Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya pernah mendengar bahwa suatu ilmu itu harus bersambung sanadnya seperti contoh, ilmu yang didapatkan dari satu guru harus benar-benar sampai pada imam madzhab. namun demikian, apakah ada suatu pernyataan dari imam madzhab itu sendiri tentang hal yang demikian (bersambungnya sanad ini) lalu bagaimana pendapat para ulama’ Muhammadiyah tentang hal ini?
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Rusman, SAg (Ketua PCM Masamba) Desa Kamiri Kec. Masamba Kab. Luwu Utara Profinsi Sulawesi Selatan (Disidangkan pada hari Jum’at, 6 Zulhijjah 1434 H / 11 Oktober 2013)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Ilmu adalah sumber pengetahuan yang didapatkan melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen dengan tujuan untuk menetapkan hakikat sesuatu, landasan dasar ataupun asal usulnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan arti kata ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Secara garis besar, ilmu dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama adalah ilmu yang membahas hal-hal keagamaan secara langsung, -dalam hal ini agama Islam-, bersumber dari al-Quran (firman Allah) dan as-Sunnah (hadis Nabi Muhammad saw). Ilmu agama mencakup pengetahuan tentang akidah (tauhid), ibadah, akhlak, muamalah dan lain-lain. Sedangkan ilmu umum adalah ilmu yang membahas hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan agama, seperti ilmu matematika, fisika, biologi, ilmu-ilmu sosial humaniora, ilmu teknologi dan lain-lain.
Sebenarnya, semua pengetahuan atau ilmu berasal dari Allah Swt, baik itu ilmu agama maupun ilmu umum. Allah-lah yang kemudian mengajarkannya kepada manusia. Hal ini sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surah al-Baqarah (2) ayat 31,
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”.”
Mengenai masalah sanad ilmu, hampir sama dengan masalah sanad dalam ilmu hadis. Sanad adalah rangkaian para rawi dari mukharrij (orang yang mentakhrij hadis) sampai kepada Rasulullah saw. Suatu hadis yang tidak memiliki sanad atau sanadnya terputus, maka hadis tersebut tidak memenuhi syarat sebagai hadis yang sahih. Hal inilah yang menjadi dasar begitu pentingnya sanad dalam ilmu hadis.
Makna kata sanad sendiri dalam kamus Lisan al-Arab, berasal dari kata أَسْنَدَ (asnada) yang artinya menyandarkan, seperti perkataan, “saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan”. Artinya, menyandarkan perkataan tersebut kepada orang yang telah mengatakan hal itu kepadanya. Oleh karena itu menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang telah berkata demikian).
Sanad ilmu yang dimaksud di sini adalah ketika seseorang mempelajari suatu ilmu, ia dituntut untuk mengetahui dari mana ilmu tersebut berasal, dan juga harus mengetahui apakah ilmu yang disampaikan itu seperti ilmu yang dikatakan oleh orang yang pertama kali mengatakan ilmu tersebut. Hal ini diterapkan oleh sebagian umat Islam, yang mengharuskan adanya ketersambungan sanad sampai pada sumber awalnya.
Imam Muslim mengatakan dalam muqaddimah kitab Sahihnya, bahwa sanad ilmu pertama kali dicetuskan oleh Imam Ibnu al-Mubarak, beliau mengatakan sanad sebagaimana berikut,
وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُهْزَاذَ – مِنْ أَهْلِ مَرْوَ – قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَانَ بْنَ عُثْمَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الْمُبَارَكِ يَقُولُ الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.
Muhammad bin ‘Abdullah bin Quhzadz –penduduk marwa- telah menceritakan kepada ku, ia berkata: Aku mendengar ‘Abdan bin ‘Utsman berkata: Aku mendengar ‘Abudullah bin al-Mubarak ia berkata: “Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri)” [Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahihnya 1/47 no: 32)
Imam asy-Syafi’i juga berkomentar mengenai pentingnya sanad ilmu sebagai berikut,
قَالَ الشَافِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اَلَّذِي يَطْلُبُ اْلعِلْمَ بِلَا سَنَدٍ كَحَاطِبِ لَيْلٍ يَحْمِلُ حزمةَ حَطَبٍ وَفِيهِ أفعى وَهُوَ لَا يَدْرِي.
“Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di gelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” [Faidhul Qadir juz 1 hal 555].
Pernyataan-pernyataan di atas digunakan sebagai landasan oleh sebagian umat Islam yang mengatakan harus adanya sanad ilmu. Namun sebenarnya, pernyataan di atas sekedar menjelaskan tentang pentingnya sanad dalam ilmu agama, khususnya dalam ilmu hadis yang menuntut ketersambungan sanad sebagai syarat diterima tidaknya suatu hadis sebagai dalil hukum agama.
Suatu ilmu, selama ilmu itu baik dan tidak bertentangan dengan syariat serta bermanfaat untuk umat, maka tidak ada persoalan untuk mempelajarinya meskipun tanpa mengetahui sanad dari ilmu tersebut, sebagaimana hadis berikut,
حدَّثنا مُحمَّدُ بنُ عُمَرَ بنِ الْوَلِيدِ الْكِنْدِيُّ، حدثنا عَبْدُ اللهِ بنُ نُمَيْرٍ، عن إِبرَاهِيمَ بنِ الْفَضْلِ، عن سَعِيِدٍ المَقْبُرِيِّ عن أَبي هُرَيْرَةَ ، قالَ: قالَ رَسُول الله: الكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ المُؤمِنِ، فَحَيْثُ وَجَدَها فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا .
“Telah bercerita kepada kami Muhammad bin ‘Umar bin al-Walid al-Kindiy, ‘Abdullah bin Numair dari Ibrahim bin al-Fadhl, dari Sa’id al-Maqburiy, dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Suatu ilmu merupakan mutiara yang hilang bagi orang mukmin, di manapun ia mendapatkannya, maka itulah yang paling benar” [Sunan at-Tirmidzi juz 7 hal 427]
Muhammadiyah sangat menaruh perhatian terhadap sanad dalam konteks ilmu hadis, mengingat sangat pentingnya sanad dalam ilmu hadis ini. Tanpa adanya sanad yang jelas maka suatu hadis tidak bisa diterima dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah, karena kedudukan hadis di sini bukan hanya sebagai ilmu pengetahuan melainkan sebagai dalil hukum yang membutuhkan kejelasan baik dari segi sanad maupun isinya. Oleh karena itu, perlu adanya ketersambungan sanad sampai dengan Rasulullah saw. agar ilmu (hadis) itu bisa menjadi dalil hukum dan bisa dijadikan hujjah.
Hal ini berbeda dengan selain ilmu hadis, khususnya ilmu-ilmu umum, yang bisa didapatkan dari mana saja dan dari siapa saja, tidak diharuskan mengetahui runtutan sanad ilmunya seperti runtutan sanad pada ilmu hadis. Ilmu umum tersebut yang penting adalah teruji kebenarannya, tidak bertentangan dengan syariat dan bermanfaat untuk kehidupan umat manusia. Sebagai contoh, rumus perhitungan matematika atau teori-teori dalam ilmu sosial, tidak ada kewajiban untuk mengetahui secaraa runtut siapa pencetusnya pertama kali, siapa yang mendapatkannya pertama kali dan seterusnya sampai pada seseorang yang sedang mempelajarinya.
Meskipun demikian, pada masa keterbukaan informasi seperti sekarang ini, ketika suatu ilmu sangat mudah didapatkan dengan hanya menekan beberapa tombol komputer bahkan telepon genggam, perlu kiranya diperhatikan autentitas suatu ilmu dan hak cipta orang yang memunculkan ilmu tersebut. Oleh karena itu, penting artinya bagi seseorang untuk mengetahui dari mana suatu ilmu itu didapatkan, supaya orang lain tidak mengira ilmu itu berasal dari dirinya dan supaya tidak disangka sebagai pelaku plagiasi (penjiplakan). Terlebih dalam dunia akademik, seseorang harus dapat menyebut sumber bacaan atau literatur dari apa yang ditulis atau diucapkannya.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2016