Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum w. w.
Perkenalkan nama saya Arif Isnaeni, saya seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil), saya ingin menanyakan (fatwa); Apakah utang negara (Indonesia) bisa menjadi tanggungan saya apabila saya meninggal dunia? Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda,
نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang dilunasi.”
Saya bukanlah orang yang memiliki kewenangan dalam mengatur APBN, saya juga bukan orang yang bisa mengatur jumlah utang luar negeri. Terima kasih.
Arif Isnaeni (Disidangkan pada Jum’at, 30 Muharram 1439 H / 20 Oktober 2017 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam w. w.
Terima kasih kami sampaikan kepada bapak Arif Isnaeni atas kepercayaannya kepada kami untuk menjawab pertanyaan bapak. Utang merupakan tanggung jawab seseorang yang harus segera dibayar sebelum seseorang meninggal dunia. Sebab jika seseorang meninggal dalam keadaan berutang, maka hal tersebut akan dipertanggung jawabkan sampai akhirat kelak, kecuali jika orang yang memberi utang mengikhlaskannya. Karena besarnya tanggung jawab orang yang berhutang, Rasulullah pernah menolak untuk menshalatkan jenazah yang di bawa ke hadapan beliau karena jenazah tersebut meninggal dalam keadaan masih berutang, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi saw.,
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ فَقَالُوا صَلِّ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا لَا قَالَ فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوا لَا فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ صَلِّ عَلَيْهَا قَالَ هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قِيلَ نَعَمْ قَالَ فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوا ثَلَاثَةَ دَنَانِيرَ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ فَقَالُوا صَلِّ عَلَيْهَا قَالَ هَلْ تَرَكَ شَيْئًا قَالُوا لَا قَالَ فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ قَالُوا ثَلَاثَةُ دَنَانِيرَ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ [رواه البخاري].
“Dari Salamah bin Al Akwa’ ra. (diriwayatkan) berkata, “Kami pernah duduk bersama Nabi saw., tiba-tiba dihadirkan kepada Beliau satu jenazah kemudian orang-orang berkata: Shalatkanlah jenazah ini. Lalu beliau bertanya: Apakah orang ini mempunyai utang? Mereka menjawab: Tidak. Kemudian beliau bertanya kembali: Apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Tidak. Akhirnya beliau menshalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain, lalu orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, shalatkanlah jenazah ini. Lalu beliau bertanya: Apakah orang ini punya utang? Dijawab: Ya. Kemudian Beliau bertanya kembali: Apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Ada, sebanyak tiga dinar. Lalu beliau menshalatkannya. Kemudian dihadirkan jenazah ketiga, lalu orang-orang berkata: Shalatkanlah jenazah ini. Nabi bertanya; apakah dia meninggalkan sesuatu, mereka menjawab; tidak. Nabi bertanya; apakah orang ini mempunyai utang? Mereka menjawab (ya) tiga dinar. Nabi bersabda; shalatkanlah saudaramu ini. Abu Qatadah berkata, Shalatkanlah wahai Rasulullah, nanti saya yang menanggung hutangnya. Lalu beliau menshalatkannya” [HR. al-Bukhari].
Oleh sebab itu, dalam Islam harta peninggalan (tirkah) seseorang yang meninggal dunia belum boleh dibagi sebagai harta warisan sebelum urusan si mayit diselesaikan termasuk urusan utangnya, bahkan jika tidak mampu maka utang si mayit hendaknya dialihkan tanggungjawab pembayarannya kepada pihak yang mampu terutama dari pihak ahli warisnya, sebagaimana hadis Nabi saw.,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ [رواه البخاري ومسلم].
“Dari Abu Hurairah ra. (diriwayatkan), bahwa Rasulullah saw. bersabda, Menunda membayar utang bagi orang kaya (mampu) adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian utangnya dialihkan kepada orang kaya (mampu), maka hendaklah dia alihkan” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Namun terkait dengan pertanyaan bapak, tentu tidak serta merta penduduk suatu negara bertanggung jawab terhadap utang pemerintahnya, terlebih lagi sampai akhirat kelak. Sebab yang melakukan pertimbangan untuk berutang, penggunaannya hingga menentukan jumlah pinjaman (utang) tidak dilakukan oleh warga negara secara personal. Tentu yang paling bertanggung jawab adalah pihak pemerintah yang berutang tersebut. Dalam Islam ditegaskan bahwa seseorang tidak akan menanggung akibat dari apa yang dilakukan oleh pihak lain, kecuali jika seseorang itu terlibat langsung di dalamnya. Allah swt. berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (*) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (*) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (*) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى [النجم، 53: 38-41].
“Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” [QS. an-Najm (53): 38-41].
Adapun terkait dengan pernyataan para ahli maupun pengamat yang menyatakan bahwa penduduk Indonesia bahkan bayi yang baru lahir menanggung utang negara sebanyak sekian juta per orang, hal itu tidak berarti menanggung dalam pengertian yang sesungguhnya. Ungkapan tersebut adalah sebuah tamsil atau perumpamaan saja, bahwa jika utang negara dibagi berdasarkan jumlah penduduk, maka setiap penduduk (seolah-olah) menanggung utang negara sebanyak sekian juta.
Sedangkan terkait dengan hadis yang dikemukakan dalam pertanyaan bapak tersebut memang benar adanya. Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ahli hadis, seperti imam at-Tirmidzi, imam ibnu Majah, imam Ahmad, dan lainnya. Selengkapnya kami tampilkan hadis tersebut sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ [رواه الترميذي وابن ماجة].
“Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Jiwa/nyawa seorang mukmin itu terkatung-katung karena utangnya, hingga dibayar utang tersebut” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Selain imam at-Tirmidzi dan ibnu Majah, hadis tersebut juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan redaksi yang sedikit berbeda, sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ مَا كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ [رواه أحمد].
“Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Jiwa/nyawa seorang mukmin terkatung-katung selama ia masih memiliki utang” [HR. Ahmad].
Kalimat yang artinya; “nyawa seorang mukmin itu terkatung-katung karena utangnya”, sebagaimana terdapat dalam matan hadis tersebut, menurut imam ash-Shan‘ani dalam kitab Subulus-Salam, maksudnya adalah; bahwa seseorang akan tetap bertanggung jawab terhadap utangnya sekalipun ia telah meninggal dunia, karena utang merupakan persoalan yang sangat berat. Ada juga yang memaknai bahwa orang yang mati dalam keadaan berutang terhalang baginya untuk masuk surga.
Jadi, hadis tersebut terkait dengan orang yang berutang dan meninggal dunia dalam keadaan berutang, sedangkan rakyat termasuk PNS tidak menanggung utang pemerintah di akhirat kelak, karena ia tidak termasuk subjek yang berutang.
Wallahu A‘lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2019