Oleh: Mukhlis Rahmanto
Sebelum Pak Kahar dan M. Rasjidi, tahun 1926, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), salah satu trio pembaru Islam dari Minangkabau selain Syekh Thahir Jalaludin dan Jamil Djambek, murid dari Syekh Ahmad Chatib al-Minangkabawi di Mekah, dan pendiri Sumatra Thawalib, mendapatkan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar saat beliau bergabung dengan delegasi ke Kongres Dunia Islam atau Kongres Khalifah di Universitas Al-Azhar Kairo, yang diadakan sesudah Ibnu Saud menguasai Hijaz pada 1925. Ia berangkat bersama koleganya Abdulah Ahmad (yang juga mendapat gelar kehormatan), KH. Mas Mansur (saat itu ketua Majelis Tarjih), dan Tjokroaminoto (pemimpin besar Sarekat Islam). Di Mesir rombongan ini bertemu dengan para ulama dan tokoh, antara lain mufti Mesir, Syekh Bakhit al-Muthi’iy dan pemimpin Mesir, Saad Zaghloul.
Haji Rasul terus menjaga jaringan dengan para ulama Mesir dengan banyak membeli dan berlangganan kitab yang diterbitkan di Kairo oleh penerbit buku Islam internasional (kala itu), yaitu Mustafa al-Babi al-Halaby, Bulaq dan Mathba’ah al-Amiriyah. Ia tertarik dengan gerakan Muhammadiyah ketika datang pertama kali ke Jawa dan menemui Kiai Dahlan di Yogyakarta. Ia memilih Muhammadiyah karena pendekatan non-politik praktisnya melalui reformasi pendidikan Islam untuk menegakkan agama Islam dan menjadi agitator penyebaran Muhammadiyah di Sumatera, dimana pada tahun 1932, telah berdiri 57 cabang Muhammadiyah di Sumatera Barat saja.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, putra beliau Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) juga mendapatkan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa (dukturah al-fakhriyah) dari Universitas Al-Azhar pada 21 Januari 1958. Dalam penganugerahannya, ia membawakan orasi tentang reformasi Islam di Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Muhammad Abduh. Naskah orasi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Arab oleh Kevin W. Fogg (Jurnal Afkaruna, Vol. 11 No. 2, Desember 2015). Di Muhammadiyah, jelas peran Hamka sangat besar dan mendalam, mulai dari menjadi dai Muhammadiyah di Sulawesi Selatan hingga menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah di atas dan para pelajar Jawa dan Semenanjung Malaya di Kairo menurut Michael Laffan (2004) dan Azra (2002), banyak mempelajari tentang ide nasionalisme dan Islam dalam irisan kata “wathaniyyah”, “ummah”, dan “jinsiyyah” dari debat dan perjuangan nasional para intelektual dan revolusioner Mesir (Saad Zaghloul, Ahmad Luthfi Sayyid, Mustafa Kamil Pasha) yang berjuang melepaskan diri dari okupasi Inggris. Maka genealogi nasionalisme Indonesia juga terbentuk di Kairo pada awal abad ke-19 dengan bukti terbitnya Seruan Azhar, tidak hanya di kalangan pelajar Indonesia di Belanda saja.
Generasi selanjutnya dapat dicatat antara lain Prof. Baroroh Baried, MA, Ketua PP Aisyiyah terlama (1965- 1985) dan profesor perempuan pertama di Indonesia yang dikukuhkan pada 1964, sebagai profesor linguistik dan filologi di UGM.
Ia pernah belajar bahasa Arab di Universitas Al-Azhar antara tahun 1953-1955 di Universitas al-Azhar. Sesuatu yang luar biasa dimana seorang perempuan saat itu “nekad” belajar ke luar negeri di tengah lingkaran patriarki yang dominan. Hal yang menginspirasi perempuan Muhammadiyah lain kelahiran Bukittinggi, yaitu Prof Dr Zakiah Darajat, ahli dan pencetus psikologi Islam di Indonesia yang mendapat master dan doktoralnya dari Unversitas Ain Shams, Mesir. Ia ke Mesir pada 1956 setelah Konferensi Asia Afrika di Bandung dengan beasiswa dari Departemen Agama dan Pemerintah Mesir. Di Kairo ia membuka konsultasi kejiwaan dan mengajar bahasa Indonesia, hingga ia bisa mendatangkan kedua orangtuanya ke Kairo sekaligus menunaikan haji di Mekah. Disertasinya mengenai psikoterapi mendapat penghargaan medali pengetahuan langsung dari presiden Gamal Abdul Naser pada 1965. Sekembalinya ke Indonesia, ia mengabdi menjadi birokrat di Departemen Agama, daipenceramah dan dosen di berbagai perguruan tinggi. Ia adalah alumnus Standard School Muhammadiyah dan Kulliyatul Muballighat Muhammadiyah Bukittinggi.
Ulama yang fakih dan filosof Muhammadiyah, KH. Ahmad Azhar Basyir pernah mengenyam pendidikan di Mesir, yaitu di Darul Ulum Universitas Kairo, dan memperoleh masternya dengan tesis berjudul “Nizham alMirats fi Indunisiya baina-‘Urf wa asy-Syari’ah al-Islamiyah” (Sistem Warisan di Indonesia menurut Hukum Adat dan Hukum Islam) pada 1960. Sebelumnya ia setahun kuliah sastra di Universitas Baghdad, Irak.
Buku kumpulan tulisannya, “Refleksi atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi “ (Mizan, 1993), jika dilihat dari referensinya, mencerminkan pengaruh karya para ulama, penulis dan intelektual Mesir antara lain: Muhammad Abu Zahrah, Sayyid Sabiq, Abbas al-Aqqad, Ahmad Amin, Sayyid Qutb, Abdul Halim Mahmud, Mustafa Abduraziq, Abdurrazaq al-Sanhuri, Mustafa As-Sibaiy, Abdul Qadir Audah, dan tentu saja Abduh dan Rasyid Ridha. Ia termasuk ulama yang menguasai turats Arab Islam klasik, dari fikih hingga filsafat, yang banyak ia baca dan koleksi ketika di Kairo dan mengelaborasinya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan modern, salah satunya ekonomi Islam.
Sekembalinya ke Indonesia, ia mengajar filsafat dan hukum Islam di Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia. Di Muhammadiyah, ia menjadi ketua Pimpinan Pusat 1990-1995 dan anggota tetap Akademi Fikih Islam (Majma’ al-Fiqh al-Islamiy) di Jeddah, Saudi Arabia sebagai wakil tetap Indonesia hingga wafatnya.
Selain nama-nama di atas, beberapa tokoh Muhammadiyah pernah mengenyam pendidikan di Mesir, dan tentu saja meminum air sungai Nil sebagaimana Nabi Musa meminumnya adalah Prof Dr Amien Rais yang pada 1978-1979 mengambil data penelitian untuk disertasi doktoralnya di Universitas Chicago tentang Ikhwanul Muslimin. Selama di Mesir ia mengikuti kuliah di Universitas Al-Azhar. Pak AR atau KH. AR Fakhruddin juga pernah mengunjungi Mesir tahun 1970-an yang kemungkinan menghadiri peringatan milad Universitas Al-Azhar. Penulis melihat foto beliau bersama Dr Rifyal Kabah (alumni Al-Azhar dan Hakim Agung) di dokumen koleksi foto Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo.
Tentu saja masih banyak orang-orang Muhammadiyah yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang belajar mulai dari tingkat sarjana, master dan doktoral di banyak lembaga pendidikan di Mesir. Dapat disebut antara lain: Dr Ahmad Zein An-Najah (doktor hukum Islam Al-Azhar, mantan ketua Majelis Tarjih PCIM Kairo), Dr Saiful Bahri (doktor tafsir al-Qur’an Al-Azhar, kini dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta), Dr Arwin Juli Butar-butar (doktor ilmu falak Institut Liga Arab, Kairo, kini dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) dan Dr Sutrisno Ismail (doktor tafsir Al-Qur’an Al-Azhar, kini dosen UIN Raden Patah Palembang).
Orang-orang Islam Indonesia hingga kini tetap menjadikan Mesir sebagai satu magnet impian untuk menuntut ilmu atau sekedar berkunjung.
Hingga muncul ikatan batin antara kedua bangsa yang diwakili sebuah kelakar, “Al-Qur’an nazal fi al-su’udiyya, wa yutla fi Masr, wa yu’malu bihi fi Indunisiyya, Al-Qur’an diturunkan di Saudi Arabia, dibaca (dan didiskusikan) di Mesir, dan diamal-praktikan di Indonesia”. Diskusi tentang Islam memang tidak pernah usai di Mesir hingga kini, misalnya dapat dirunut melalui pemikiran Taha Husein, Nashr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Yusuf al-Qardhawi dan Muhammad Imarah yang laku di Indonesia. Suatu fenomena yang dalam pandangan Talal As’ad, menunjukan Islam sebagai ajaran yang memiliki karakteristik tradisi diskursif.
Kini di Mesir telah berdiri dan eksis Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Kairo Mesir, sebagai cabang Muhammadiyah pertama di luar negeri yang diresmikan oleh PP Muhammadiyah (Din Syamsudin, Haedar Nashir, Muchlas Abror) tahun 2003. Terdapat kurang lebih 400 warga dan simpatisan Muhammadiyah yang tergabung di PCIM Kairo (sebelumnya dalam wadah Ikatan Keluarga Muhammadiyah-IKM) dan kebanyakan sedang menempuh pendidikan di Al-Azhar. Amal usaha yang terwujud antara lain Markaz Dakwah Muhammadiyah Kairo yang di dalamnya terdapat usaha hotel-penginapan, TK ABA Kairo hingga Tapak Suci Putera Muhammadiyah yang menarik minat warga Mesir belajar silat. PCIM Kairo menjadi tali penyambung api pembaruan dan intelektualisme Islam, antara Mesir dan Muhammadiyah Indonesia yang telah dirintis oleh para pendahulunya.
Tulisan Sebelumnya Orang-orang Muhammadiyah di (dan) Mesir (1)
Mukhlis Rahmanto, Azharite, mengajar di UMY & mahasiswa doktoral University of Malaya
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2020