Hukum Memakai Baju Merah

Hukum Memakai Baju Merah

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Apa hukumnya laki-laki memakai warna merah? Ada ulama yang mengatakan karena warna merah adalah warna syaitan. Bagaimana pak Ustadz? Juga bagaimana jika perempuan memakai baju/kerudung warna merah/terang?

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Ismail Noor Efendi (disidangkan pada Jum’at, 16 Rabiulawal 1438 H / 16 Desember 2016 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wr. wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut ini jawaban dari kami:

Pakaian merupakan salah satu nikmat yang sangat besar, yang Allah berikan kepada para hamba-Nya. Pakaian yang dikenakan oleh seorang hamba memiliki nilai ibadah di sisi Allah. Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan kaidah umum dalam berpakaian, yang intinya adalah menutup aurat. Melalui cara berpakaian, sesungguhnya Allah hendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang mulia dan sebagai identitas keislaman. Allah swt berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ [الأعراف، 7: 26].

Wahai anak cucu Adam sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian taqwa itu lah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat” [QS. al-A‘raf (7): 26].

… وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُم بَأْسَكُمْ ۚ … [النحل، 16: 81]

“… dan Dia menjadikan pakaian bagimu yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan …” [QS. an-Nahl (16): 81].

Adapun tentang pakaian atau baju yang berwarna merah, berikut ini kami paparkan hadis-hadis Nabi saw yang menjelaskannya.

1- عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ سَمِعَ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ [رواه البخاري].

Dari Abu Ishaq (diriwayatkan) dia mendengar Al Barra` r.a. berkata: Rasulullah saw adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau [HR. al-Bukhari, nomor 5400].

2- عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ … ثُمَّ رَأَيْتُ بِلَالًا أَخَذَ عَنَزَةً فَرَكَزَهَا وَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مُشَمِّرًا صَلَّى إِلَى الْعَنَزَةِ بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ … [رواه البخاري].

DariAun bin Abu Juhaifah (diriwayatkan) dari Bapaknya berkata: … kemudian aku lihat Bilal mengambil tombak kecil dan menancapkannya di tanah, lalu Nabi saw keluar dengan mengenakan pakaian merah menghadap ke arah tombak kecil dan memimpin orangorang shalat sebanyak dua rakaat …” [HR. al-Bukhari 376, Muslim 503, dan Abu Daud 520, lafal al-Bukhari].

3- عَنِ البَرَاءِ قَالَ مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِي لِمَّةٍ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ أَحْسَنَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … [رواه الترمذي].

Saya belum pernah melihat ada orang yang rambutnya menjuntai ke telinga, dengan memakai pakaian merah yang lebih tampan dari pada Rasulullah saw …” [HR. at-Turmudzi 1646 dan menurut at-Turmudzi hadis ini hasan shahih].

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa memakai warna merah bagi laki-laki dibolehkan, karena Rasulullah saw pernah memakai warna merah dan beliau memakainya tidak hanya sekali.

1- حَدَّثَنَا آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا أَشْعَثُ بْنُ سُلَيْمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ سُوَيْدِ بْنِ مُقَرِّنٍ، قَالَ: سَمِعْتُ البَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سَبْعٍ: نَهَانَا عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ, أَوْ قَالَ: حَلْقَةِ الذَّهَبِ، وَعَنِ الحَرِيرِ، وَالإِسْتَبْرَقِ، وَالدِّيبَاجِ، وَالمِيثَرَةِ الحَمْرَاءِ، وَالقَسِّيِّ، وَآنِيَةِ الفِضَّةِ … [رواه البخاري]

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah telah menceritakan kepada kami Asy’ats bin Sulaim dia berkata; saya mendengar Mu’awiyah bin Suwaid bin Muqarrin berkata; saya mendengar Barra` bin ‘Azib radliallahu ‘anhuma berkata; “Nabi saw melarang kami tujuh perkara: beliau melarang kami mengenakan cincin dari emas atau kalung dari emas, memakai kain sutera, istibraq, dibaj, mitsarah hamra`, Qasiy (sejenis kain sutera campuran) dan tempat air dari perak …” [HR. al-Bukhari no 5414].

Al-Mayatsir: jamak dari kata mitsarah, semacam karpet kecil terbuat dari sutera dengan campuran katun, yang digunakan oleh penunggang onta untuk duduk. (Keterangan Dr. Musthafa Bagha, ta’liq Shahih al-Bukhari 7/24).

Al-Mayatsir, berdasarkan keterangan di atas, bukan pakaian tapi karpet untuk duduk.

Al-Qassi: baju yang benangnya campuran antara katun dan sutera, dinisbahkan kepada daerah pembuatnya al-Qassi yang berada di Mesir.

2- عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَحْمَرَانِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم [رواه الترمذي]. 

Dari Abdullah bin Amru (diriwayatkan) ia berkata, Seorang laki-laki yang mengenakan dua kain berwarna merah lewat di depan Nabi saw seraya mengucapkan salam, namun Nabi saw tidak menjawab salamnya [HR. at-Turmudzi 2731, Abu Dawud 3574, dan hadis ini dinilai dhaif oleh Albani dan ulama lainnya, karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Yahya al-Qattat yang dinilai dhaif oleh Imam Ahmad, Ibnu Main dan yang lainnya).

3- عَنْ رَافِع بن يَزِيْد الثقفي أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: إنَّ الشَّيْطانَ يُحِبُّ الحُمْرَةَ فإيَّكُمْ وَالحُمْرَةَ وَكُلَّ ثَوْبٍ ذِي شُهْرَةٍ [رواه الطبراني].

Dari Rafibin Yazid asTsaqafi (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya syaitan itu menyukai warna merah maka jauhilah olehmu warna merah dan setiap pakaian yang terkenal (mencolok)” [HR. ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dan al-Baihaqi dalam kitab Syua’bul Iman].

Hadis dari Rafi’ bin Yazid, – Rafi’ bin Yazid juga sering disebut dengan Rafi’ bin Khudaij, – diriwayatkan oleh Ibn Qani’ secara marfu’ dengan lafal yang sama. Hadis ini telah ditakhrij oleh al-Hakim di dalam kitab al-Kiny. Selain beliau Abu Nuaim juga mentakhrij hadis ini dalam kitab Ma’rifatnya. Begitu pula Ibnu Qani’, Ibnus Sakan, Ibnu Mandah dan Ibnu Ady mentakhrij dalam kitabnya masing-masing. Hadis pendukung atas hadis ini adalah hadis yang ditakhrij oleh ath-Thabrani, dari Imran bin Hushain secara marfu’ dengan lafal yang berbunyi: “Jauhilah olehmu  pakaian warna merah, karena pakaian warna merah adalah perhiasan yang paling disukai syaitan” [HR. ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir (18/148), dalam sanadnya ada perawi yang bernama Said bin Bisyr, dia didhaifkan oleh Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibn Main, an-Nasai, sehingga status hadis ini adalah dhaif].

Asbabul wurud kedua hadis di atas ialah, karena Rasulullah saw tidak menyukai pakaian warna merah menyala yang terdapat pada punggung kuda sahabat. Alasan mengapa Rasulullah saw tidak menyukai warna merah menyala karena warna ini melambangkan keberingasan. Sedangkan mewah cenderung kepada kesombongan,  sedangkan pilihan dan kegemaran merupakan petunjuk watak dan jiwa seseorang. (Asbabul Wurud 2, Ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Dimsyidi, hal: 450).

Adapun mengenai laki-laki mengenakan pakaian warna merah penjelasan ini terdapat dalam kitab Fathul Bari, 10/318 yang disebutkan: dari Abdullah bin ‘Amr dia berkata: Rasulullah saw melihat aku memakai dua pakaian bercelup dengan mu’ashfar, lalu beliau berkata sesungguhnya ini salah satu dari pakaian-pakaian orang kafir, karena itu jangan engkau pakai. Dalam lafal lain, Nabi melihatku mengenakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur maka Nabi bersabda “apakah ibumu memerintahkan untuk memakai ini?” aku berkata, “apakah kucuci saja?” Beliau bersabda “bahkan bakar saja” [HR. Muslim]. Menurut penjelasan Ibnu Hajar kebanyakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur itu berwarna merah.

Dalam hadis di atas Nabi mengatakan “apakah ibumu memerintahkanmu untuk memakai ini” hal ini menunjukkan pakaian berwarna merah adalah pakaian khas perempuan sehingga tidak boleh dipakai laki-laki. Sedangkan perintah Nabi untuk membakarnya, menurut Imam an-Nawawi adalah sebagai bentuk hukuman dan pelarangan keras terhadap pelaku dan yang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama. Dari hadis di atas juga bisa kita simpulkan bahwa maksud pelarangan Nabi karena pakaian warna merah adalah ciri khas warna pakaian orang kafir.

Terdapat hadis lain yang nampaknya tidak sejalan dengan penjelasan di atas yaitu hadis dari al-Barra’, dia mengatakan Nabi adalah seorang yang berperawakan tegap. Ketika Nabi berpakaian berwarna merah maka aku tidak pernah melihat seorang yang lebih tampan dibandingkan beliau” [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Jawaban untuk permasalahan ini adalah bahwa yang terlarang ialah kain yang berwarna merah polos tanpa campuran warna lainnya. Sehingga jika kain berwarna merah tersebut bercampur dengan garis-garis yang tidak berwarna merah maka diperbolehkan.

Dalam Fathul Baari, Ibnu Hajar menyebutkan adanya tujuh pendapat ulama tentang hukum memakai kain warna merah.

Pertama: membolehkan secara mutlak. Inilah pendapat dari Ali, Thalhah, Abdullah bin Ja’far, al-Bara’ dan para sahabat yang lain, dari Sa’id bin al-Musayyab, an-Nakhai, asy-Sya’bi, Abu Qilabah, Abu Wail dan para tabi’in yang lain.

Kedua: melarang secara mutlak.

Ketiga: hukum makruh berlaku untuk kain berwarna merah membara dan tidak untuk warna merah yang teduh. Pendapat ini dinukil dari Atha’, Thawus dan Mujahid. Berdasarkan hadis dari Ibn Umar tentang al-mufaddam.

Keempat: hukum makruh berlaku untuk semua kain berwarna merah jika dipakai dengan maksud semata berhias atau mencari popularitas namun diperbolehkan jika dipakai di rumah dan untuk pakaian kerja. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Abbas.

Kelima: diperbolehkan jika dicelup dengan warna merah saat berupa kain baru  kemudian ditenun dan terlarang jika dicelup setelah berupa tenunan. Inilah pendapat yang dicenderungi oleh al-Khathabi.

Keenam: larangan hanya berlaku untuk kain yang dicelup dengan menggunakan bahan ‘ushfur karena itulah yang dilarang dalam hadis sedangkan bahan pencelup selainnya tidaklah terlarang.

Ketujuh: kain yang terlarang adalah berlaku khusus untuk kain yang seluruhnya dicelup dengan ‘ushfur. Sedangkan kain mengandung warna yang selain merah maka itu boleh. Inilah makna yang tepat untuk hadis-hadis yang nampaknya membolehkan kain berwarna merah karena tenunan Yaman yang biasa Nabi kenakan itu umumnya memiliki garis-garis berwarna merah dan selain merah.

Ibnul Qayyim mengatakan, “ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah polos dengan anggapan bahwa itu mengikuti sunah padahal itu sebuah kekeliruan karena kain merah yang Nabi kenakan itu tenunan Yaman sedangkan tenunan Yaman itu tidak berwarna polos.

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, sesudah masalah ini diteliti, larangan mamakai pakaian warna merah itu apabila menyerupai pakaian kafir. Oleh sebab itu, kesimpulannya adalah seperti pembicaraan tentang pengaruh warna merah, tetapi apabila karena mode pakaian wanita, maka kembali kepada larangan menyerupai perempuan. Jadi yang dilarang itu bukan zatnya. Apabila karena ingin kemasyhuran atau menjatuhkan kehormatan, maka larangan itu karena hal tersebut. Tetapi apabila tidak karena demikian, maka tidak dilarang.

Etika Berbusana

Tuntunan pakaian adalah tuntunan kesopanan, dan menurut kebutuhan di dalam pergaulan. Oleh karena itu patut atau tidak patutnya pakaian adalah sangat tergantung keadaan yang memakainya. Bagi wanita-wanita yang terhormat berbeda keadaanya dengan wanita-wanita pada umumnya, sehingga bagi perempuan yang hendak menggunakan pakaian warna merah atau cerah tidak ada larangan atasnya, hanya saja yang penting dalam hal ini mengenakan pakaian bagi wanita muslim adalah suatu kewajaran dan tidak berlebih-lebihan, tidak pula memamer-mamerkan, jangan sampai terjebak pada tabarruj jahiliyah, yang dilarang oleh Islam. Allah swt berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ … [الأحزاب، 33: 33]

Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu …” [QS. al-Ahzab (33): 33].

Selain itu hendaknya pakaian yang digunakan tersebut tidak ketat, menampakkan lekuk tubuhnya, tidak transparan dan tidak menyerupai laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ [رواه البخاري].

Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) dia berkata; Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.””(HR.al-Bukhari no 5435)

Pada dasarnya, memakai pakaian dengan warna apa saja hukumnya boleh, tetapi warna terbaik menurut Rasulullah adalah pakaian warna putih, sebagaimana hadis:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَجَاءٍ الْمَكِّيُّ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضُ فَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ وَالْبَسُوهَا [رواه ابن ماجه].

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ashShabbah, telah memberitakan kepada kami Abdullah bin Raja` alMakki dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Sebaik-baik pakaian kalian adalah putih, maka kafanilah mayat kalian dengan warna itu, dan berpakaianlah dengan warna itu pula [HR. Ibn Majah no 1461].

Di dalam hadis shahih juga diriwayatkan, bahwasanya beliau pernah memakai pakaian berwarna hijau (Abu Dawud no. 4065, at-Turmudzi no. 2812) dan bersorban dengan kain hitam (Muslim no 1358). Sehingga, tuntunan dalam berpakaian ialah dilihat pada fungsi dan niatnya dalam berpakaian. Yang dilarang ialah bukan zatnya namun niat yang keliru dalam menggunakannya. Rasulullah sebagai sosok panutan dalam segala hal begitu pula dalam berpakaian, maka menggunakan pakaian warna merah/cerah bagi laki-laki maupun perempuan dibolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan tatacara berbusana bagi seorang muslim.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2018

Exit mobile version