Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Saya ibu rumah tangga berusia 36 tahun, saya sudah menikah dengan suami saya selama 8 tahun dan memiliki 2 anak. Saat kami menikah, suami saya dengan keikhlasannya mau masuk Islam. Kami menikah secara agama Islam. Sampai waktu berjalan, saya melihat gelagat suami yang males-malesan untuk shalat dan lain-lain, tapi jika di depan keluarga saya, suami saya pura-pura tekun dalam shalat dan ibadahnya, dengan maksud mungkin tidak mau mengecewakan keluarga saya. Sampai suatu hari tepatnya sebelum natal tahun 2015 kemarin, saya mendapat mukjizat melihat suami saya shalat tanpa disuruh dan mengajak saya dan anak-anak untuk jamaah. Tapi tiba-tiba dua hari yang lalu, dia katakan jika ia sebenarnya masih belum ikhlas masuk Islam dan ingin kembali ke agamanya yang dulu.
Apa yang harus saya lakukan? Saya masih sangat mencintainya. Tapi setau saya jika dia terus jalani seperti ini akan zina selamanya. Suami juga masih sangat mencintai saya dan anak-anak. Dia tidak mau meninggalkan saya dan anak-anak. Mohon nasehatnya. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
disidangkan pada: Jum‘at, 24 Jumadal Ula 1437 H / 4 Maret 2016 M
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang ibu ajukan. Kami turut berdoa semoga ibu dan keluarga senantiasa mendapatkan jalan keluar dari Allah swt. atas segala permasalahan yang dihadapi.
Selanjutnya perlu kami tekankan bahwa pernikahan ibu bukanlah zina, karena suami belum benar-benar kembali ke agama lamanya. Sehingga ibu tidak perlu merasa sedih dan resah, justru saat ini ibu harus bersemangat untuk meneguhkan keimanan suami, agar dapat menjadi keluarga yang sakinah sampai akhir hayat dan sama-sama selamat di dunia maupun akhirat.
Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang muallaf ingin kembali kepada agamanya yang lama, yaitu (1) karena motivasi awal menjadi Muslim tidak karena panggilan jiwa tetapi karena pernikahan, (2) karena dorongan dari keluarga yang melakukan berbagai usaha agar seorang muallaf kembali kepada agama sebelumnya, (3) karena tidak menemukan apa yang diharapkan dalam agama Islam, (4) karena merasa terkucil dalam lingkungan yang baru, (5) karena lemahnya iman dan pemahaman agama.
Dari cerita ibu di atas, kami membaca bahwa suami ibu menjadi muslim karena pernikahan, mungkin inilah yang menyebabkan suami bersikap tidak konsisten, terkadang rajin shalat, terkadang malas bahkan mulai berfikir untuk kembali ke agama asal. Ini semua hanyalah pembacaan kami semata, hendaknya ibu sendiri melakukan komunikasi dengan suami untuk mengetahui secara jelas apa yang dirasakan suami, agar bisa ditemukan solusi yang tepat untuk mempertahankan suami dalam iman dan Islam.
Sebagai salah satu solusi, kami sarankan kepada ibu dan keluarga terutama suami untuk lebih menambah pemahaman tentang agama Islam, bisa dengan banyak membaca buku-buku keislaman atau menghadiri majlis ilmu atau dengan berkonsultasi langsung kepada yang dianggap dapat memberikan pemahaman mendalam tentang Islam. Setelah mendapat pemahaman yang mendalam tentang agama Islam, diharapkan suami bisa lebih meyakini Islam dan dapat bersama-sama bergandengan tangan dengan istri untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, selamat di dunia dan akhirat.
Selain itu, berilah penjelasan pada suami bahwa tujuan dari pembentukan keluarga adalah untuk mewujudkan ketentraman dengan dasar cinta dan kasih sayang atau yang sering kita sebut dengan keluarga sakinah, yang didasari oleh mawaddah dan rahmah. Sebagaimana firman Allah dalam surah ar-Rum (30) ayat 21,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ. [سورة الروم، 30: 21]
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir [QS ar-Rum (30): 21].
Allah mengatur tata cara perkawinan antar manusia agar terjaga eksistensi (keberadaan) manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah dan untuk menunaikan misi kekhalifahan. Aturan Allah ini dimulai dengan proses pemilihan pasangan. Pemilihan pasangan merupakan hal yang dianggap sangat penting dalam Islam. Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berkeluarga pada dasarnya ditentukan oleh keserasian antara suami dan istri. Untuk memperoleh keserasian tersebut Islam mengajarkan bahwa perkawinan yang dilakukan seorang pria dan seorang perempuan tidak hanya sekedar suka sama suka, melainkan harus sekufu dari segi agama, moral, pendidikan dan sosial. Tentang hal ini Rasulullah saw. memberi petunjuk,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا, وَلِحَسَبِهَا, وَلِجَمَالِهَا, وَلِدِيْنِهَا, فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ [أخرجه البخاري]
Perempuan dikawini karena empat perkara, yaitu karena kekayaannya, pangkatnya (status sosialnya), kecantikannya dan kekuatan agamanya. Pilihlah perempuan yang kuat agamanya, maka kamu pasti beruntung [HR al-Bukhari].
Secara eksplisit Nabi saw. menyatakan bahwa pertimbangan utama dalam memilih pasangan, baik calon istri maupun calon suami adalah “agama”. Pernikahan dengan orang yang seagama dapat melancarkan perjalanan kehidupan berkeluarga, karena way of life (pandangan hidup)-nya seirama. Kafaah dalam aspek agama bagi calon suami/istri yang dimaksud adalah sama-sama memiliki kesepahaman dalam keagamaan dan ke-Islaman. Aspek-aspek yang bersifat materiil, semacam kecantikan/ketampanan, harta kekayaan, jabatan dan sebagainya dipertimbangkan setelah faktor agama terpenuhi. Hal ini karena semua itu merupakan sesuatu yang fana dan bersifat sementara.
Dengan penekanan agama, maka aspek-aspek lainnya akan terwarnai. Perkawinan bukan semata-mata kesenangan duniawi, melainkan juga sarana untuk membina kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Lebih dari itu perkawinan adalah untuk menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral bagi anak dan keturunan. Adanya perbedaan agama di antara anggota keluarga sering menimbulkan kegoncangan, bahkan dapat pula berakibat buruk terhadap anak-anak.
Tidak sedikit anak yang menjadi korban akibat perbedaan agama orangtuanya. Keyakinan mereka menjadi terombang-ambing, mereka menjadi tidak acuh terhadap agama dan pada akhirnya sulit untuk mengembangkan, memupuk, dan membina ikatan cinta dan kasih sayang di antara mereka. Oleh karena itu, seorang muslim seharusnya menghindari pilihan jodoh yang berbeda agama. Orang Muslim baik laki-laki maupun perempuan dilarang menikah dengan non Muslim kecuali mereka telah beriman sebelum menikah. Allah swt. berfirman dalam surah al-Baqarah (2): 221,
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ. [البقرة، 2: 221]
Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Semoga dengan segala usaha dan penjelasan yang ibu lakukan, suami bisa meneguhkan keimanan dan keislamannya. Namun, jika setelah semua usaha yang ibu lakukan dan suami tetap kembali kepada agamanya semula, maka walaupun dengan berat hati, ibu harus melepaskan suami karena pernikahan beda agama itu dilarang sebagaimana firman Allah di atas. Anggap ini sebagai ujian dari Allah, yakinlah bahwa di balik setiap ujian dan kesulitan akan ada kemudahan dan hal manis yang datang dari Allah.
Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat.
Wallahu a‘lam bish-shawab