Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, penulis diminta memberikan ceramah umum dan pembekalan di hadapan 128 peserta penerima beasiswa yang akan studi di dalam dan luar negeri yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan pada Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pesertanya sangat heterogen dari seluruh tanah air dengan topik khusus yang diminta tentang “Character Building: Pemimpin Baru yang Reformatif dan Kontributif”. Penyelenggara ingin memperoleh penyegaran semangat dan pemikiran yang dapat memotivasi peserta dari perspektif Muhammadiyah, yang menurut mereka telah sukses menyelenggarakan Muktamarnya yang ke-47 di Makassar.
Ada hal yang menarik dan membuat penulis bangga ketika moderator melakukan pemanasan suasana sebelum ceramah dimulai. Dengan spontan dan cara partisipatif dia minta sejumlah peserta menyebutkan satu kata untuk mengidentifikasikan siapa Muhammadiyah itu? Satu peserta menyebut “berkemajuan”, yang disambut tepuk tangan hadirin. Peserta lain memberi label sebagai berikut: “pencerahan”, “pembaruan”, “Dahlan”, “reformis”, “modern”, “intelektual”, “Islami”, “hisab”. Malah, dengan seloroh tapi bernada hormat ada yang menyebut “berbeda Idul Fitri”, yang disambut gelak tawa teman-temannya. Peserta lain tertawa karena yang bersangkutan menyebutkan tiga suku kata, selain nada membenarkan isinya kalau Muhammadiyah sering berbeda waktu pelaksanaan Idul Fitri.
Selaku pimpinan Muhammadiyah rasanya senang menyaksikan anak-anak muda dari luar yang beragam latar belakang itu mengenali Muhammadiyah dengan halhal yang semuanya berkonotasi positif. Mereka melabeli Muhammadiyah sebagai gerakan yang “Islami”, “reformis”, “modernis”, “pembaruan”, “pencerahan”, “intelektual”, “menggunakan hisab”, dan istilah yang mutakhir “berkemajuan”, sekaligus kenal dengan pendiri gerakan Islam ini. Boleh jadi pengenalan seperti itu dianggap biasa atau lumrah bagi Muhammadiyah yang sudah berusia tua dan berkiprah luas di Republik ini. Namun bagi penulis predikat-predikat yang disebutkan anak-anak muda itu merupakan suatu bukti kalau Muhammadiyah memperoleh penghormatan dan kepercayaan yang positif dari generasi bangsa.
Kehormatan Muhammadiyah
Kehormatan mengandung makna penghargaan, kebesaran, nama baik, kemuliaan, dan bahkan kesucian. Artinya jika seseorang atau suatu organisasi seperti Muhammadiyah mendapatkan penghormatan dari orang lain maka yang bersangkutan otomatis memperoleh pandangan positif karena memang di dalam dirinya terdapat unsur-unsur yang berharga, besar, baik, mulia, dan bersih. Sebaliknya orang atau organisasi yang kehilangan kehormatannya berarti dari dirinya lepas hal-hal yang positif itu sehingga menjadi tidak terhormat atau tidak dihormati orang lain.
Kehormatan Muhammadiyah tentu secara esensi atau hakiki merujuk pada kehormatan Islam. Islam sebagai agama yang menjadi landasan, asas, dasar, dan sumber nilai yang membingkai, mengarahkan, membimbing, dan mengkerangkai denyut nadi gerakan Muhammadiyah. Islam sebagai “Way of Life” atau pandangan hidup utama Muhammadiyah sehingga menampilkan diri secara Islami sebagaimana terkandung dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah dan seluruh fondasi pemikiran gerakan ini. Islam yang menyatu dan menjadi identitas utama Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid yang bertujuan mewujudkan Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Karenanya siapapun yang menjadi anggota, kader, dan utamanya pimpinan Muhammadiyah di berbagai struktur dan komponen organisasi ini, termasuk mereka yang berada di amal usaha, maka niscaya menampilkan dan mempraktikkan kepribadian serta sikap tindak kehidupan Islami
Seluruh tarikan napas hidupnya Islami. Dari hal-hal yang bersifat yaumiyah atau sehari-hari sampai ke urusan-urusan besar atau mu’amalah duniawiyah seperti ekonomi dan politik haruslah Islami. Islam yang merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Maqbulah dengan bangunan pemikiran ijtihadi yang berkemajuan. Bukan Islam dengan pemahaman dan praktik yang kolot, sempit, serpihan, keras, dan antikemajuan.
Berislam yang benar dan dapat menjadi teladan jika setiap Muslim taat kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan. Nabi bersabda dalam salah satu Haditsnya, tahallaqu bi Akhlaqillah, artinya berperilakulah sebagaimana Akhlak Allah. Al-Asma Al-Husna adalah salah satu rujukan taat dan mengikuti Akhlak Allah. Akhlak Allah itu menurut para ahli hikmah lebih menonjol sifat-Nya yang jamaliyah (kelembutan) ketimbang tajaliyah atau keperkasaan-Nya. Maksudnya, mengikuti Akhlak Allah secara mendasar yaitu melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan menunaikan hal-hal yang diizinkan-Nya. Dalam bermuhammadiyah maka sumbu utama penggeraknya ialah Habluminallah yang tercermin dalam seluruh perilaku ihsan. Itulah sumber kehormatan gerakan Islam ini.
Muhammadiyah juga niscaya meneladani Akhlak Nabi. Akhlak Nabi itu Al-Qur’an sebagaimana kesaksian Siti Aisyah. Nabi mengemban risalah Islam dan menjalani kehidupan dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai “Role Model Utama”. Nabi adalah figur Al-Qur’an yang berjalan. Allah bahkan memberi predikat istimewa kepada Nabi sebagai berakahlaq agung (Qs Al-Qalam: 4) dan menjadi teladan terbaik atau Uswah Hasanah (Qs Al-Ahzab: 21). Maka, siapapun anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah jika ingin menjaga kehormatan gerakan Islam ini maka teladanilah Akhlak dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Bukankah Muhammadiyah menisbahkan dirinya dengan nama Nabi Muhammad?
Kepercayaan Muhammadiyah
Muhammadiyah memperoleh kepercayaan dari masyarakat luas, termasuk pemerintah maupun pihak luar negeri, karena gerakan Islam ini memang amanah atau terpercaya. Jika diberi sesuatu maka dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya untuk kepentingan organisasi atau kepentingan umum sebagaimana mestinya, bukan untuk kepentingan orang perorang atau pimpinannya. Manakala ada program kerjasama dengan pihak lain benar-benar ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sehingga tumbuh kepercayaan kepada gerakan Islam ini. Artinya orang Muhammadiyah maupun kelembagaan Muhammadiyah sama-sama harus terpercaya sehingga dipercaya pihak lain.
Muhammadiyah itu telah menjadi gerakan Islam yang besar dan terpercaya. Memang faktor orang juga menjadi pertimbangan, tetapi nama Munammadiyah sendiri merupakan kekuatan yang luar biasa. Muhammadiyah dengan sistemnya yang akuntabel dan kiprahnya yang nyata di masyarakat luas merupakan “trade mark” tersendiri yang terpercaya. Nama Muhammadiyah itu jaminan spesial bagi siapapun. Jika tanpa nama Muhammadiyah tentu hanya sekadar melekat pada orang atau yayasan tertentu saja, tidak akan lebih dari itu. Jika tanpa nama Muhammadiyah maka belum tentu pihak luar mempercayakan diri untuk menjalin kemitraan. Sehebat apapun orang itu dalam Muhammadiyah mereka datang dan pergi, sementara Muhammadiyah tetap kokoh sebagai organisasi pergerakan dengan nama besarnya yang terpercaya.
Muhammadiyah besar dalam konteks perilaku juga karena sikap amanah dan kiprah dari sebanyak mungkin orang yang berada di dalamnya dari tingkat pusat hingga ranting dan jama’ah
Muhammadiyah termasuk amal usahanya itu menjadi besar bukan hasil kerja seseorang, meski tentu ada orang-orang yang kuat dan pekerja keras. Ketika ada orang yang merasa lebih hebat dan mengklaim berjasa besar di Muhammadiyah maka perlu lebih menghayati lagi makna bermuhammadiyah agar mampu rendah hati dan tidak angkuh. Muhammadiyah itu hebat karena kebersamaan para pelaku gerakannya, yang tentu saja masing-masing harus saling mendukung dan terus mengoptimalkan pengkhidmatan dalam memajukan Persyarikatan.
Kehebatan Muhammadiyah bukan karena kemajuan semata, tetapi karena prinsip dan nilai-nilai gerakannya yang terus menjadi inspirasi dan obor pencerah masyarakat, yang kemudian melahirkan penghargaan yang tinggi. Muhammadiyah dan orang-orang Muhammadiyah itu harus memiliki jatidiri yang autentik, yang tulus dan terpercaya. Inilah mutiara Muhammadiyah. Maka rawatlah kepercayaan sekaligus kehormatan yang melekat dalam Muhammadiyah yang sangat berharga dan bermakna itu. Siapapun jangan menyalahgunakan nama baik Muhammadiyah untuk kepentingan diri di luar misi dan kepentingan Persyarikatan, lebih-lebih menyimpangkannya. Di sinilah pentingnya integritas, komitmen, dan penghayatan akan makna, misi, kepentingan, serta lebih utamanya prinsip dan ideologi gerakan Muhammadiyah. Jangan bermuhammadiyah secara instrumental yang berhenti pada pelibatan secara verbal, intelektualitas, dan profesionalitas belaka minus makna spiritualitas dan ideologis.
Pasca Muktamar Makassar dan terbentuknya struktur kepemimpinan maupun unsur pembantu pimpinan di tingkat pusat yang diikuti dengan Musyawarah Wilayah, Musyawarah Daerah, Musyawarah Cabang, dan Musyawarah Ranting maka merupakan keniscayaan bagi seluruh anggota pimpinan dengan dukungan kader dan anggota maupun simpatisan untuk membawa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menjadi uswah hasanah. Semua permusyawaratan di Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting harus berjalan sukses, terhormat, dan terpercaya. Jangan ada rebutan posisi dan jabatan yang membuat permusyawaratan terganggu. Bermuhammadiyah itu perlu jiwa, bukan sekadar raga. Tempuhlah jalan lurus dalam bermuhammadiyah. Jauhi hal-hal yang dapat mencederai kehormatan dan kepercayaan Muhammadiyah, karena masyarakat luas telah menaruh hormat dan kepercayaan yang sangat positif kepada Muhammadiyah.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2015