Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Saya ingin bertanya mengenai hukum debat dalam Islam, terkait dengan hadits, “orang yang paling dibenci oleh Allah swt adalah orang yang paling keras debatnya” (HR. al-Bukhari, no 4523; Muslim no. 2668). Debat yang seperti apa yang dilarang? Bagaimana dengan debat sebagai rangkaian untuk menguji thesis atau hipothesis? Dalam terminologi Bahasa Inggris adalah perbedaan to debate dan to argue, yang dalam Bahasa Indonesia diartikan sama sebagai debat. Terminologi manakah yang dimaksud di dalam hadis tersebut? Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.
Ariko andikabina (disidangkan pada Jum’at, Jumat, 11 Muharram 1440 H / 21 September 2018 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang telah saudara ajukan, kami akan mencoba menjawabnya dan semoga dapat memberi pencerahan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi argumen untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Adapun di dalam al-Quran, berkenaan dengan debat terdapat keterangan dalam firman Allah,
اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل، 16: ١٢٥].
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk [QS. an-Nahl [16]: 125].
Penjelasan mengenai kalimat وَجَادِلْهُم dalam kitab tafsir Ibnu Katsir ( jilid II halaman 737) adalah bahwasanya seseorang yang mengajukan alasan dalam berdebat dan membantah hendaklah dilakukan dengan cara yang baik dan lemah lembut dalam berbicara.
Sementara itu, pada ayat lain disebutkan,
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ [طه، ٢٠: ٤٤[.
Berbicaralah kamu (Musa) berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut [QS. Thaha (20): 44].
Ayat tersebut menceritakan tentang perdebatan antara Nabi Musa dengan Fir’aun. Dalam hal ini terdapat pelajaran penting bahwasanya Nabi Musa tetap diperintahkan untuk menyampaikan risalah Allah kepada Fir’aun dengan menggunakan tutur kata yang lemah lembut dan sopan santun, walaupun di sisi lain Fir’aun itu termasuk pembangkang dan sombong terhadap perintah Allah swt.
Adapun tentang hadis-hadis yang saudara maksudkan adalah sebagai berikut,
عَنْ عَائِشَةَ تَرْفَعُهُ قَالَ أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ [رواه البخاري].
Dari Aisyah (diriwayatkan) secara marfu’ dia berkata, orang yang paling Allah benci adalah orang yang suka membantah lagi sengit [HR. al-Bukhari, no. 4523].
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ [رواه المسلم].
Dari Aisyah (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya orang yang paling Allah benci adalah orang yang suka membantah lagi sengit” [HR. Muslim, no. 2668]
Dalam kitab Subulussalam (jilid II halaman 592) kataالْألَدُّ diambil dari kata لَدِيْدِيُ الْوَادِيْ yang artinya lembah yang sangat keras dan الْخَصِمُ artinya bantahan yang sengit untuk mengalahkan lawannya. Selanjutnya ash-Shan’ani menyebutkan bahwa an-Nawawi berkata dalam kitab Adzkar, bahwa dalam hal membantah haruslah berdasarkan ilmu. Sejalan dengan pernyataan an-Nawawi, al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin berpendapat bahwa orang yang membantah tidak berdasarkan ilmu termasuk orang yang tercela. Selain itu salah satu hal yang tidak dibenarkan adalah rasa ketidakpuasan terhadap jawaban yang telah disampaikan oleh pihak lawan, dengan menampakkan sifat kesombongan dan niat untuk merendahkan.
Dari dalil-dalil di atas dapat dipahami bahwa debat yang dilarang itu adalah debat yang tidak didasari dengan ilmu pengetahuan, dilakukan dengan cara tidak baik seperti menggunakan kata-kata yang buruk, emosi, menyakitkan hati, dan semata-mata debat dilakukan dengan niatan untuk merendahkan pihak lawan.
Dengan demikian, debat sebagai rangkaian untuk menguji thesis atau hipothesis itu dibolehkan karena jenis debat ini berdasarkan ilmu dan sifatnya baik sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap penelitian suatu objek tertentu, yang dalam hal ini perdebatan dilakukan untuk mendapatkan sebuah kesimpulan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 12 Tahun 2019