Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Salah satu ciri-ciri hamba Allah adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini dengan rendah hati atau tidak sombong (QS. Al-Furqan: 63). Sombong atau angkuh sering disebut dengan istilah takabbur atau marahan. Al-Ashfahaniy dalam Mufradat Alfadz al-Quran (h. 764), menyebut al-marahu sebagai kebanggaan yang berlebihan atau menunjukkan ketakjuban. Sombong banyak kesamaan dengan sifat ujub (bangga dengan dirinya sendiri atau merasa lebih baik daripada orang lain).
Nuansa kesombongan dalam diri seseorang bisa disimak dari sebuah kisah yang dituliskan Khalid Muhammad Khalid dalam Ar-Rijal Haula al-Rasul. Suatu saat Allah menurunkan wahyu QS. Luqman: 18,
Wala tusha’ir khddaka linnasi wala tamsyi fil-ardhi marahan, innallaha la yuhibbu kulla muhtalin fahur,
“Dan janganlah engkau palingkan mukamu dari manusia dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai segala macam kesombongan diri”. (QS Luqman 18)
Saat mendengar ayat ini dibacakan Rasulullah, sahabat Tsabit bin Qais langsung pulang dan masuk ke dalam rumahnya. Dia mengunci diri di dalam kamar sambil menangis. Berhari-hari Tsabit bin Qais tidak keluar rumah. Lama sekali Rasulullah tidak melihat Tsabit.
Sampai akhirnya berita mengenai Tsabit yang mengurung diri di rumahnya terdengar oleh Rasulullah. Rasulullah pun mengutus seorang sahabat untuk memanggil Tsabit. Ketika ditanya Rasulullah apa yang menyebabkannya sampai mengurung diri di rumah. Tsabit bin Qais menjawab, “Ya Rasulallah, aku menyenangi pakaian yang indah dan sepatu yang bagus. Sungguh, aku malu kepada Allah dan aku takut menjadi orang yang sombong dan membanggakan diri dengan yang aku miliki.” Sebuah sikap yang patut dicontoh di saat begitu banyak orang mengagungkan komoditas dan konsumerisme.
Pada dasarnya sikap sombong adalah perbuatan hati yang orang lain tidak mengetahuinya. Tetapi, karena dorongan hati yang kadang begitu besar, kesombongan seseorang itu seringkali muncul dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang ditujukan kepada orang lain. Lebih parah lagi, orang yang berlaku sombong sering tidak merasa bahwa dirinya sedang berbuat sombong atau ujub. Karenanya, orang mukmin diingatkan dengan sangat keras untuk mewaspadai dan mendeteksi lebih dini terhadap gerak-gerik hati yang sering berubah.
Kesombongan dan keangkuhan diri adalah dosa pertama yang dilakukan oleh Iblis. Ketika Allah menyuruhnya untuk bersujud kepada Adam a.s., Iblis membangkang dan dengan angkuhnya mengatakan ana khairun minhu (QS Shad:76),
“Saya lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Adam Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Shad 76)
Takabburnya Iblis pertama kali ini adalah takabbur karena nasab, sombong karena keturunan. Padahal, kehormatan dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan keimanan dan ketakwaan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin jilid III membagi takabbur menjadi dua: takabbur dalam urusan agama dan takabbur dalam urusan dunia. Takabbur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua: takabbur karena ilmu dan takabbur karena amal. Menurut Imam Al-Ghazali, yang paling banyak melakukan takabbur karena ilmu adalah para ilmuwan, para filsuf dan para ulama. Salah satu ciri-cirinya, ia tidak mau mendengarkan nasihat dari orang lain, karena orang lain dianggap lebih bodoh dari dirinya. Ia mudah menyalahkan orang lain; mudah menghakimi orang lain; dan bahkan tidak segan-segan mengkafirkan sesama muslim. Seakan-akan, keimanan hanya diukur berdasarkan ilmunya saja.
Takabbur karena amal muncul ketika seseorang merasa sudah banyak amalnya, sehingga merendahkan orang lain. Ia merasa sangat berjasa kepada agama, sehingga ia mudah merendahkan orang lain. Ia merasa menjadi orang yang paling taat beragama dan menganggap rendah orang lain yang jarang ikut pengajian. Amal saleh dilakukan tidak karena Allah, melainkan ingin ditunjukkan kepada orang lain. Dan inilah yang akan mengantarkannya kepada kemusyrikan kecil hingga nantinya ke syirik besar.
Takabbur dalam urusan dunia, kata Imam Al-Ghazali, disebabkan oleh lima hal: keturunan, harta kekayaan, kekuasaan, kecantikan dan ketampanan, dan karena banyaknya anak buah dan pengikut. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Isra’ 37,
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong, karena sesungguhnya engkau selamanya tidak akan dapat membelah bumi dan tidak akan bisa menembus gunung.” (QS Al Isra’ 37)
Rasulullan lebih keras lagi mengingatkan: la yadhulul-jannah man kana fi qalbibihi mitsqala dzarratin minal-kibri. “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi.”
Sayyidina ‘Ali k.w. pernah memberikan kiat agar tidak mudah terjebak pada kesombongan, “Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu, ‘Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku.’ Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu, ‘Pastilah amal baiknya lebih banyak daripada amal baikku.’” Setiap orang pasti punya kelebihan. Namun, hal itu tidak menyebabkan seseorang menjadi lebih mulia, lebih alim, lebih tinggi, daripada orang lain. Sedikit saja merasa bahwa diri kita lebih mulia daripada orang lain dan merasa ingin diperlakukan sebagai orang yang terhormat secara berbeda, maka (bisa jadi) kita sudah jatuh ke lubang kesombongan diri . Na’udzu billah. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah I Sumenep Madura
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 19 Tahun 2015