Ketentuan Hukum Tentang Haid (1) Surat Al-Baqarah Ayat 222-223

Ketentuan Hukum Tentang Haid (1) Surat Al-Baqarah Ayat 222-223

dok shutterstock

  وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ ۚ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ ٢٢٣

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu adalah kotoran/gangguan. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (222) Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (223)

Pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang ketentuan pemilihan pasangan, berupa larangan menikah dengan orang musyrik. Pada ayat ini dilanjutkan dengan penjelasan tentang ketentuan penyaluran naluri seksual secara sehat dan benar dalam kehidupan berumah tangga yang merupakan salah satu fungsi pernikahan. Dalam ayat ini diberikan rambu-rambu dalam berhubungan seksual, untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kaum muslimin. Pertanyaan tersebut adalah tentang hukum mempergauli istri yang sedang dalam keadaan haid, sebagaimana yang disampaikan dalam firman Allah di awal ayat 222, yaitu:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ 

Al-mahīdh (الْمَحِيْضُ)  dalam ayat 222 ini bermakna al-haidh (الْحَيْضُ) yang secara etimologi berarti banjir. Sedangkan secara terminologi adalah darah kotor yang keluar dari ujung rahim perempuan sekali setiap bulan. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, masa haid setiap bulan itu minimal satu hari satu malam, biasanya enam atau tujuh hari dan maksimal lima belas hari. Hikmah haid itu adalah sebagai pertanda seorang wanita siap dibuahi ketika terjadi pergaulan dalam perkawinan. Tapi kadang-kadang الْمَحِيْضُ bisa juga berati tempat atau waktu haid (Wahbah az-Zuhaylī, alTafsīr al-Munīr (Damaskus: Dar al-Fikr, th. 1432H/2011M),  Jilid I, Juz II, hlm. 667-668).

Pertanyaan tentang haid ini diajukan kepada Rasulullah Saw ketika beliau telah berada di Madinah, yaitu ketika orang Arab Muslim hidup berbaur dengan orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi bersikap keras terhadap wanita haid, mereka menghindari wanita-wanita haid dengan mengasingkan mereka ke luar rumah, tidak mau makan dan minum bersama mereka, dan tidak mau mencampuri istri mereka yang sedang haid. Maka para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu. Lalu turunlah ayat ini (H.R. Muslim yang bersumber dari Himad, dan riwayat lain yang bersumber dari Anas, lihat Ali bin Ahmad al-Wāhidī al-Naysābūrī, Asbāb al-Nuzūl (Kairo: Maktabah wa Mathba’ah al-Manār, 1388H/1968M), hlm. 40). Di lain pihak, orang-orang Nasrani menganggap remeh dan enteng saja masalah haid ini. Mereka tidak mempedulikan apakah istri mereka sedang haid atau tidak ketika mereka menggaulinya. Sementara orang Arab pada zaman Jahiliyah memperlakukan wanita-wanita haid seperti orang-orang Yahudi dan Majusi, mereka tidak mau tinggal bersama dan menggauli wanita-wanita haid, serta tidak mau makan bersama mereka (Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār  (Beirut: Dār al-Ma’rifah,th.1414H/1993M), jilid II, hlm. 358, bandingkan dengan Wahbah az-Zuhayli, hlm. 669). Perbedaan perlakuan masyarakat terhadap wanita-wanita yang sedang haid ini, telah mengundang pertanyaan para sahabat Rasulullah saw tentang hukum bergaul dengan wanita-wanita haid. Atau lebih tepatnya, bagaimana seharusnya suami memperlakukan istrinya yang sedang haid menurut tuntunan Islam? Lalu pertanyaan ini dijawab oleh Allah pada lanjutan ayat 222, yaitu:

قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ  وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Katakanlah bahwa haid itu adalah kotoran/gangguan. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.

Jawaban yang diberikan Allah sangat singkat, yaitu bahwa haid itu adalah kotoran atau gangguan, tetapi jawaban pendek ini memberikan informasi dan gambaran yang lengkap tentang keadaan wanita yang sedang haid. Kemudian dilanjutkan dengan tuntunan bagaimana seharusnya menghadapi mereka dalam keadaan seperti itu. Untuk menjelaskan maksud ayat ini kepada semua penanya dan tentunya juga kepada seluruh umat Islam, Nabi saw bersabda:

اصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ (رواه أحمد ومسلم وأصحاب السنن)

Lakukanlah segala sesuatu, kecuali nikah (hubungan seks)” (HR Ahmad, Muslim, dan Ashāb al-Sunān).

Selain itu, Abu Dawud, meriwayatkan dari Hizam bin Hakim dari pamannya, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah saw:

ما يحل لي من امرأتي وهي حائض قال : لك ما فوق الإزار أي ما فوق السرة (رواه أبو داود)

Apa yang dihalalkan bagiku terhadap istriku yang sedang haid? Rasulullah menjawab: “Bagimu apa yang di atas kain.” Artinya, yang di atas pusar (Wahbah az-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr,  hlm. 669-670)

Allah mengawali jawaban dengan menerangkan alasan dilarang berhubungan seksual ketika wanita (istri) sedang haid, dengan menyebutkan bahwa haid itu adalah kotoran atau gangguan, yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap wanita, baik secara fisik maupun psikis, dan berbahaya kalau dalam keadaan seperti itu terjadi hubungan seksual. Bahayanya tidak saja terhadap si wanita tetapi juga terhadap pria yang berhubungan dengannya. Kemudian Allah menyebutkan hukum perbuatannya. Dengan cara ini, ketentuan ini lebih mudah untuk diterima, karena dapat dipahami bahwa aturan syariat ini adalah untuk kemaslahatan manusia, bukan ‘ubudiyyah semata. Bersambung

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017

Exit mobile version