Korupsi itu musuh agama dan negara. Rakyat juga menderita akibat korupsi. Sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menjadi rusak gara-gara korupsi. Karena itu usaha pemberantasan korupsi menjadi wajib hukumnya dilakukan secara menyeluruh untuk menyelamatkan kekayaan negara dan hajat hidup rakyat.
Meski merupakan penyakit yang merusak moral dan kehidupan bernegara ternyata betapa tidak mudah menghilangkan dan memberantas korupsi. Kasus demi kasus terus bermunculan. Kadang paradoks, kasus-kasus yang terjadi itu seolah di luar nalar sehat. Tapi itulah kenyataan yang dihadapi bangsa ini, korupsi masih menjadi masalah serius dan terus terjadi.
Korupsi selalu berkaitan dengan kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuasaan itu cenderung korupsi, yakni menyimpang, jahat, dan sewenang-wenang. Kekuasaan yang absolut akan melahirkan korupsi yang absolut pula. Demikian adagium Lord Acton tentang relasi antara kekuasaan dan korupsi.
Dalam konteks kenegaraan, korupsi terkait dengan uang dan wewenang yang disalahgunakan oleh aparat atau pejabat negara. Uang dan kekuasaan yang semestinya dijalankan dengan benar dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak, justru diselewengkan dan disalahgunakan untuk kepentingan diri dan atau kroni atau siapapun yang berkongsi.
Penguasa yang memiliki wewenang tidak jarang bekerjasama yang sifatnya konspirasi dengan pengusaha dan pihak lain dalam melakukan korupsi. Konspirasi yang koruptif itu sering berlangsung terselubung dan canggih, selain yang terbuka dan sederhana. Relasi konspiratif dan koruptif itu lebih sulit dideteksi dan diberantas karena berlangsung masif. Pejabat tertentu kelihatan tidak korupsi, tetapi di belakang itu memiliki relasi koruptif dengan pengusaha-pengusaha koruptif.
Pihak lain atau sebagian warga masyarakat pun tidak jarang terlibat dalam hubungan konspiratif dan koruptif, sehingga sulit memotong akar dan ujung korupsi. Politik uang misalnya sering melibatkan banyak pihak dari politisi, penguasa, broker, dan warga masyarakat. Satu sama lain saling bertemali dalam alam pikir serbaboleh, sehingga mengawetkan tabiat korupsi.
Penegak hukum juga tidak lepas dari lingkaran korupsi, padahal semestinya aparat yang satu ini harus bebas dari korupsi. Ibarat pagar, dialah yang harus menjaga tanaman. Namun yang terjadi pagar makan tanaman. Karena ketidakpercayaan terhadap institusi penegak hukum formal, maka lahir Komisi Pemberantasan Koruapi (KPK) sebagai lembaga ultraspesial untuk memberantas penyakit menular ini.
Harapan sangatlah tinggi terhadap KPK untuk memberantas korupsi. Namun seiring dengan berjalannya waktu, KPK juga tidak lepas dari sorotan. Dengan menghargai peran dan keberhasilan KPK dalam menyeret sejumlah pejabat atau aparat negara yang terlibat kasus korupsi, KPK dinilai belum optimal. Kasus-kasus raksasa masih belum dijangkau, termasuk yang masih tandatanya seperti BLBI, Century, dan sejenisnya. Publik juga bertanya kepada KPK dalam menghadapi kasus Sumber Waras dan Reklamasi di Jakarta.
Jika kasus-kasus kakap atau hiu luput dari kejaran KPK makin tipis harapan rakyat akan usaha pemberantasan korupsi yang masif, sistematis, dan terstruktur. KPK bahkan sempat dipertanyakan kredibilitasnya ketika berbeda pandangan atas temuan BPK soal Sumber Waras yang dianggap ada indikasi pemyimpangan. Demikian halnya ketika mantan Ketuanya dipandang menyerempet ranah politik. Ada pula satu kasus ditangani, yang lain dibiarkan. Semua itu mengundang anggapan negatif bahwa lembaga antiruswah ini tidak sepenuhnya sejalan dengan harapan rakyat.
Semoga semua pihak makin belajar untuk menempatkan korupsi sebagai musuh bersama, disertai usaha-usaha optimal untuk menuntaskan dan memberantas kasus-kasus besar korupsi di negeri ini. Jalan terjal pemberantasan korupsi masih terbentang di hadapan bangsa ini yang menuntut keseriusan, objektivitas, dan usaha menyeluruh tanpa politisasi. KPK dituntut komitmennya yang tertinggi tanpa pandang bulu dan tidak masuk ke area kontroversi, dengan fokus membongkar kasus-kasus raksasa! (Hns)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2016