Assalamu’alaikum wr wb
Bu Emmy yth., saya ibu dari 2 anak (7 tahun dan 3 tahun). Keluarga kami biasa-biasa saja, saya menikah dengan pria teman kuliah setelah 3 tahun pacaran. Anak-anak kami, Alhamdulillah pandai dan sehat. Keluarga kami baik-baik saja sampai pada usia pernikahan kami yang ke 10 tahun, masalah besar timbul. Suami saya minta izin menikah lagi. Tanpa sepengetahuan saya, ia berhubungan dengan wanita lain. Bahkan mereka sudah berencana menikah, dan mengatur segala hal kehidupannya.
Saya, perempuan sehat, mampu melayani kebutuhan suami lahir dan batin, punya penghasilan dan karir bagus lagi, jelas tidak mau dimadu. Saya merasa sangat dikhianati. Setelah itu setiap hari selalu terjadi pertengkaran yang tidak ada titik temunya. Apa saja yang dilakukan atau diucapkan suami selalu membuat saya marah. Sedang suami pulangnya makin larut, makin irit bicaranya pada saya dan sudah 7 bulan ini kami tidak tidur bersama. Saya berusaha sabar menghadapi masalah ini dan memberi ultimatum padanya memilih saya dan anak-anak atau WILnya.
Karena, tidak memberi kepastian, maka saya menyerahkan masalah ini pada keluarga besar. Kami disidang. Alhamdulillah keluarga mendukung saya. Tampaknya suami merasa tersudut dan memilih kembali pada keluarga. Tapi, ia semakin bertingkah, ia makin suka uring-uringan, cepat emosi dan tak betah di rumah.
Waktu semakin bergulir, saya melihat tidak ada perbaikan/kemajuan secara positif. Bagaimana saya menghadapi suami yang suka uring-uringan? Sebatas mana saya harus bersabar dan mencoba mempertahankan keluarga saya? Atas jawabannya jazakumullah.
Wassalamu’alaikum wr wb
A, somewhere
Wa’alaikumsalam wr wb
Bu A yth, menghadapi masalah seperti yang ibu hadapi seolah-olah maju kena mundur kena. Bila akhirnya bercerai, masalah yang harus dihadapi adalah dampak dari perceraian. Bila perkawinan bisa diselamatkan, perasaan tersakiti menimbulkan beban psikologis tersendiri.
Jujur saya katakan, kondisi hubungan Ibu sekarang memang sedang buruk. Penyebabnya, karena suami tidak siap menerima kenyataan bahwa sebenarnya ia tidak mampu menghadapi tekanan dari luar dirinya untuk mewujudkan keinginannya. Ia tidak mau menukar eksistensi dirinya di keluarga besar dengan mempunyai istri baru. Sehingga untuk menceraikan Ibu ia juga tak cukup nekat melakukannya. Dan lagi, ia tak cukup yakin bisa lebih bahagia bila meninggalkan Ibu dan menikah dengan WILnya. Bayangkan bila Ibu berada di posisinya, tentu yang ada perasaan tidak berdaya.
Bila perempuan, saat tak berdaya yang ada adalah rasa sedih dan terpuruk. Sedang laki-laki, biasanya marah atas ketidakberdayaannya. Sekuat tenaga ia meyakinkan diri, ia punya power, ia kuat, dengan cara menciptakan dalih sumber masalah bukan keluarga besarnya, tetapi istrinya. Maka, apa saja yang Ibu lakukan membuatnya tidak nyaman dan mudah marah. Di mata suami, ibu jadi sosok yang kelihatan salah, menyebalkan dan membuat ia marah. Ia lantas menciptakan ilusi diri bahwa ia tidak lemah dan tidak butuh Ibu lagi. Mulamula ini hanya untuk menyelamatkan citra dirinya, karena berjalan terus-menerus, maka akan keluar kata-kata “Aku harus bercerai, aku tak butuh kamu.”
Saya anjurkan, saling memaafkan menjadi prioritas selanjutnya. Tanyakan pada diri, apakah masih punya kepercayaan bila perkawinan ini dipertahankan. Ibu dan suami bisa mengembangkan diri sebagai diri? Benarkah anak-anak akan lebih punya lingkungan yang sehat secara psikologis? Bila tidak punya keyakinan, segera akhiri. Bila ada peluang untuk menata kembali hubungan menjadi hubungan yang lebih matang dan dewasa.
Mulailah dari Ibu, hilangkan gengsi. Fokus pada upaya penyelamatan. Yaitu tetap bersikap hangat walau tidur tak sekamar. Siapkan kamar yang dipilihnya untuk tetap bersih, siapkan minuman. Dan di pagi hari, kebutuhannya tetap Ibu siapkan. Ini untuk menambah perbendaharaan memorinya bahwa berinteraksi dengan Ibu tetap oke. Bila ia masih punya cinta, perlahan tapi pasti, ia akan berubah. Bila ini terjadi, katakan apa yang Ibu lihat dan rasakan. Tambahkan pula terima kasih atas apa yang ia lakukan. Semoga yang tadinya terpaksa memberi rasa nyaman pada Ibu, lalu akan menetap sebagai kebiasaan di setiap interaksi dan menjadi pola interaksi Ibu dengan suami. Akhirnya suami yakin Ibu terlalu berharga untuk ditinggalkan.
Namun pilihan tetap ada pada Ibu. Semoga Allah memberi petunjuk pada Ibu untuk pilihan yang terbaik bagi Ibu dan keluarga. Amin.
Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya
Sumber: Majalah SM Edisi 18 2016