Pertanyaan:
Apakah saat imam membaca fatihah makmum membaca fatihah sesudah atau sebelum imam atau cukup dengan menyimak saja?
Awaluddin Azmi, Shalatiga [disidangkan pada Jum’at, 23 Muharram 1439 H / 13 Oktober 2017 M]
Jawaban :
Pertanyaan pertama sudah pernah ditanyakan pada kami dan jawabannya telah dimuat pada Buku Tanya Jawab Agama jilid 3, halaman 104, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah. Namun ada baiknya kami ringkaskan di sini.
Secara umum membaca al-Fatihah dalam shalat itu adalah wajib karena merupakan salah satu rukun shalat, sehingga tidak sah shalat tanpa membacanya. Hal ini berdasarkan hadis:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ [رواه البخاري ومسلم].
“Dari ‘Ubadah Ibn as-Samit (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Pembukaan Kitab (al-Fatihah)” [HR al-Bukhari No. 714 dan Muslim No. 595].
Hanya saja membaca al-Fatihah di belakang imam terdapat dua garis besar ijtihad fiqih, yaitu ijtihad mazhab Hanafi dan ijtihad jumhur ulama. Dalam mazhab Hanafi makmum di belakang imam dalam shalat jamaah tidak membaca al-Fatihah. Hal ini didasarkan kepada firman Allah:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [٧:٢٠٤] .
“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” [QS. al-A‘raf (7): 204].
Menurut jumhur ulama membaca al-Fatihah baik dalam shalat sendirian maupun berjamaah di belakang imam adalah wajib hukumnya, berdasarkan hadis ‘Ubadah di atas. Mejelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sesuai dan sejalan dengan pandangan jumhur ulama ini. Hadis ‘Ubadah tidak bertentangan dengan ayat di atas. Ayat di atas dapat dianggap sebagai perintah umum, sedangkan hadis ‘Ubadah menjadi takhsis (pengkhususan), yaitu di dalam shalat berjamaah makmum tetap membaca al-Fatihah.
Hadis ‘Ubadah memang merupakan hadis ahad, dan menurut kaidah usul fiqih Hanafi, hadis ahad tidak dapat membatasi keumuman al-Qur’an, karena hadis ahad adalah zanni, sedangkan al-Qur’an adalah qat‘i. Sementara kaidah usul fiqih jumhur ulama menyatakan bahwa hadis ahad dapat membatasi keumuman al-Qur’an, karena pernyataan umum itu sifatnya zanni sebab masih memerlukan penjelasan. Oleh karena itu hadis ahad bisa saja membatasi keumuman al-Qur’an. Jadi hadis ‘Ubadah tadi tetap dipegangi. Selain itu membaca al-Fatihah di belakang imam itu dikuatkan pula oleh hadis lain,
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَقْرَءُونَ خَلْفِي قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا إِلَّا بِأُمِّ الْكِتَابِ [رواه أحمد].
“Dari Abdullah Ibnu Abi Qatadah dari ayahnya (Abi Qatadah) (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bertanya (kepada para sababatnya): Apakah kalian membaca sesuatu di belakangku? Mereka menjawab: Ya. Beliau berkata: Jangan kalian lakukan itu, kecuali Ummul-Kitab” [HR. Ahmad No. 21576].
Hadis ini menegaskan bahwa ketika imam membaca dengan nyaring, maka makmum tidak membaca sesuatu di belakang imam, kecuali surah al-Fatihah. Dengan demikian ketika imam membaca al-Fatihah atau surah al-Qur’an setelah al-Fatihah, makmum tidak diperkenankan membaca apapun kecuali al-Fatihah. Namun kemudian muncul masalah yaitu kapan membaca al-Fatihah bagi makmum itu, apakah pada saat imam membaca al-Fatihah ataukah setelah imam membaca al-Fatihah, yakni pada saat imam membaca ayat atau surah al-Qur’an? Bagaimana pula cara membacanya, apakah secara jahr (nyaring), ataukah secara sirr (tidak bersuara)? Persoalan ini telah dijawab dalam hadis berikut,
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِأَصْحَابِهِ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَتَقْرَءُونَ فِي صَلَاتِكُمْ خَلْفَ الْإِمَامِ وَالْإِمَامُ يَقْرَأُ؟ فَسَكَتُوا قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ قَائِلٌ أَوْ قَائِلُونَ إِنَّا لَنَفْعَلَ قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا وَلْيَقْرَأ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فِي نَفْسِهِ [رواه ابن حبان].
Dari Anas ra (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw shalat bersama para sahabat, setelah melaksanakan shalat beliau menghadapkan wajahnya kepada mereka, lalu beliau bersabda: Apakah kamu dalam shalatmu membaca (dengan nyaring) di belakang imammu, padahal imam itu membaca (dengan nyaring)? Mereka terdiam. Beliau mengatakannya sampai tiga kali, lalu berkata seseorang atau beberapa orang: Sungguh kami mengerjakannya. Kemudian beliau bersabda: Janganlah kamu mengerjakannya. Hendaklah seseorang dari kamu membaca Fatihatul Kitab (al-Fatihah) pada dirinya (dengan suara rendah yang hanya didengar sendiri)” [HR. Ibnu Hibban: 1876].
Hadis yang terakhir ini menyatakan, bahwa makmum hendaknya membaca al-Fatihah di belakang imam dengan suara sirr, yakni dengan suara pelan/rendah yang hanya didengar sendiri. Dalam hadis tersebut memang tidak disebutkan secara tegas mengenai kapan makmum itu membaca al-Fatihah. Namun melalui hadis itu pula kita dapat memahami bahwa waktu untuk membaca al-Fatihah itu sebaiknya adalah pada saat imam membaca surah al-Fatihah atau dicelah-celah imam membaca ayat-ayat dari surah al-Fatihah itu. Sedang pada saat imam membaca ayat-ayat atau surah al-Qur’an setelah membaca al-Fatihah, makmum sepenuhnya memperhatikan bacaan imam.
Selanjutnya, perlu juga ditegaskan bahwa berdasarkan hadis-hadis yang dikutip di atas, Himpunan Putusan Tarjih memberikan tuntunan sebagai berikut: “Hendaklah kamu memperhatikan dengan tenang bacaan imam apabila keras bacaannya (jahr), maka janganlah kamu membaca sesuatu selain surah al-Fatihah” (HPT, hlm.117).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018