Khairu Ummah: Antara Cita dan Realita

Khairu Ummah: Antara Cita dan Realita

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” Qs Ali Imran 110

Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 2 menyatakan, maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, tak lain merupakan kualitas dari khairu ummah yang didamba oleh Muhammadiyah melalui proses panjang segenap misi dakwah dan tajdidnya. Pembumian cita-cita itu tercermin dalam keluarga sakinah, qaryah thayyibah, negara berkemajuan, hingga peradaban utama.

Profil khairu ummah, menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, adalah umat yang menjunjung sifat rabbaniyah sebagai pantulan dari nilai-nilai ilahiyah (hablumminallah), sekaligus mencandra dan tercermin ke dalam sifat-sifat insaniyah yang mulia dan utama dalam relasi kemanusiaan (hablumminannas), yang kehadirannya menjadi rahmat bagi semesta alam. Semua makhluk Tuhan, yang melampaui sekat-sekat identitas.

Predikat “umat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia” bukan tanpa syarat. Dalam sabdanya, Nabi menyatakan, manusia yang paling baik adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lain. Dengan apapun peran dan kedudukannya, semua Muslim berpotensi mengaktualisasikan diri dan menjadikan lingkungannya lebih baik, lebih bahagia dan lebih sejahtera. Predikat umat terbaik akan luruh ketika umat Islam tidak (lagi) bisa memberi manfaat, apalagi jika keberadaannya justru menjadi beban bagi manusia lain. Mengacu pada ayat sebelumnya dari surat Ali Imran, 102-104, didapati bahwa di antara profil umat terbaik adalah mereka yang beriman, bertakwa, berpegang teguh pada tali agama, menjaga ukhuwah, menjauhi permusuhan, berdakwah amar makruf nahi mungkar.

Ayat 143 dari Surat Al-Baqarah menguatkan bahwa predikat khairu ummah mengharuskan umat Islam untuk mengambil peran ummatan wasathan dan syuhada ‘ala al-nas. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an menyatakan bahwa ummatan washatan adalah umat moderat, yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak dan dari segenap penjuru. Posisi wasathiyyah mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua (ragam agama, budaya dan peradaban). Mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

Umat tengahan merupakan pilihan Muhammadiyah di antara kutub ekstrem yang terus saling bertubrukan paham. Dengan berada di tengah, umat Islam harus dilirik dan disaksikan oleh manusia lainnya dari berbagai penjuru. Dilirik dan dicontoh karena kualitas, prestasi dan keunggulannya. Umat tengahan dituntut untuk menjadi saksi dan sekaligus pengadil bagi umat lainnya. Kata Qur’an, ummatan wasathan ketika menghadapi dua pihak yang berseteru, maka ia dituntut untuk menjadi wasath (wasit) pada posisi tengah agar berlaku adil.

Realitanya, umat Islam dari sisi kualitas, belum bisa menjadi Khairu ummah, ummatan wasathan dan syuhada ‘ala al-nas. Sementara dari sisi kuantitas, pemeluk agama Islam terus bertumbuh pesat di seluruh penjuru. Adalah menjadi PR bersama untuk terus memacu kualitas melalui kerja-kerja keabadian yang terkadang dalam senyap. Tarmizi Taher dalam Berita Resmi Muhammadiyah Maret 1995 mengatakan, manusia yang berkualitas merupakan faktor penting bagi kemajuan suatu bangsa.

Banyak bangsa yang tanpa dukungan sumber daya alam menjadi maju karena kualitas sumber daya manusia. Manusia berkualitas meliputi aspek jasmaniah dan rohaniah.

Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Nasaruddin Umar menilai, dalam masyarakat modern, antara idealisasi ajaran agama semakin tidak simetris dengan idealisasi kehidupan nyata. “Ajaran agama dirasakan semakin dogmatis, normatif, berorientasi masa lampau, konservatif, statis, tradisional, tekstual, kualitatif dan deduktif. Sementara lingkungan pacu kehidupan dirasakan semakin rasional bahkan liberal, bebas, berorientasi masa depan, dinamis, mobile, sophisticated, kontekstual, kuantitatif, dan induktif. Ajaran agama semakin terasa membebani, membatasi dan mengikat pemeluknya. Akibatnya ajaran agama dikesankan kehilangan zona nyaman dan syahdu,” ungkapnya.

Tak jarang, orang beragama terbelenggu dengan ego spiritualnya, asyik mengedepankan hubungan vertikal dengan Tuhan dan lupa untuk berbuat baik dalam hubungan sosial dengan sesama. Bahkan merasa tidak level dengan manusia yang berbeda (paham, aliran, agama), yang dianggapnya lebih rendah dan banyak dosa.

Kondisi ini merupakan akibat dari umat yang menjadikan teks kitab suci hanya sebagai tuntunan hukum yang serba menghakimi dan bahkan serba membatasi. Sementara umat melupakan peranan kitab suci sebagai kitab sumber nilai, tuntunan moral dan sebagai pendorong etos kemajuan. Dalam konteks ini, Tafsir At-Tanwir diharap bisa menjadi alternatif tafsir yang mempunyai daya gugah moral sebagai sang pencerah.

Forum Cendekiawan Muslim Dunia tentang Wasathiyah Islam, di Bogor, Jawa Barat, pada 1-3 Mei 2018, menghasilkan kesepakatan untuk mengarusutamakan wasathiyah Islam. KTT yang diinisiasi oleh Din Syamsuddin selaku Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban itu mengakui realitas peradaban modern yang menunjukkan kekacauan global, ketidakpastian dan akumulasi kerusakan, diperparah oleh kemiskinan, buta huruf, ketidakadilan, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan.

Ratusan utusan dari 40 negara itu, “Percaya pada Islam sebagai agama damai dan rahmat (din aI-salam wa alrahmah), agama keadilan (din aI-adalah), dan agama peradaban (din aI-hadarah) yang prinsip dan ajaran dasarnya mengajarkan cinta, rahmat, harmoni, persatuan, kesetaraan, perdamaian, dan kesopanan; ….serta menegaskan kembali peran dan tanggung jawab moral para cendekiawan Muslim untuk memastikan dan memelihara generasi masa depan untuk membangun peradaban Ummatan Wasathan.”

Nasaruddin Umar menguraikan bahwa Nabi Muhammad merupakan perintis dan sekaligus teladan dari masyarakat Khairu ummah di Madinah, tentu sesuai dengan konteks zaman ketika itu. Menurutnya, kata ummah berasal dari bahasa Ibrani, alef-mem yang arti dasarnya cinta kasih. Dalam bahasa Arab, umm memiliki arti dasar ibu, yang memiliki cinta kasih yang paling dalam. Dari kata itu muncul kata amam (depan, unggul) dan imam (pemimpin di depan). Artinya, dengan segenap cinta, umat Islam harus memacu menuju Khairu ummah.

Di mata Kuntowijoyo, ayat 110 surat Ali Imran tersebut mengajarkan prinsip humanisasi (memperlakukan manusia secara arif dan bijak); liberasi (membebaskan manusia dari segala kemungkaran sosial, ekonomi, politik dan budaya); dan transendensi (refleksi keterkaitan dengan Allah). Ketiga prinsip ini merupakan prasyarat bagi terwujudnya khairu ummah. (ribas)

Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah Edisi Nomor 12 Tahun 2018

Exit mobile version