Tali Pengikat Hidup KH Ahmad Dahlan

Muhammad Darwis merupakan nama kecil dari Ahmad Dahlan. Setelah berangkat haji, barulah namanya berganti menjadi Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Siapa yang tak kenal, kampung kelahirannya, Kauman tepat pada tahun 1868. Kauman merupakan sebuah kampung yang terletak di sekitar Masjid Besar Keraton Yogyakarta di sisi Barat Alun-Alun Utara Kraton Yogyakarta.

Ayahnya termasuk pejabat agama sebagai imam dan Khatib di Kraton Yogyakarta. Selama menjajaki pendidikan, KH Ahmad Dahlan tidak pernah mengenyam sekolah formal. Ia memperoleh beragam ilmu dari belajar sendiri (otodidak). Otodidak yang dimaksud belajar sendiri atas kemauan sendiri mendatangi ulama dan berguru pada yang ahlinya.

Banyak ilmu yang pernah dipelajari dan dikuasai KH Ahmad Dahlan, yaitu ilmu Nahu, Fiqih, ilmu Falaq, Hadits, Qiratul Qur’an, Pengobatan dan racun, filsafat dan tasawuf. Tak jarang pula, beliau berguru dengan ulama-ulama yang ada didalam negeri dan luar negeri khususnya Saudi Arabia.

KH Ahmad Dahlan sempat bertemu dan berdialog dengan beberapa ulama, seperti Syech Muhammad Khatib di Minangkabau, Imam An-Nawawi di Banten, bahkan beliau juga mempelajari buku dan kitab dari ulama besar, seperti karya Imam Syafi’I, Imam Al-Ghazali, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.

Sayangnya, beliau tidak sempat membaca kitab karya ulama lainnya karena beliau sakit beberapa kali. Pada akhirnya, beliau wafat pada tanggal 23 Februari tahun 1923. Namun, sebelum beliau wafat, beliau sempat memberikan pesan pada bagian akhir bukunya. Pada Januari 1923, beliau jatuh sakit sebulan sebelum wafat. Dan beliau masih sempat mendirikan rumah sakit pertama bersama sahabat-sahabatnya. Rumah sakit ini seperti yang kita kenal, yaitu Rumah Sakit PKU Muhammadiyah yang diresmikan pada tanggal 13 Januari 1923.

Beberapa bulan sebelumnya, kesehatan beliau memang kelihatan menurun. Maka dari itu, beliau diminta para sahabatnya untuk berisitirahat dikediaman beliau di Tretes Malang. Menjadi Khatib dan Imam Shalat Jum’at juga sempat beliau laksanakan disana. Rekaman pidato terakhir beliau, diduga diterbitkan di Hoodftbestuur (PP) Majelis Taman Pustaka pada tahun itu juga (1923) dan diberi judul “Tali Pengikat Hidup”. Dalam judul lain ada yang membuat “Kesatuan Hidup Manusia”.

Sebelum Muhammadiyah berdiri, KH Ahmaad Dahlan telah melakukan kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, KH Ahmad Dahlan diangkat sebagai Khatib Masjid Besar dan diberi gelar Amin. Kemudian pada tahun 1907, beliau mempelopori Musyawarah Alim Ulama. Setelah itu, beliau mengusulkan untuk membentuk Badan Musyawah Ulama agar dapat mempersatukan ulama seluruh Hindia Belanda (1922). Dua tahun sebelum wafat (1921), KH Ahmad Dahlan menyelenggarakan Kongres Islam bersama Sarikat Islam pertama di Cirebon.

Pada tahun 1909, beliau juga ikut bergabung dengan Boedi Oetomo untuk memperlancar misi dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukan beliau. Termasuk juga untuk mendukung hal itu, antara tahun 1908-1909, beliau mendirikan sekolah pertama yaitu Madrasah Ibtidaiyyah (setingkat SD) dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut dikelola secara modern diruang tamu beliau. Begitulah semangat dakwah beliau untuk mengikat hidup agar lebih bermakna dan bermanfaat bagi sekitarnya. (Rahel)

Exit mobile version