereka, janganlah melakukan pengrusakan di muka bumi, mereka berkata: tidak, kami sedang membangun” (Qs Al-Baqarah: 11). Mereka yang membikin anarki di manapun selalu memiliki dalih pembenar, termasuk atasnama menegakkan kebenaran dan keadilan menurut pandangannya sendiri.
Bangsa Arab yang jahiliyah juga membenarkan segala perbuatan primitifnya dengan menyatakan “wajadna min abaaina”, aku temukan segalanya dari nenek moyang kami. Mereka menyembah berhala, merendahkan perempuan, berniaga menghalalkan segala cara, berpolitik dengan darah dan kekerasan, serta menebar budaya otoritarian. Maka datanglah Nabi akhir zaman, Muhammad saw mencerahkan dengan “takhrij min al-dhulumati ila al-nuur”, mengeluarkan bangsa jahiliyah itu dari kegelapan pada kehidupan yang bercahaya (tercerahkan) dalam peradaban al-Madinah al-Munawwarah.
Kehadiran Nabi Muhammad dengan risalah Islam tiada lain untuk “menyempurnakan akhlak mulia”, sekaligus menebar benih “rahmatan lil-‘alamin”. Artinya, para penyebar agama Islam harus menghadirkan peradaban akal budi yang tinggi dan menjadi pembawa rahmat bagi semesta. Agama dan para penyebar risalah agama wajib menyebarkan dan mewujudkan nilai-nilai luhur kehidupan yang membawa pada keselamatan, kedamaian, kebajikan, dan segala keutamaan yang mencerahkan. Sekaligus mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan, kegaduhan, dan kerusakan di persada buana. Islam hadir dengan kerisalahan membangun keadaban akhlak dan peradaban hidup yang serbautama.
Dalam dunia yang serba bermasalah penting membumikan Al-Qur’an dan uswah hasanah Nabi untuk mencerahkan akal budi dan peradaban manusia. Umat Islam Indonesia tentu harus menjadi teladan dalam gerakan membumikan risalah Islam yang utama itu. Bagaimana membangun keadaban publik dan peradaban hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berbasis nilai-nilai Qur’ani dan keteladanan Nabi yang tercerahkan. Uswah hasanah dalam berujar, berpikir, bersikap, dan bertindak yang menebar damai, kebajikan, dan keutamaan sehingga benarbenar dari rahim umat Islam ini lahir Indonesia yang berkeadaban luhur dan berkemajuan. Itulah misi risalah pencerahan berbasis nilai Al-Qur’an yang membudaya dalam kehidupan nyata! (Hns)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019