Ketentuan Hukum Tentang Haid (3) Surat Al-Baqarah Ayat 222-223

Ketentuan Hukum Tentang Haid (3) Surat Al-Baqarah Ayat 222-223

dok shutterstock

 وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ ۚ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢  نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ ٢٢٣

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu adalah kotoran/gangguan. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (222) Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (223)

Kemudian di ujung ayat ini Allah dengan ungkapan yang sangat halus memerintahkan umat manusia untuk bertaubat dan mensucikan diri dengan firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang kembali kepada-Nya, yaitu dengan benar-benar bertaubat, dan bertekad tidak akan mengulangi berbagai dosa dan pelanggaran, seperti menggauli istrinya yang sedang haid, atau mendatangi mereka pada tempat yang dilarang syariat. Allah juga menyukai orang-orang yang menyucikan dirinya dari berbagai kotoran, dari janabah dan hadas.

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada suami untuk menggauli istrinya pada tempat yang diperintahkan-Nya. Sedangkan pada ayat berikut akan dijelaskan tempat yang dimaksud:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ 

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu”.

Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan tentang sebab turun ayat ini. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi yang bersumber dari Jabir yang menyebutkan bahwa “Orang-orang Yahudi baranggapan bahwa apabila menggauli istrinya dari arah belakang ke farji-nya, maka anaknya akan lahir dengan mata juling”. Sehubungan dengan itu, turunlah ayat ini untuk membantah anggapan tersebut.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa “Kebiasaan orang Quraisy setelah menikah adalah mempergauli istrinya dengan keleluasaan untuk mendapatkan kenikmatan dengan berbagai cara, mendatangi dari depan dan dari belakang”. Ketika orang-orang Makkah datang di Madinah sebagai Muhajirin, salah seorang dari mereka menikah dengan wanita Anshar. Ia mempergauli istrinya seperti kebiasaannya di Makkah, lalu istrinya menolak dengan mengatakan, “Cara ini tidak biasa dilakukan oleh orang di sini.” Informasi tersebut akhirnya sampai kepada Rasulullah saw, kemudian Allah menurunkan ayat ini. Ayat tersebut menjelaskan kebolehan suami menggauli istrinya dari mana saja dia suka selama di tempat yang dibolehkan. Riwayat  Ahmad dan at-Tirmizi yang bersumber dari Ibnu Abbas mengemukakan bahwa Umar datang menghadap Rasulullah saw dan berkata:

جاء عمر بن الخطاب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : هلكت فقال : وما الذي أهلكك قال : حولت رحلى الليلة قال : فلم يرد عليه شيئا فأوحى إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الآية –نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم- يقول أقبل وأدبر واتق الدبر والحيضة.

“Umar bin al-Khatab mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah celakalah saya”. Nabi bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau celaka?” Ia menjawab, “Aku mengalihkan tungganganku (menggauli istri dari belakang) tadi malam”. Nabi saw terdiam. Kemudian turunlah ayat ini. Kemudian Rasulullah bersabda, Lakukanlah dari depan atau dari belakang, tetapi hindarilah dubur (anus) dan bilamana istri sedang haid”. (Ali bin Ahmad al-Wāhidī an-Naysābūrī, Asbāb al-Nuzūl, (Kairo: Maktabah wa Mathba’ah Al-Manār, 1388H/1968M), hlm. 40-42. Lihat juga al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qurān, (Beirūt: Dār al-ihyā’ al-Turāts al-Arabiy, 1416H/1995M) Jilid II, Juz III, hlm.91-93.)

Menurut mayoritas sahabat Nabi saw, tabi’in dan lain-lain, yang dimaksud dengan firman Allah أَنَّى شِئْتُمْ adalah cara apa saja yang kamu kehendaki, mau menghadap ataupun membelakangi dan lain sebagainya. Kata annā (أَنَّى) lebih umum dari kata kaifa (كَيْفَ), aina (أَيْنَ) dan kata matā (مَتَى). Dengan  demikian, tidak ada dosa bagi suami untuk mendatangi istrinya dengan cara apapun yang disukainya. Dengan kata lain setiap pasangan bisa memilih cara, waktu dan tempat yang mereka senangi untuk melakukan hubungan seksual selama hal itu dilakukan untuk mendapatkan keturunan dan di tempat yang seharusnya. (Lengkapnya tentang penjelasan makna lafaz ini dapat dilihat pada  al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qurān., hlm. 93-95.)  Aturan syariat yang ditetapkan tidak bermaksud untuk memberatkan dan menyulitkan, serta tidak melarang manusia untuk menikmati kesenangan dan kenikmatan. Sebaliknya, syariat bermaksud memudahkan dan memberikan manfaat kepada manusia.

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa istri diumpamakan sebagai tanah tempat bercocok tanam bagi suami. Ini berarti bahwa suami menggauli istri bagaikan petani mengolah dan menanami dan merawat ladangnya untuk bisa membuahkan hasil yang diharapkan. Untuk bisa mendapatkan hasil panen yang memuaskan, pilihan ladang, cara pengolahan, bibit yang ditanam, pupuk yang cocok dan perawatan yang intensif tentu sangat dibutuhkan. Kalau tidak, bukan hanya hasil panen yang tidak akan sesuai dengan asumsi dan harapan, bahkan boleh jadi terjadi gagal panen, karena tumbuhannya mati akibat tidak dirawat dan kekurangan air. Begitulah hendaknya suami merawat ladang (istrinya), perhatikan ladangnya, tanamlah bibit yang baik dan unggul, kalau tanaman telah berbunga, jangan biarkan dia gugur sebelum dibuahi oleh bunga jantan. Kalau sudah berbuah, rawat dengan baik, perhatikanlah dia agar kehamilannya berlangsung dengan baik sampai melahirkan. Kalau anak, sebagai buah yang dipanen dari ladang telah lahir dengan selamat, rawatlah baik-baik dengan penuh cinta dan kasih sayang. Seperti itulah makna yang bisa ditarik dari pengumpamaan istri sebagai ladang tempat bercocok tanam suami. Bersambung

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018

Exit mobile version