Oleh: Hasnan Bachtiar
Wacana “NKRI bersyariah” tidak selamanya negatif. Hal ini sangat potensial menjadi amunisi yang berfungsi mendongkrak rating kualitas demokrasi Indonesia.
Memang selama dekade kedua pasca reformasi, demokrasi kita dianggap merosot oleh lembaga-lembaga internasional pemerhati demokrasi di pelbagai negara di dunia. Menurut mereka “kebebasan yang berkeadaban” (civil liberty) tidak terpenuhi dengan baik. Bahkan negara, telah diklaim menunjukkan wajahnya yang semakin otoritarian. Di samping itu, intoleransi meningkat secara bertahap, walaupun tidak menapaki tangga secara drastik.
Ada kasus penting yang patut dipertimbangkan sebagai bukti kebebasan berkeadaban di ruang publik menurun: pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Jika HTI hidup di negara yang mengafirmasi patrimonialisme, – di mana seluruh kekuasaan mengalir begitu saja dari tangan seorang pemimpin – maka lebih mudah membubarkannya bahkan tanpa memerlukan alasan demokratis apa pun mengenai hal tersebut. Asalkan pemimpin negaranya tidak suka, maka bisa kapan saja dieksekusi: dilarang, dijadikan organisasi terlarang, dikafirkan dan harus diawasi eksistensinya. Tentu Indonesia bukanlah negara patrimonial. Terlebih monarki yang otoritarian dan despotik.
Indonesia adalah negara Pancasila dengan bentuk republik, yang merekonstruksi demokrasi sekular murni menjadi demokrasi berbasis musyawarah religius dan berkeadaban.
Masalahnya HTI telah tumbuh di Indonesia, – negara yang diniatkan oleh para pendirinya agar menjadi negara terdemokratis di dunia. Terutama, setelah era otoritarianisme Suharto berakhir, di mana iklim politik kebangsaan telah mengalami liberalisasi.
Ketika HTI dianggap terlampau keras mengkritik negara, dengan pelbagai motif dan argumentasi yang dikampanyekannya, negara tidak memberikan kesempatan sedikit pun untuk HTI beradaptasi dan menyesuaikan diri “secara lebih konstitusional”.
Menurut perspektif demokrasi Pancasila, HTI sebenarnya masih memiliki kesempatan untuk bertransformasi menjadi organisasi yang lebih demokratis. Bisa saja misalnya, konsep negara khilafah yang mereka usung, dikontekstualisasikan menjadi konsep negara yang berdiri di atas fondasi moralitas religius (tauhid), kemanusiaan (insaniyyah), persatuan (ukhuwah), musyawarah (syura’) dan keadilan (‘adalah). Jika demikian, maka selaras dengan Pancasila. Untuk sementara waktu, masalah dianggap selesai.
Seandainya pun kontekstualisasi mustahil dilakukan, maka prosedur hukum yang konstitusional melalui peradilan harus diberikan kepada mereka, sebagai kesempatan untuk berdebat, berargumentasi dan menyatakan aspirasinya secara lebih rasional di hadapan negara. Sekali lagi, harus melalui peradilan yang sah dan pro-justitia (demi keadilan!).
Secara realistik, HTI sendiri bercita-cita menggapai kekuasaan politik di Indonesia. Argumentasi yang diajukannya adalah bentuk negara, praktik dan sistem politik Indonesia, serta pelbagai identitas kebangsaan yang dimiliki “tidak Islami”. Indonesia bukan negara Islam (tapi negara demokrasi), tidak berdasarkan al-Qur’an dan hadits (tapi berlandaskan Pancasila), tidak dijalankan dengan sistem politik dan hukum syariah (tapi demokrasi Pancasila dan hukum warisan Belanda) dan tidak beridentitas simbol-simbol ArabIslam (tapi Bhinneka Tunggal Ika). Seluruh argumentasi tersebut, terangkum dalam jargon tunggal “Tegakkan Khilafah Islamiyyah”.
Tentu saja HTI menjadi ancaman bagi penguasa politik. Bukan hanya itu, HTI dianggap menimbulkan instabilitas bagi berjalannya politik yang demokratis
Dengan jargon dan argumentasi yang dimiliki, kampanye yang dilakukan negara adalah menganggapnya melakukan tindakan yang bersifat subversif. Tindakan yang sangat berbahaya karena mengancam kedaulatan negara (baca: bertentangan dengan NKRI, Pancasila dan UUD 1945).
Dalam konteks ini, penguasa tidak sendirian. Organisasi Muslim terbesar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, berdiri di depan sebagai tameng stabilisasi politik, yang secara konsisten menyatakan “demi menjaga integrasi bangsa”. NU dengan nada yang jelas dan tegas menyatakan, “NKRI harga mati”, sementara Muhammadiyah secara lebih ideologis dan konseptual memproklamirkan “Negara Pancasila adalah Dar al-Ahd wa alSyahadah” (negara perjanjian dan persaksian).
Sebenarnya kedua organisasi arus utama tersebut memahami betul bahwa HTI secara terangterangan menjadikan wacana agama sebagai instrumen untuk kepentingan politik kekuasaan tertentu.
Ketika fenomena populisme Islam mengemuka di Indonesia (melalui Aksi Bela Islam 411 dan 212 sebelum Pilpres 2019), HTI terlibat aktif dan memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Adalah hal yang biasa bagi mereka untuk turun ke jalan dalam rangka berdemonstrasi. Sebagian kalangan yang kritis terhadap mereka akan mengatakan bahwa, HTI adalah pengingkar demokrasi, namun pandai mengambil faedah dari adanya demokrasi.
Dalam konteks ini, memang benar bahwa pelbagai aktor kontestasi politik nasional (baca: oligarkisme) memainkan instrumentalisasi agama demi kepentingan politik kekuasaan
Akan tetapi, bak gayung bersambut, baik HTI maupun kontestan politik yang ada, saling mendapatkan keuntungan politik ketika mereka berperan sebagai oposisi melawan aktor-aktor politik yang berkuasa saat itu. Artinya, HTI beranggapan bahwa tidak masalah dijadikan sebagai instrumen politik sepanjang hal itu memberikan manfaat yang besar bagi visi dan misi politik mereka sendiri.
Dalam Aksi Bela Islam, HTI pada mulanya tidak dianggap sebagai salah satu free riders yang berbahaya. HTI adalah organisasi Islam yang gerakannya tidak disertai dengan kekerasan. Mungkin HTI radikal dalam pemikiran dan ideologi, tetapi fakta mencatat bahwa apa yang dilakukannya di sepanjang periode politik pasca Orde Baru, tidak pernah disertai dengan kekerasan (non-violence). Kendati demikian, pembisingan yang mereka lakukan, terutama melalui media sosial (Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, Websites) mengundang pelbagai jaringan Islamisme radikal untuk tampil lebih berani dan leluasa.
Karena dianggap membuka pintu bagi masuknya gerakan terorisme, maka menurut perspektif keamanan negara (di samping juga demi kepentingan politik penguasa untuk meredam laju populisme Islam yang dipakai senjata pihak oposisi untuk Pilpres 2019), HTI dianggap sebagai ancaman negara. Sekali lagi, ini adalah argumentasi (dan legitimasi) yang dipakai oleh penguasa.
Pelbagai lembaga pemantauan HAM internasional (terutama International Amnesty dan Human Rights Watch) menyoroti bahwa pembubaran HTI melalui pencabutan legalitas badan hukumnya, dipahami sebagai hal yang berlawanan arah dengan penghormatan kebebasan sipil. Argumentasi mereka yang dapat kita pahami, adalah hal yang tidak demokratis membubarkan organisasi masyarakat sipil tertentu melalui tangan politik kekuasaan, bahkan meskipun mereka merupakan organisasi anti-demokrasi.
Terlepas dari konteks kontestasi politik nasional dan instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik, sebenarnya data menunjukkan bahwa kasus terorisme pada dua dekade pasca reformasi menurun berangsur-angsur
Pada awal dekade pertama setelah reformasi politik, pelbagai kasus besar terjadi seperti misalnya Bom Bali (2002), Bom JW Marriot Jakarta (2003), Bom Kedubes Australia (2004), Bom JW Marriot dan Ritz Carlton (2009). Setelah itu, terjadi kasus Thamrin Jakarta (2016). Di tahun yang sama, terjadi kasus teror pada 8 Juni di Surabaya, 5 Juli di Surakarta, 28 Agustus di Medan dan 13 November di Samarinda. Dua tahun kemudian (2018), teror gereja terjadi pada 13 dan 16 Mei, dan juga 3 Juni. Pada 3 Juni 2019, hanya terjadi satu kasus di Sukoharjo. Di antara kasus-kasus yang terjadi, JI, JAT dan JAD (dua yang terakhir adalah jaringan ISIS di Asia Tenggara) dianggap bertangungjawab. Yang memprihatinkan, 671 warga negara Indonesia berangkat ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS (menjadi foreign fighters).
Sebaliknya, kasus intoleransi keagamaan meningkat secara bertahap. Banyak sweeping dilakukan di tempat-tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, penyerangan rumah-rumah ibadah penganut keagamaan lainnya (terutama yang dianggap menyimpang), terjadi pelbagai aksi massa menentang kelompok keagamaan yang dianggap merendahkan Islam, dan terjadi pula upayaupaya formalisasi syariat Islam.
Kasus-kasus tersebut terjadi secara fluktuatif (50-93 kasus) pada periode 2008-2010. Mereka yang terlibat intoleransi adalah para apparat negara, organisasiorganisasi Islam, kelompok konservatif, garis keras dan radikal, serta yang lainnya. Sementara korbannya adalah kelompok keagamaan minoritas seperti Kristen, Syiah, Ahmadiyah, penganut kepercayaan dan lain sebagainya. Pada 2011-2013 jumlah kasus yang ada berfluktuasi (naik-turun) di kisaran angka 110- 245. Tetapi pada periode 2014- 2017, angkanya terus meningkat secara berturut-turut adalah 158, 190, 204 dan 213.
Melalui indikator peningkatan kasus intoleransi yang terjadi inilah, kemudian sebagian kalangan menyimpulkan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia tidak memberikan tempat yang baik bagi kemerdekaan sipil. Hal ini juga menjadi bukti yang kuat mengenai adanya pengerasan sikap keagamaan bagi sebagian kaum Muslim.
Kontestasi Politik dan Demokratisasi
Dari hal-hal yang digarisbawahi: HTI dan Intoleransi, ada dua hal lain yang sebenarnya lebih mengkhawatirkan yang dianggap benar-benar mengancam kualitas demokrasi dewasa ini. Yang pertama adalah tampilnya otoritarianisme politik dan yang kedua, ruang publik tidak terkondisikan dan mengkondisikan adanya kontestasi politik yang sehat, demokratis dan berkeadaban. Apa yang disebutkan terakhir ini, berkaitan erat dengan kesadaran demokratisasi yang dimiliki oleh masyarakat di Indonesia.
Pilpres 2019 memang menjadi titik tolak partisipasi politik yang massif bagi seluruh rakyat Indonesia
Sayangnya, politik rasional yang kalkulatif (realpolitik) lebih diutamakan ketimbang politik yang memperjuangkan nilainilai luhur kehidupan (highpolitics). Dengan bahasa yang lebih sederhana, seluruh aktor dan partisipan politik, masih mengedepankan pentingnya “meraih kekuasaan” dari pada pembangunan peradaban Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang substansial.
Tidak jarang para aktor politik dengan kesadaran realpolitik menjadi hoax sebagai instrumen berargumentasi di ruang publik. Bukan hanya itu, nilai-nilai agama terabaikan dan identitas keagamaan seringkali ditonjolkan sebagai senjata di dalam setiap agenda kampanye realpolitik. Sebaliknya, para partisipan politik bukan tidak memahami masalah ini, malah mengapresiasi dan turut serta dalam perdebatanperdebatan politik yang remehtemeh, tidak rasional dan minim gagasan berkeadaban.
Saat ini, Pilpres sudah selesai. Pemenang realpolitik adalah Jokowi dan Prabowo tumbang, meskipun, ia kemudian mencoba mendekat ke penguasa. Partaipartai politik baik yang menanam saham sebagai pendukung gerbong politik Jokowi selama Pilpres, maupun yang oposisi, serta mereka yang berdiri dengan kedua kaki (di kubu Jokowi dan Prabowo sekaligus) saat ini sedang bernegosasi dalam memperebutkan posisi politik tertentu dalam formasi elit nasional (kabinet). Di dalam internal partai politik masing-masing, para kader politik juga sedang memperebutkan posisi politik tertentu.
Masalahnya adalah, tidak semua masyarakat – terutama yang mengalami konservatisasi keagamaan – memiliki kesadaran realpolitik dan kemudian secara rasional berlapangdada dengan munculnya pemenang di dalam kontestasi lima tahunan. Sebagian dari mereka, secara ideologis, masih benar-benar mengidamkan berdirinya Indonesia yang bersyariah. Tentu argumentasi ini dipilih, karena mereka takut mengalami hal yang sama seperti HTI, jika menyatakan mereka memimpinkan Indonesia sebagai dar al-Islam dan Pancasila harus diganti oleh syariat Islam.
Wadah yang memfasilitasi visi, misi dan ekspresi mereka adalah Ijtima’ Ulama’. Lalu mereka mengumandangkan penting kiranya menjadi Indonesia bersyariah. Mereka bermanuver bahwa mereka menginginkan syariah sebagai nilai kemudian mampu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, meskipun di kalangan internal mereka, impian mengenai khilafah Islamiyyah secara jelas dan lantang masih terus-menerus dikampanyekan dalam setiap momen musyawarah (ijtima’).
Kita masih mengidentifikasi secara lebih jauh, apakah Ijtima’ Ulama ini merupakan transformasi HTI yang baru, ataukah sebuah komunitas yang terdiri dari banyak elemen (ideologi, gerakan dan institusi) namun memiliki aspirasi yang mirip dengan impian utopis HTI?
Tetapi saya ingin mengajukan argumentasi bahwa, ketika Ijtima’ Ulama ini diinstitusionalisasikan, maka akan semakin terbuka peluang bagi mereka untuk berubah wujud menjadi partai politik. Jika mereka menjadi partai, maka mereka memiliki kesempatan yang legal untuk dapat mengikuti kontestasi politik nasional berikutnya. Jelas mereka bisa mendapatkan perwakilan di parlemen, apabila mendapatkan sekurang-kurangnya 4 % suara (parliamentary threshold).
Saat ini negara sesuai dengan amanat konstitusi dan Pancasila diharapkan bersikap lebih arif dan bijaksana, sehingga bisa melihat apakah mereka yang sebelumnya dianggap “kontraNKRI dan Pancasila” benar-benar mendapatkan dukungan rakyat atau tidak. Tentu saja seluruh kontestan politik pro-demokrasi harus pula bertarung secara fair dengan mereka (pengusung NKRI bersyariah) di dalam kontestasi realpolitik ke depan.
Mari kita buktikan, apakah mereka benar-benar utopis (bisa tumbang dalam kontestasi realpolitik yang legal) atau suara mereka dikehendaki rakyat? Mari kita mendukung demokratisasi Indonesia secara lebih substansial.
Hasnan Bachtiar, adalah Presidium JIMM, Menekuni bidang Hukum Perang dan Hubungan Internasional, Dosen FAI UMM Malang
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23-24 Tahun 2019