Surat Al-Baqarah [2] Ayat 228-232
Dalam masa idah itu, al-Quran menjelaskan bahwa suami adalah orang yang paling berhak untuk membina rumah tangga lagi dengannya apabila mereka ingin ishlah atau rujuk kembali. Maksudnya, bila dalam perceraian itu masing-masing suami-istri menyadari bahwa perceraian itu disebabkan oleh emosi tak terkendali, misalnya, kemudian menyadari akan kesalahan itu dan akhirnya saling memaafkan, kemudian berketetapan hati untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, maka pembinaan rumah tangga babak baru perlu dilakukan lagi. Sebaliknya, bila saat masa idah habis belum ada gelagat untuk mengulangi pembinaan rumah tangga lagi, maka nikah baru dengan pria lain dapat dijadikan pilihan.
Kalimat berikutnya menyatakan bahwa setelah terjadi rujuk berdasarkan keinginan membina rumah tangga yang lebih baik di babak baru, wanita mempunyai hak yang sama seperti yang dimiliki oleh suami. Artinya, sebagaimana sediakala masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Kepemilikan atas hak tidak dimaksudkan untuk bersitegang demi mempertahankan hak, tetapi untuk dijadikan pelajaran bahwa suami harus menyadari bahwa istri itu mempunyai hak yang harus dihormati. Sebaliknya, istri menyadari bahwa ada hak yang melekat pada suami yang harus dihargai. Karena itu, kelanjutan kalimat dalam al-Quran adalah “Pihak suami mempunyai satu tingkatan kelebihan atas istri.” Kalimat ini tidak dimaksudkan untuk menjadi senjata bagi suami untuk bersombong ria terhadap istri, tetapi untuk disadari bahwa suami secara alami memiliki kemampuan yang lebih sehingga melahirkan kewajiban membiayai kebutuhan rumah tangga. Bila ada suami yang menunjukkan keangkuhan dan kekuatannya, ia harus sadar bahwa ada yang lebih kuat dan perkasa, sebagaimana ayat itu ditutup dengan kalimat “Allah itu Maha Perkasa sekaligus Maha Bijaksana.”
Bilangan Talak (Ayat 229)
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَن يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ٢٢٩
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat 229 ini dimulai dengan ungkapan “Talak itu dua kali.” Diriwayatkan bahwa di masa jahiliyah, talak yang kemudian boleh dirujuk kembali itu tidak ada batasnya. Sulit bagi kaum wanita mencoba pengalaman membangun rumah tangga dengan pria selain dengan mantan suaminya.
Para ulama tidak berselisih pendapat dalam memahami kalimat ini. Talak yang dapat “dianulir” dengan cara rujuk kembali itu hanya dua kali. Karena itu talak ini disebut sebagai talak raj’i. Untuk rujuk tidak diperlukan mahar dan tidak pula diperlukan akad nikah baru. Talak raj’i diundangkan untuk memberi prioritas kepada suami-istri untuk memperbaiki kesalahan tindakan yang mereka lakukan sebelum talak. Seandainya tidak ada konsep talak raj’i, maka peluang pria lain menikahi wanita yang baru saja ditalak sama dengan suaminya yang baru saja mentalaknya. Sementara itu, talak adalah bagian dari pembelajaran dalam membina rumah tangga.
Para ulama berbeda pendapat mengenai talak tiga yang diucapkan sekaligus ketika pertama kali talak dilakukan. Ada yang berpendapat jatuh talak tiga, ada yang berpendapat hanya jatuh talak satu. Di Indonesia melalui regulasi yang ada, perbedaan pendapat itu dapat diatasi. Perceraian diakui keabsahannya bila pihak pengadilan memutuskannya. Perceraian harus melalui proses peradilan. Di sini pengadilan menjadi penentu untuk membawa talak hanya dihitung satu kali saja. Tidak ada pembicaraan lagi tentang talak tiga atau talak seribu. Idah dihitung sesuai dengan keputusan hakim pengadilan, tidak dari beberapa hari atau beberapa bulan sebelum mereka menghadap hakim di pengadilan. Kemudian, kalau ayat tentang rujuk itu diaktualisasikan dalam fikih bahwa rujuk tidak perlu saksi, maka demi tertib administrasi dan maslahat yang lebih besar, rujuk harus diproses di pengadilan, tidak dapat dilakukan seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
Kelompok ayat tentang aturan hukum talak, jatuhnya talak dan bilangannya, bahkan anjuran rujuk merupakan pedoman bagi umat Islam untuk membuat regulasi hukum keluarga di negara mereka. Bagi umat Islam yang berada di negara yang tidak memiliki hukum keluarga Islami, ayat ini sangat penting untuk dipedomani.
Talak merupakan pengalaman pahit bagi suami-istri dalam membangun keluarga bahagia. Dalam keadaan cerai itu, masing-masing memiliki kesempatan untuk mengkaji ulang kesalahan yang telah dilakukan, untuk dijadikan catatan agar tidak terulang bila hendak membangun keluarga lagi. Talak juga memberi kesempatan untuk menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna. Bila sampai terjadi dua kali talak, maka dapat diperkirakan bahwa ada persoalan yang amat serius pada masing-masing suami-istri. Seharusnya, bila sebuah keluarga mempunyai pengalaman talak dua kali dan kemudian rujuk kembali, maka masalah keluarga yang mungkin timbul dapat dieliminasi. Dengan demikian tidak perlu ada talak yang ketiga.
Bila rumah tangga harus berakhir dengan perceraian, maka harus dilakukan secara baik-baik, dan mantan suami tidak boleh meminta sesuatu yang telah diberikan kepada mantan istrinya. Bila dalam rumah tangga itu pihak wanita merasa bahwa berdasarkan pengalaman berumahtangga ia berusaha berada di jalan Allah, tetapi tampaknya hubungan mereka tidak dapat dipertahankan (mereka tidak dapat menegakkan petunjuk yang digariskan oleh Allah), maka pihak istri dapat memberikan sesuatu sebagai tebusan agar perkawinan diakhiri dengan perceraian. Hal ini dalam fikih disebut al-khul’u. Tebusan biasanya sesuatu seharga mahar ketika akad nikah tempo dulu. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dinyatakan,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً.
“Dari Ibnu Abbas bahwa istri Tsabit bin Qais mendatangi Rasul seraya berkata, “Wahai Rasul, Tsabit tidak saya kawatirkan kelakuan dan agamanya. Tetapi aku kawatir kekafirannya dalam beragama Islam (meskipun beragama Islam tetapi sering berbuat fasiq mengarah kufur).” Rasul bertanya, “apakah kamu ingin mengembalikan kebunmu kepadanya? Istrinya menjawab, “Ya.” Rasulullah berkata kepada Tsabit “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” Bersambung
Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Muh Zuhri
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2018