Hukum Membaca Kitab “Majmu’ah Mawalid wa Adiyah”

Hukum Membaca Kitab “Majmu’ah Mawalid wa Adiyah”

Ilustrasi

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Saya punya buku/kitab dengan judul Tafsir al-Usyr al-Akhir dari AlQur’an al-Karim dibagi cuma-cuma di satu masjid di Makkah tahun 2007. Apa Majelis membenarkan atau menolak, isinya antara lain beramal dengan amalan buruk dengan meninggalkan yang lebih baik berarti setan telah mengalahkan kita. Saya juga punya buku Tuntunan Dzikir dan Doa Keputusan Tarjih dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-25 di Jakarta tahun 2000. Saya pesan pada SM tahun 2005 terdapat Hadits Nabi saw:

Ada lagi Hadits:

Majelis tentu lebih mengetahui yang menyuruh kita beramal dengan yang terbaik semampu kita. Mengapa kita sampai lupa?

Demikian juga dalam Qs. ArRuum: 7:

Ada lagi saya punya buku dengan judul “Majmu’ah Mawalid wa Adiyah”. Pertanyaannya, apakah ada nilai ibadah kalau kita membaca buku ini? Buku ini saya beli pada toko orang Perti.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

H Nyakmat, Labuhanhaji, Aceh Selatan (disidangkan pada hari Jum’at, 25 Jumadats-Tsaniyah 1435 H / 25 April 2014)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr. Wb

Terima kasih atas pertanyaan saudara. Jawaban dari pertanyaan saudara akan kami rinci sebagai berikut.

Untuk pertanyaan pertama saudara, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian setan itu sendiri. Telah disebutkan dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 1 halaman 21 dan 22 bahwa setan adalah makhluk Allah yang pekerjaannya adalah menggoda manusia agar terjerumus ke dalam kesesatan. Dapat dikatakan bahwa setan itu iblis, akan tetapi setan juga dapat didefinisikan sebagai sifat yang ada pada makhluk Allah yang bertujuan untuk menggoda dan menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan. Sifat setan dapat berada pada manusia, jin, dan makhluk lain yang mengarahkan manusia ke dalam kesesatan dan perbuatan yang dibenci Allah, sebagaimana firman Allah:

“Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.” (Qs. An-Naas: 4-6)

Jika dipahami ayat tersebut memang jelas bahwa setan terus berusaha untuk membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia agar mereka mengikuti jalan yang sesat. Salah satu jalan yang ditempuh setan adalah dengan menggoda manusia untuk melakukan amalan yang tidak seberapa penting dan meninggalkan amalan yang lebih utama sehingga ia tidak mendapatkan keutamaan amalan tersebut.

Jika seseorang lebih memilih amalan yang biasa dan meninggalkan amalan yang lebih utama, misalnya ia melakukan perbuatan sunah dan meninggalkan yang wajib padahal ia mampu dan tidak kesulitan, maka benar jika dikatakan ia telah dikalahkan oleh setan, sebab perbuatannya tersebut adalah karena ia mengikuti bisikan setan yang menggodanya untuk mengerjakan amalan yang ringan dan meninggalkan amalan yang lebih besar pahala dan keutamaannya. Kriteria yang dapat dikatakan bahwa ia dikalahkan oleh setan adalah ketika ia mampu melakukan amalan yang lebih utama, akan tetapi ia tidak mengerjakannya karena malas dan sebagainya yang semua itu merupakan bisikan dan godaan setan.

Adapun jika seseorang meninggalkan amalan yang lebih utama karena memang ia kesulitan atau bahkan tidak mampu mengerjakannya. Lalu ia mengerjakan amalan lain dengan keutamaan yang lebih rendah akan tetapi mampu ia kerjakan dan tidak memberatkannya, maka ia tidak dikatakan dikalahkan oleh setan, karena Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 286)

Selain itu Rasulullah saw juga memerintahkan umat Islam untuk beramal yang terbaik semampunya, sebagaimana disebutkan dalam Hadits:

“Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa pada suatu hari ketika Nabi saw pulang ke rumah Aisyah, beliau melihat ada seorang wanita di dekatnya. Lalu Nabi bertanya, “siapakah wanita itu?” Aisyah menjawab,”inilah si Fulanah yang terkenal banyak melakukan shalat.” Kemudian Nabi bersabda, “Jangan begitu! Tetapi kerjakanlah semampumu. Demi Allah, Dia tidak bosan untuk memberikan pahala hingga kamu sendiri yang malas beramal. Agama yang paling disukai Allah adalah yang dilakukan secara tetap dan teratur.” [HR al-Bukhari]

Untuk pertanyaan saudara yang kedua, hanya Al-Qur’an-lah kitab yang murni dengan membacanya dinilai ibadah, sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Qs. Fathir [35]: 29-30)

Juga Hadits Nabi saw:

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan Çáã satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” [HR. at-Tirmidzi]

Adapun buku-buku selain AlQur’an termasuk kitab “Majmu’ah Mawalid wa Adiyah” yang saudara tanyakan tersebut, tidak ada penjelasan dalam nas manapun mengenai pahala karena murni membacanya, oleh karena itu membacanya saja tidak dinilai ibadah. Oleh karena itu, jika ada yang melakukan tradisi untuk membacanya secara rutin bahkan secara berjamaah dan menganggapnya sebagai suatu ibadah, maka hal tersebut sudah termasuk bid’ah dan tertolak, sebab ia telah melakukan amalan baru dalam hal ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana Hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra:

“Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari atas perintah kami, maka ia tertolak.” [HR. Muslim]

Lebih jauh lagi, saudara perlu memperhatikan isi dari kitab “Majmu’ah Mawalid wa Adiyah” tersebut, apakah isinya hanya pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad saw dan doa-doa saja, atau di dalamnya terdapat pengkultusan dan pengagungan yang berlebihan terhadap beliau, bahkan mengandung unsur kesyirikan karena memuja beliau seperti memuja Allah. Jika memang di dalamnya terdapat pengkultusan dan pemujaan terhadap Nabi Muhammad saw secara berlebihan, maka membacanya justru berpotensi menambah dosa, bukan mendapat pahala.

Wallahu a’lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2015

Exit mobile version