Oleh: Firda Nur Jannah
Di awal tahun 2020 Februari lalu, Indonesia dikejutkan dengan seorang balita yang dibunuh oleh seorang anak berusia 15 tahun. Menurut KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun 2018 ada 4.885 pengaduan kasus anak yang dilaporkan, diantaranya 875 kasus terkait keluarga dan pengasuhan anak. Salah satu kasus anak yang terkait keluarga di tahun 2020 ini, mengenai pembunuhan berencana yang dilakukan oleh seorang anak berusia 15 tahun. Diperkirakan motif pelaku pembunuhan sebab adanya gangguang kepribadian.
Keluargasebagai pelindung seorang anak turut bertanggung jawab atas peristiwa ini. Pembunuhan yang dilakukan oleh anak berusia 15 tahun tersebut, tidak hanya disebabkan oleh faktor keluarga terlebih pada faktor psikologi. Gangguan psikologi yang terjadi pada anak biasanya terlihat dari perilaku dan kepribadiannya. Namun dalam hal ini penulis lebih cenderung memperhatikan bahwa anak tersebut memiliki gangguan kepribadian, diantaranya tidak memiliki rasa empati dan antisosial. Gangguan kepribadian ini biasa disebut dengan psikopat.
Menurut Scientific Study of Psychopathy, psikopat adalah sebuah konstelasi sifat yang terdiri dari segi afektif, segi interpersonal, serta perilaku impulsif dan antisosial. Segi afektif termasuk kurangnya rasa bersalah, empati, dan ikatan emosional yang mendalam dengan orang lain. Segi interpersonal termasuk narsisme dan pesona dangkal, serta impulsif dan perilaku antisosial termasuk ketidakjujuran, memanipulasi, dan pengambilan risiko yang ceroboh.
Meskipun psikopat merupakan faktor risiko untuk agresi fisik, itu tidak berarti sama dengan itu. Berbeda dengan individu dengan gangguan psikotik, kebanyakan psikopat berhubungan dengan kenyataan dan tampaknya rasional. Individu psikopat sering ditemukan di penjara, tetapi dapat ditemukan di lingkungan masyarakat juga.
Penyebab pasti psikopat tidak bisa diidentifikasi secara pasti. Gangguan ini diprediksi timbul karena pengaruh genetik dan pengalaman traumatis masa kecil. Disimpulkan demikian, karena psikopat biasanya tumbuh dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis.
Ketidakharmonisan tersebut bisa dalam bentuk adanya pelecehan dan penelantaran anak, orang tua yang kecanduan alkohol, atau perkelahian orang tua. Dalam hal ini orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan karakter anak, dan juga sebagai tauladan bagi anaknya. Oleh karena itu, orang tua sangat memiliki andil bagi anaknya agar sang anak tidak menjadi seorang psikopat.
Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang.
Dalam pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, dijelaskan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
- Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak
- Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
- Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; serta
- Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Selain dalam UU nomor 35 tahun 2014, kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya juga diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu :
- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
- Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dalam ketentuan pasal tersebut batasan kewajiban dan tanggung jawab orang tua menjadi lebih jelas yaitu sampai anak sudah kawin atau dapat berdiri sendiri. Adapun maksud dari “dapat berdiri sendiri” tersebut berarti anak sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung kepada orang tua.
Dengan demikian, karena anak tersebut sudah melebihi usia 18 tahun dan sudah menikah, maka anak tersebut tidak termasuk sebagai kewajiban dan tanggung jawab orang tuanya lagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014 dan Pasal 45 ayat (2) UU 1/1974. Namun, menurut hemat kami, apabila anak tersebut ternyata masih belum mampu untuk berdiri sendiri, tidak ada salahnya orang tua tetap membantu anaknya.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Batasan kewajiban dan tanggung jawab orang tua tidak secara tegas diatur dalam UU 35/2014. Namun, melihat dari definisi anak dan ketentuan di Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014, dapat diketahui secara harfiah bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua dilakukan sampai anak berusia 18 tahun.
Jika orang tua tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawabnya dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 1367 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), disebutkan bahwa seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.
Maka kesimpulan dalam konteks hukum perdata, orang tua harus bertanggung jawab atas semua perbuatan dan tindakan kerugian yang dilakukan oleh anaknya.
Firda Nur Jannah, Mahasiswa Hukum UIN Sunan Kalijaya Yogyakarta