Ridho Al-Hamdi
Muhammadiyah telah banyak menorehkan tinta sejarah dalam mengawal cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, tulisan ini mencoba memberikan tawaran tentang pentingnya ekspansi dakwah Islam dalam perspektif Muhammadiyah tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat internasional.
Sebuah lembaga riset independen, Pew Research Center, merilis hasil penelitiannya pada 2 April 2015 tentang masa depan agama-agama di dunia. Temuan tersebut mengatakan, hingga 2050 Kristen masih tetap menjadi agama terbesar di dunia, tetapi Islam adalah agama yang memiliki perkembangan paling cepat dari segi kuantitas di banding agama yang lain. Diprediksi pula, pada 2050 jumlah umat Islam di dunia mencapai 2,8 milyar (30% dari populasi dunia), hampir mendekati jumlah umat Kristen (2,9 milyar atau 31% dari penduduk dunia). Sedangkan kelompok manusia yang tidak beragama jumlahnya semakin menurun.
Temuan riset tersebut menjelaskan juga, bahwa pada 2050 India akan menjadi negara Muslim terbesar di dunia, menggantikan posisi Indonesia meskipun negara tersebut memiliki kaitan erat dengan sejarah Hindu. Sedangkan di Amerika Serikat, jumlah umat Kristiani akan turun dari tiga perempat dari jumlah penduduk pada tahun 2010 menjadi dua pertiga pada tahun 2050 dan Yahudi di Amerika tidak lagi menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen karena posisi tersebut segera digantikan oleh Islam. Sedangkan Budha masih stabil dengan jumlahnya yang minim. Sementara Yahudi menjadi agama yang paling rendah di banding yang lainnya.
Sementara itu, meskipun Kristen di Eropa masih menjadi agama terbesar, perkembangannya dari segi kuantitas justru semakin menurun hingga 2050, begitu juga dengan agama Yahudi. Sementara jumlah pemeluk Islam di Eropa terus meningkat dari 43 juta pada 2010 menjadi 71 juta pada 2050. Ini merupakan temuan riset yang tentu menggembirakan bagi kaum Muslim di belahan dunia manapun, bahwa dakwah Islam perlahan-lahan memiliki dampak positif.
Fenomena Islamophobia dan Ketakutan Barat
Dunia Barat akhir-akhir ini kembali diselimuti oleh gejala Islamophobia. Untuk kesekian kalinya sejumlah negara di Eropa mengalami kekhawatiran terhadap munculnya kembali gerakan Islam ekstrimis yang mengancam mereka setelah tragedi terorisme di kantor majalah satire Charlie Hebdo Paris pada 7 Januari 2015 serta diikuti oleh sejumlah aksi pengeboman kelompok militan Islam Boko Haram di Nigeria.
Fenomena Islam kembali menjadi common enemy bagi dunia Barat setidaknya ditandai oleh serangkaian peristiwa berikut. Pertama, gejolak dan konflik politik yang berkepanjangan di Timur Tengah sejak tragedi Arab Spring 2010 hingga saat ini. Hal ini terlihat pada suramnya wajah demokrasi di Mesir, Libya, Irak, Suriah, dan Yaman. Kedua, munculnya gerakan ekstrem-radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di berbagai negara dengan tujuan mendirikan negara Islam termasuk di Indonesia sejak dua tahun belakangan ini. Ketiga, meningkatnya jumlah imigran terutama imigran Muslim di negara-negara Eropa dan Amerika. Gerakan protes menolak imigran yang terjadi di Jerman dan Inggris belakangan ini menunjukkan ketakutan kaum pribumi atas kehadiran orang asing.
Jauh sebelum tragedi Charlie Hebdo, beberapa media cetak di Eropa telah melakukan hal serupa, seperti pemuatan kartun Nabi Muhammad oleh harian cetak Dernmark, Jyllands Posten yang kemudian dipublikasikan ulang oleh majalah Italia, Studi Cattoli, edisi Maret 2006. Di dunia maya, film berjudul Fitna (2008) besutan politisi Belanda pernah muncul untuk menyudutkan Islam sebagai agama terorisme dan kekerasan. Di Amerika, film berjudul The Innocent of Muslim (2012) juga bertujuan anti-Islam dengan menggambarkan Nabi Muhammad sebagai pribadi yang bodoh, pecinta seks, dan pelaku pelecehan anak.
Pertemuan elite-elite negara Eropa yang tergabung dalam European Union (EU) di Brussels, Belgia pada 19 Januari 2015 semakin menunjukkan bahwa Barat merasa sangat terancam dengan tindakan-tindakan terorisme dan kelompok ekstrimis seperti IS. Salah satu poin penting dari pertemuan ini adalah perlunya negara-negara Barat bekerjasama dengan negara-negara Muslim dalam menanggulangi tindakan terorisme.
Muhammadiyah dan Peluang Internasionalisasi Dakwah Islam
Berpijak pada penjelasan di atas bahwa trend Islam secara global mengalami perkembangan yang sangat signifikan meskipun isu radikalisme dan terorisme menyelimuti Islam, kini saat yang tepat bagi Muhammadiyah untuk mendesain strategi internasionalisasi dakwah Islam yang damai di tengah kompleksitas yang terus menyudutkan Islam. Ada beberapa alasan yang mendasarinya:
Trend meningkatnya populasi kaum Muslim dari waktu ke waktu di berbagai negara, terutama di Eropa dan Amerika.
Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di dunia dan Muhammadiyah adalah organisasi modernis terbesar di dalamnya yang memiliki jaringan dan potensi cukup kuat terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, peran-peran lintas negara pun telah dilakukan oleh Muhammadiyah dalam berbagai kesempatan.
Melalui jalur pendidikan, banyak kader Muhammadiyah baik aktivis Ortom maupun Persyarikatan serta dosen-dosen yang berasal dari PTM yang melanjutkan studi ke luar negeri dan ini adalah peluang juga bagi mereka untuk dapat berkarya dan berdakwah di negeri orang.
Berkembangnya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) di berbagai negara tetapi belum didesain dengan baik sehingga gerakannya masih bersifat spontanitas. Berdasarkan SK PP Muhammadiyah, ada sekitar 15 PCIM yang telah diresmikan. Dari perkembangan mutakhir, PCIM yang dapat dikatakan cukup mapan adalah PCIM Kuala Lumpur, PCIM Mesir, PCIM Inggris, PCIM Amerika, dan PCIM Australia. Hal ini disebabkan karena banyak kader Muhammadiyah yang cenderung lebih tertarik untuk studi di negara-negara yang mayoritas berbasis bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sedangkan PCIM juga tumbuh di beberapa negara lain seperti di Jerman, Belanda, Prancis, Rusia, Jepang, Taiwan, Turki, Libya, Iran, dan Sudan yang keaktifan organisasinya tergantung keberadaan SDM di negara tersebut.
Selain itu, meskipun peran-peran internasionalisasi dalam berbagai kesempatan telah dilakukan oleh Muhammadiyah terutama sejak kepemimpinan Din Syamsuddin, tetapi grand design perlu dimiliki sehingga ini menjadi kebijakan Muhammadiyah pada abad kedua. Karena itu, berikut ini beberapa tawaran aksi dan strategi Muhammadiyah untuk intenasionalisasi dakwah Islam:
Melalui koordinasi satu pintu yaitu Majelis Dikti, Muhammadiyah beserta PTM mendesain untuk menyekolahkan dosen-dosen PTM dan aktivis Muhammadiyah serta Ortom ke berbagai perguruan tinggi di luar negeri. Sebagai contoh, membuat project “Tigaratus Doktor Per Tahun”. Strateginya adalah bekerjasama dengan berbagai lembaga penyedia beasiswa serta lembaga potensial lainnya.
Safari Ramadhan ke berbagai negara. Program ini dapat dikoordinasi oleh Majelis Tarjih dan Majelis Tabligh bekerjasama dengan lembaga-lembaga potensial yang dimiliki Muhammadiyah seperti, sekolah kader Mu’allimin, PTUM dan Fakultas Agama Islam di berbagai universitas Muhammadiyah untuk dapat mengirimkan dai-dai pilihannya ke negara-negara tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Kerjasama dengan komunitas Muslim di negara tersebut juga perlu dilakukan sehingga fungsi PCIM dapat berkembang dengan baik.
Pemberdayaan buruh atau TKI di negara-negara seperti Malaysia, Cina, Arab Saudi serta negara yang memiliki jumlah TKI yang cukup tinggi. Majelis Pemberdayaan Masyarakat dan Majelis Ekonomi dapat memainkan perannya dalam hal ini bekerjasama dengan pihak-pihak terkait.
Young-Muslim Leadership Exchange. Setiap tahun Muhammadiyah bisa mengadakan pertukaran antara kaum muda Muhammadiyah dengan pemimpin-pemimpin muda negara-negara tertentu. Di sinilah ada rasa kebanggaan bahwa menjadi aktivis Ortom pun bisa keliling dunia dan bertukar pemikiran dengan anak muda lain di luar negeri. Tentu proses seleksi dan penjaringan dilakukan secara cukup selektif.
Gagasan di atas adalah sekadar contoh aksi yang dapat dilakukan Muhammadiyah ke depan. Tentu program ini sangat menguras tenaga, pikiran, dan dana yang cukup besar mengingat hal tersebut bersifat lintas negara dan benua. Namun, jika kita berpikir futuristik, dampak dari gerakan internasionalisasi ini akan memberikan “efek bola salju” yang luar biasa bagi Muhammadiyah tidak hanya besar di Indonesia dan Asia-Pasifik, tetapi juga bertaring di kawasan Timur Tengah, Eropa dan Amerika.
Ridho Al-Hamdi, Dosen UMY, Ketua PCIM Jerman
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 16 Tahun 2015