Oleh: M Husnaini
“Kebanyakan di antara manusia berwatak angkuh dan takabur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri.”
KRH Hadjid (2013) mencatat kalimat di atas sebagai pelajaran kedua dari 7 Falsafah Ajaran KH Ahmad Dahlan, Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Marilah sejenak kita renungkan secara mendalam.
Manusia disebut sebagai homo socius dengan ciri gemar bersosial dan berteman, namun manusia juga punya kecenderungan untuk saling mengalahkan. Thomas Hobbes menyebutnya homo homini lupus. Adam Smith bilang manusia egois, sehingga dinamakan homo economicus atau makhluk yang selalu memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri.
Praktik keberagamaan kita sehari-hari tidak luput dari sekelompok orang yang mendaku paling saleh atau paling suci. Pihak lain dipandang sebagai salah, sesat, menyimpang, bahkan keluar dari Islam. Kehidupan komunal dan individual kita juga kerap diwarnai perasaan menjadi “yang paling” di antara sesama. “Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka,” begitu surah Ar-Rum/30: 32 menggambarkan.
Perasaan menjadi “yang paling” jelas berbahaya, kecuali jika dapat mendorong untuk berlomba-lomba dalam kebajikan sebagaimana dititahkan Al-Qur’an. Misalnya, merasa diri paling bodoh sehingga terdorong untuk rajin belajar. Atau merasa diri paling pelit sehingga tergerak untuk gemar sedekah. Bisa juga merasa diri paling kotor sehingga terpompa untuk banyak tobat dan ibadah. Di luar itu, perasaan menjadi “yang paling” hanya menjerumuskan pada sikap sok.
Era post-truth ialah zaman ketika orang lebih cenderung menerima argumen berdasarkan emosi dan keyakinan dibanding kebenaran dan fakta. Padahal, menurut Yuval Noah Harari (2018), propaganda dan disinformasi bukan hal baru dan manusia selalu hidup di era post-truth. Dalam buku “21 Lessons for the 21st Century”, sejarawan Israel itu menulis, “Homo sapiens is a post-truth species, who conquered this planet thanks above all to the unique human ability to create and spread fictions. We are the only mammals that can cooperate with numerous strangers because only we can invent fictional stories, spread them around, and convince millions of others to believe in them.”
Tidak heran kalau sering terjadi konflik di antara kita. Semua konflik kemanusiaan di mana saja, kata bijak bestari, bermula dari kegagalan untuk saling memahami sehingga yang tumbuh adalah hasrat untuk saling menguasai. Apatah lagi berbeda agama atau kepercayaan, berbeda organisasi saja menimbulkan perpecahan. Berorganisasi yang semula diniatkan sebagai gerakan kebajikan berubah menjadi sumber keburukan karena menyulut api konflik yang sukar dipadamkan.
Lebih dari satu abad silam, KH Ahmad Dahlan mengingatkan,“Manusia satu sama lain selalu melemparkan pisau cukur, mempunyai anggapan pasti paling tepat. Dia melemparkan celaka kepada orang lain.” Sepantasnya kita simak wanti-wanti Tuhan “Janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia yang paling tahu orang yang bertakwa” (QS An-Najm/53: 32).
Seperti dituturkan KRH Hadjid (2013), KH Ahmad Dahlan heran melihat para pemimpin agama dan yang tidak beragama selalu beranggapan, mengambil keputusan sendiri-sendiri tanpa mengadakan pertemuan antar mereka, tidak mau bertukar pikiran, memperbincangkan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya berdasarkan anggapan-anggapan sendiri saja, disepakati dengan istrinya, dengan murid-muridnya, teman-teman, dan gurunya sendiri saja. Tentu saja akan dibenarkan.
KH Ahmad Dahlan sosok yang luas pergaulan. Pikirannya terbuka, cair, dan bersedia menyerap ilmu dari mana saja dan siapa saja, tidak terbatas dari kalangan Islam. Dalam naskah “Tali Pengikat Hidup Manusia”, KH Ahmad Dahlan menegaskan, “Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan. Jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain.”
KH Ahmad Dahlan gemar diskusi, bahkan debat. Tentu debat yang bermartabat, dan bukan debat kusir. Tidak hanya dengan sesama umat Islam, diskusi dan debat juga dilakukan dengan tokoh-tokoh agama lain. Menurut Yunus Salam (1968), KH Ahmad Dahlan pernah bertemu dan berdiskusi tentang agama dan ketuhanan dengan beberapa pendeta, antara lain Van Lith, Van Driesse, Domine Bakker, dan lainnya.
Dalam buku “Riwayat Hidup KHA Dahlan: Amal dan Perjuangannya” dikisahkan bahwa diskusi dengan Pendeta Van Lith hanya sekali, karena setelahnya sang pendeta segera meninggal dunia. Diskusi dengan Pendeta Van Driesse juga cuma terjadi sekali, karena sikap pendeta itu sangat kasar dan tidak dapat diajak bertukar pikiran.
Yang paling mengesankan ialah diskusi dengan Pendeta Domine Bakker. Pertemuan berlangsung berkali-kali. Tetapi karena Domine Bakker berbelit-belit dan enggan mengakui kekalahan, KH Ahmad Dahlan akhirnya mengajukan tantangan, “Marilah kita sama-sama keluar dari agama yang selama ini kita yakini guna mencari dan menyelidiki agama mana yang lebih benar. Kalau ternyata nantinya agama yang Tuan yakini selama ini yang lebih benar, saya bersedia masuk ke dalam agama Tuan. Sebaliknya, apabila Islam yang lebih benar, Tuan juga harus mau memeluk Islam.”
Begitulah sosok KH Ahmad Dahlan sebagai pencari kebenaran sejati. Penting diperhatikan, agar diskusi atau debat menghasilkan kebenaran dan kebaikan, tentu saja akhlak harus dikedepankan. Kita ingat ketika diskusi perihal pembetulan arah kiblat yang menimbulkan kontroversi hebat dan berujung perobohan Langgar Kidul, KH Ahmad Dahlan dengan lapang dada berkata, “Kalau mereka belum suka menerima ilmuku yang benar, di belakang hari mereka akan insaf dan menuruti pendapatku yang menurut ilmu itu” (Asrofie, 2005).
Walhasil, pelajaran kedua KH Ahmad Dahlan di atas menjelaskan kepada kita bahwa mencari kebenaran adalah baik, tetapi merasa paling benar jelas buruk. Demikian pula mengupayakan kebaikan adalah benar, tetapi merasa paling baik jelas keliru.
M Husnaini, Warga Muhammadiyah Takerharjo Solokuro Lamongan, Penulis Buku Hidup Bahagia dengan Energi Positif