Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya Islam-lah pemilik gagasan Khairu Ummah (Umat Terbaik). Yaitu keadaan umat di mana keberadaannya menjadi penentu, solusi, atas berbagai peliknya kehidupan. Baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, bahkan menjadikan kebaikan bagi seluruh warga dunia. Namun faktanya, justru umat Islam sendiri dalam kondisi memprihatinkan dan terpuruk. Jika demikian, bagaimana mungkin umat Islam mampu menjadi Khairu Ummah?
Guna mencari benang merah atas ketidakserasian antara Al-Qur’an sebagai pedoman dengan realita perilaku umat Islam di atas, redaksi Suara Muhammadiyah bertemu dan berdiskusi dengan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, Cendekiawan Muslim Indonesia. Berikut pandangan Buya Syafi’i (panggilan akrabnya) mengenai Khairu Ummah.
Apa Itu Khairu Ummah Buya?
Sebenarnya kalau kita mengacu pada Al-Qur’an, Khairu Ummah itu memang istilah Al-Qur’an. Jadi Khairu Ummah itu fungsinya, yang pertama, takmuruna bil makruf, memerintahkan, menganjurkan yang makruf, yaitu suatu yang dibenarkan menurut syariat dan juga yang diakui oleh akal sehat. Sebaliknya, yang kedua, naha ‘anil munkar, mencegah kemungkaran, sesuatu yang dilarang syariat dan ditolak oleh akal sehat.
Jika benar ini istilah Al-Qur’an, tapi mengapa Muslim justru jauh dari sebutan Khairu Ummah?
Umat Islam (Muslim) memang sekarang ini sedang jatuh, dalam keterpurukan. Ada yang beranggapan keterpurukan tersebut karena ulah musuh-musuh Islam, yang dengan sengaja melakukan berbagai cara guna menghancurkan Islam. Tapi jarang sekali kita sebagai Muslim melihat diri sendiri, bercermin, introspeksi diri. Dengan itu, kita akan sadar dan mau berbenah diri dan tidak mencari kesalahan pada pihak lain.
Lalu bagaimana Khairu Ummah bisa terwujud?
Sebenarnya kalau kita lihat bahasa Al-Qur’an Khairu Ummah itu hanya bisa tumbuh kalau ditegakkan keadilan. Dan keadilan itu sendiri dalam sejarah Islam ternyata sangat problematik. Misal saja pada masa sahabat yang bisa dianggap ideal. Hal itu sebenarnya hanya bisa dilihat sampai masa Umar bin Khatab. Mulai era Usman bin Afwan sudah mulai muncul gejolak politik, mengalami tragedi pembunuhan, dan yang membunuh adalah orang-orang Islam yang tidak puas dengan kebijakan Usman. Masa Usman dianggap sarat nepotisme. Menurut saya itu adalah fitnah besar.
Jadi hanya masa Umar dan sebelumnya yang mencerminkan idealisme Al-Qur’an. Hanya sampai itu saja. Masa yang begitu pendek, dari kepemimpinan Muhammad saw hingga Abu Bakar As-Sidiq, ini menurut saya yang dinamakan Khairu Ummah. Memang sangat pendek tapi wujud itu masih bisa diulang dengan syarat-syarat tertentu.
Apa saja langkah-langkahnya?
Menurut saya, paling mendasar adalah harus ada upaya pembongkaran sejarah Islam secara besar-besaran. Sebab Islam yang diwariskan sampai ke kita hari ini sebetulnya masih jauh dari semangat Al-Qur’an dan semangat kenabian. Misal saja kita telusuri kembali kenapa di zaman Ali bin Abi Thalib terjadi peperangan saudara yang sangat parah. Memang membongkar sejarah Islam bukan hal yang mudah apalagi di zaman sekarang ini. Tapi selama kita memiliki Al-Qur’an, masih mungkin hal itu terwujud. Tentu saja ini merupakan ijtihad kolektif bukan usaha seorang saja.
Dari penelusuran sejarah tersebut, setidaknya kita bisa memahami mengapa terjadi antara yang idealisme pada masa Nabi dan konflik pada era Sahabat. Itu karena memang Nabi-lah yang mendapatkan wahyu, sedang para sahabatnya tidak mendapat wahyu. Maka wajar saja jika Sahabat melakukan kesalahan. Kalaupun dianggap melakukan kesalahan, sesuai dengan Al-Qur’an, ada dua hal yang harus dilakukan. Yaitu menasehati dan menolong. Hal seperti ini tidak selalu berjalan pada kehidupan masyarakat awam sekarang, justru saya melihat penyakit lama, penyakit kesukuan, mulai kambuh di tengah masyarakat. Padahal seharusnya konflik kesukuan yang begitu panjang harus dikoreksi, bukan sebaliknya umat Islam justru mewarisi itu.
Melalui pembongkaran sejarah Islam pula, kita bisa membedakan yang mana ajaran Islam dan yang mana Arabisme. Karena sampai hari ini masih banyak umat Islam yang beranggapan bahwa semua yang berasal dari Arab itu dijamin kebenarannya, kebenarannya mutlak. Mempelajari sejarah Islam bukanlah dimaksudkan untuk menghukum mereka yang dianggap salah, tapi semata-mata mempelajari mengapa itu terjadi dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk kebaikan masa depan.
Bagaimana agar tugas berat itu menjadi tanggung jawab umat secara kolektif?
Saya rasa, diperlukan ketulusan dalam beragama dengan mengedepankan betul akal sehat. Dan kemudian menyebarkan virus ketulusan beragama tersebut ke masyarakat luas. Kalau sudah tulus beragama, perbedaan-perbedaan yang ada tidak lagi menjadi ancaman. Perbedaan pasti ada, tetapi kalau kita tulus, hati yang berbicara, persoalan yang berat bisa menjadi ringan, dan emosipun dapat dikontrol.
Sedang untuk mengembalikan akal sehat supaya berfungsi dengan baik, maka harus kembali kepada Al-Qur’an. Tetapi saya ingatkan lagi, diperlukah keikhlasan, ketulusan sejati untuk memahami Al-Qur’an itu sendiri. Jadi kunci mewujudkan Khairu Ummah adalah ketulusan, kembali kepada Al-Qur’an sebagai pembeda dengan akal sehat. (gsh)
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2018