Muhbib Abdul Wahab
“Demi Allah, saya akan memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat (melaksanakan shalat tetapi tidak berzakat) karena zakat itu keharusan kekayaan dan menjadi hak bagi fakir miskin.”
Pernyataan khalifah Abu Bakar asShiddiq tersebut menarik dicermati. Ini karena ibadah ritual-personal (shalat) harus diintegrasikan dan ditindaklanjuti dengan ibadah sosial (zakat). Ibarat mata uang dengan kedua sisinya, shalat dan zakat merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Oleh karena itu, tauhid individual tidak akan pernah berarti bagi kehidupan kita tanpa dibarengi dengan tauhid sosial. Keshalihan individual perlu dipadu dengan keshalihan sosial. Tauhidal-ibadah baru akan melahirkan masyarakat yang harmonis, adil dan sejahtera jika ditindaklanjuti dengan tauhidal-ummah (penyatuan umat) melalui optimalisasi fungsi Zakat, Infaq, Shodaqoh, dan Wakaf (ZISWA). Sedemikian pentingnya kesatupaduan antara ibadah ritual (seperti shalat) dan ibadah sosial (seperti zakat), sehingga Nabi dalam salah satu pesannya sebelum dipanggil oleh Allah menyatakan:
“Wahai umat manusia, tunaikanlah zakat hartamu. Ketahuilah, barangsiapa tidak menunaikan zakat, maka shalatnya tidak sempurna. Ketahuilah, barangsiapa tidak sempurna shalatnya, berarti tidak sempurna agamanya, tidak sempurna puasanya, dan tidak sempurna jihadnya.” (HR. Muslim).
Sejarah membuktikan bahwa pada masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq orang-orang yang tidak mau membayar zakat yang disponsori oleh Musailamah al-Kadzdzab diperangi, karena mereka membahayakan stabilitas sosialekonomi umat Islam. Pengingkaran terhadap membayar zakat (zakat fitri/ jiwa maupun zakat harta) sama artinya pengingkaran terhadap akidah tauhid, karena shalat dan zakat keduanya merupakan perintah Allah SwT. Jadi, akidah tauhid yang benar dan lurus pasti diaktualisasikan dalam bentuk ketaatan terhadap syariat. Sedangkan ketaatan dalam menjalankan syariat merupakan bukti berfungsinya akidah.
Oleh karena itu, pemberdayaan apapun: ekonomi, sosial budaya, komunitas dakwah, institusi pendidikan, dan sebagainya perlu dilandasi akidah tauhid yang fungsional. Esensi akidah tauhid yang fungsional itu ibarat cahaya (nur) dan energi/kekuatan (quwwah). Keimanan yang terpatri dalam hati sanubari Mukmin selalu menyinari dan mencerahkan serta memperlihatkan seluruh tulisan Ilahi yang ada padanya.
Dengan iman kepada Allah, Mukmin memiliki kekuatan luar biasa yang dapat mengguncang dan menggerakkan dunia. Bahkan, menurut Said Nursi dalam bukunya, al-Iman wa Takamul al-Insan, manusia yang mendapatkan iman hakiki mampu menantang seluruh alam dan mampu berlepas diri dari himpitan berbagai peristiwa.
Dengan bersandar kepada kekuatan imannya, ia bisa berlayar di atas bahtera kehidupan di tengah gelombang yang dahsyat dengan aman dan selamat.
Dengan demikian, akidah tauhid itu harus fungsional dan memberi energi positif-konstruktif, yaitu: mengubah diri Mukmin menjadi pelaku amar makruf nahi munkar dalam memberdayakan umat. Artinya gerakan pemberdayaan ekonomi umat melalui optimalisasi fungsi ZISWA dapat diaktualisasikan manakala masing-masing Mukmin memiliki kesadaran spiritual dan sosial untuk peduli, empati, dan memberi kontribusi (manfaat) bagi orang lain.
Mukmin seperti itu pasti selalu meyakini bahwa Allah itu Maha Kaya, Maha Memberi, dan Maha Melindunginya dari kebangkrutan dan kemiskinan, karena tidak ada kamusnya bahwa muzakki, munfiq (orang yang berinfak), mutashaddiq (orang bersedekah) atau waqif (orang berwakaf) itu jatuh miskin akibat memberikan hartanya kepada pihak lain.
Mukmin yang demikian ini juga menyadari bahwa salah satu misi dan orientasi hidupnya adalah mencerahkan dan memberdayakan orang lain. Inilah spirit yang diisyaratkan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Allah itu Pelindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan (memberdayakan) mereka dari kegelapan menuju cahaya…” (Qs Al-Baqarah [2]: 257)
Gerakan penyadaran dan sosialisasi pemberdayaan ZISWA dengan peneguhan akidah bahwa “Allah itu Maha Kaya, dan orang yang gemar dan ikhlas membayar ZISWA itu akan semakin kaya, minimal kaya hati”, penting dikampanyekan dan diinternalisasikan pada diri Mukmin.
Lebih dari itu, gerakan pemberdayaan ekonomi umat dengan pengembangan zakat produktif untuk para mustahiq sudah semestinya mampu mengubah dan meningkatkan status mustahiq menjadi muzakki dalam jangka waktu tertentu.
Hal ini pasti bisa direalisasikan jika ZISWA dikelola dengan manajemen modern, transparan, akuntabel, dan berbasis akidah fungsional. Jadi, gerakan pemberdayaan umat dalam berbagai aspeknya akan efektif dan dinamis jika diteguhkan dengan akidah tauhid yang benar, lurus, solid, dan fungsional.
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 14 Tahun 2015