وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ ۚ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ ٢٢٣
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu adalah kotoran/gangguan. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (222) Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (223)
Yang dimaksud dengan kalimat qaddimū li anfusikum (قَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ) yang berarti “Kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu” adalah taat dan amal saleh. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah mengharapkan anak dan keturunan, karena anak merupakan kekayaan yang paling berharga di dunia dan di akhirat. Pendapat lain mengatakan, bahwa makna kalimat tersebut adalah kawin dengan maksud memelihara diri, atau kawin dengan wanita yang dapat memelihara diri (Lihat al-Qurthubī, ibid., hlm. 96.)
Menurut Rasyid Ridha, perintah tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam menggauli istri ada yang disukai dan dibenci oleh syariat yang harus diperhatikan. Menggauli istri yang disukai adalah yang jelas dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupan di masa yang akan datang. Tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi manusia untuk masa depannya, melebihi dari seorang anak yang saleh, yang memberikan manfaat untuk kehidupan dunia dan kehidupan agamanya, sebagaimana dijelaskan oleh hadis Nabi saw:
ان الولد الصالح من عمل المرء الذي ينفعه دعاؤه بعد موته.
“Sesungguhnya anak yang saleh adalah hasil perbuatan manusia yang mendatangkan manfaat baginya sesudah matinya”.
Dengan demikian perintah untuk mengerjakan amal baik untuk diri itu, mengandung arti, sebuah perintah untuk memilih istri yang subur, yang menyayangi anak-anaknya, yang dapat membantu suaminya untuk mendidik anak-anaknya sehingga menjadi anak yang saleh. Hal itu diibaratkan seperti petani yang hendak menyemaikan bibit, maka ia akan memilih tanah yang subur, agar bibit tumbuh dengan baik, bisa mendatangkan hasil yang banyak dan memuaskan.
Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah menyalahgunakan posisi istri sebagai ladang bagi suami. Artinya, seorang suami menggauli istri-istrinya tanpa mengindahkan keadaannya yang sedang haid, atau menggauli mereka pada tempat yang tidak semestinya, atau memilih wanita yang buruk perangainya dan tidak mau mendidik anak-anak. Perintah bertakwa yang datang sesudah larangan menggauli wanita yang sedang haid dan perintah menggauli mereka pada tempat yang diperintahkan Allah, dan perintah untuk berbuat baik dan beramal saleh, merupakan penjelasan dari firman Allah, “Takutlah kepada Allah, janganlah kamu menyimpang dari ketentuan dan petunjuk Allah”. (Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār (Beirut: Dār al-Ma’rifah,th.1414H/1993M), jilid II, hlm. 363.)
Kemudian ayat ini diakhiri dengan ancaman terhadap orang yang melanggar perintah dan memberi kabar gembira kepada kaum mukmin yang menaati aturan dan ketentuan serta batasan-batasan agama dengan firman-Nya:
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”
Ini merupakan peringatan dan ancaman bagi orang-orang yang melanggar perintah Allah. Satu hal yang harus ketahui manusia bahwa di akhirat kelak mereka akan mempertanggunjawabkan perbuatan mereka di hadapan Allah. Allah akan membalas semua perbuatan manusia yang berupa pelanggaran atas perintah-Nya dengan azab yang pedih. Sebaliknya, Rasulullah diperintahkan untuk memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mematuhi ketentuan dan batasan-batasan agama dengan mengikuti petunjuk Allah, khususnya dalam hal menggauli istri dan mendidik anak, bahwa mereka akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berkaitan dengan hal tersebut, seseorang harus memilih untuk dirinya seorang istri yang saleh dan menjalani kehidupan rumah tangganya, termasuk dalam menggauli istrinya, sesuai dengan aturan syariat dan fitrah manusia. Kemudian mendidik anak-anak, sebagai buah perkawinan, dengan pendidikan dan akhlak yang baik, sehingga anak menjadi penyejuk jiwa baginya.
Sebaliknya, orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya dengan melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya dan tidak mengindahkan sunnatullah terhadap manusia, maka ia tidak akan selamat dari bencana dan malapetaka di dunia dan di akhirat nanti.
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2018