Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay
Dalam surat Al-Baqarah (2) ayat ke- 34, Allah Swt memberikan informasi kepada kita para manusia, bahwa dahulu nenek moyang kita Adam ‘alaihi salam mendapatkan posisi yang mulia di surga. Para makhluk Allah selain Adam, diperintahkan untuk sujud kepadanya. Padahal selama ini semua makhluk ciptaan Allah hanya mau untuk menyembah dan bersujud pada-Nya. Namun kali ini berbeda, mereka dipaksa untuk memuliakan manusia, yaitu Adam a.s. Tentu ada rahasia di balik itu semua, dan Allah tidak akan memberi perintah dengan sia-sia.
Pada ayat ini pun kita disuguhi informasi bahwa ada satu makhluk yang enggan untuk menuruti perintah Allah Swt agar sujud kepada Adam a.s. Lantas Allah melaknatnya dan menjulukinya sebagai makhluk yang durhaka, dan dia adalah makhluk yang kita kenal dengan sebutan Iblis hingga sekarang. Hal yang perlu diingat, bahwa kesalahan Iblis itu karena tidak menuruti perintah Allah saat disuruh sujud kepada Adam a.s., bukan menolak perintah-perintah Allah yang lainnya. Bahkan ada riwayat berasal dari Ibnu Abbas ra, yang mengatakan bahwa Iblis adalah makhluk yang paling dihormati karena taatnya beribadah kepada Allah. Tetapi itu terjadi saat ia belum dilaknat oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya (Q.S. 2 : 35-36), Allah menerangkan peristiwa yang memilukan umat manusia. Makhluk yang mulanya sangat mulia ternyata melanggar ketentuan-Nya. Atas godaan setan dan syahwat (hawa nafsu), Adam beserta Hawa menjadi berdosa karena melanggar perintah Allah untuk tidak mendekati apalagi memetik buah dari suatu pohon di surga.
Namun memang sudah menjadi takdir Allah, bahwa harus seperti itu kejadiannya. Padahal jika dinalar oleh manusia sekarang, perkara menjauhi pohon itu sangatlah mudah. Akan tetapi menjadi sangat susah ketika hawa nafsu sudah berkuasa atas diri manusia, ditambah dengan bisikan setan yang memang luar biasa. Seketika itu Adam dan Hawa diturunkan tahtanya menjadi penduduk bumi, dan harus menjalankan segala konsekuensi yang diperbuat untuk bisa kembali ke tanah asalnya, yaitu surga.
Dalam kitab Nasoihul ‘ibad, karya Syaikh Nawawi Al-Bantani, disebutkan bahwa Sufyan Ats-Tsauri pernah mengatakan, “Setiap maksiat yang muncul dari dorongan hawa nafsu (syahwat), itu masih dapat diharapkan ampunannya. Namun setiap maksiat yang muncul karena dorongan rasa sombong atau takabur, maka jangan diharap amapunannya. Karena kedurhakaannya Iblis itu timbul dari adanya rasa takabur, sedang kesalahan adam itu memperturutkan hawa nafsu”.
Dari perkataan tersebut dapat diketahui bahwa faktor penyebab sebuah pelanggaran atas ketentuan Allah (maksiat) itu ada dua, yaitu mengikuti hawa nafsu dan rasa takabur. Sebuah maksiat yang disebabkan oleh dorongan hawa nafsu itu masih memiliki potensi besar untuk bertaubat dan diampuni oleh Allah Swt. Karena nuraninya masih menuntun akal untuk bisa menyadari kesalahan dari perbuatannya. Seperti Adam dan Hawa, mereka merasa menyesal karena telah mengikuti hawa nafsu untuk melanggar larangan Allah. Setelah menyesal, mereka berkomitmen untuk bertaubat kepada Allah hingga akhir hayat. Dan Allah menemgampuni mereka semua.
Sedangkan perbuatan maksiat yang dilakukan atas dasar perasaan takabur, memiliki potensi yang lebih kecil untuk bisa bertaubat dan diampuni oleh Allah Swt. Sebab perasaan angkuh dan congkak telah menutupi cahaya Allah Swt kepadanya. Pintu-pintu kebenaran telah tertutup, sehingga dia merasa yang paling benar. Jangankan menyesal, merasa bersalah pun tidak. Seperti Iblis yang hingga saat ini masih merasa benar bahwa Adam tidak pantas disujudi dan akan mengajak anak-cucunya untuk mengikuti langkah ketakaburannya itu.
Maka bisa diasumsikan bahwa rasa takabur (sombong) itu berada di tingkatan tinggi dari level kemaksiatan . Bukan hanya sulit untuk diampuni, tetapi juga karena muncul sikap merasa paling benar dan melampaui sang Maha Benar yakni Allah Swt. Sehingga tidak heran jikalau seseorang yang takabur akan sangat sulit untuk dinasehati, karena kebenaran dianggap hanya miliknya. Nabi Muhammad Saw pun menguatkan dalam sabdanya bahwa, ” Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan (takabur) walau sebesar biji sawi”. (HR. Muslim).
Tentu ini menjadi renungan bagi kita umatnya untuk selalu mawas diri agar tidak terjangkit perasaan takabur. Jangan sampai karena ibadah yang terus-menerus kita lakukan malah mendekatkan kita pada ketakaburan dengan cara membuat kita jumawa sehingga meremehkan, menyalahkan atau bahkan menyesatkan orang lain yang beribadah tidak seperti kita. Tentu hal demikian tidak patut karena kita adalah sesama hamba yang bersama-sama mencari kebenaran menuju pada yang Maha Benar, Allah Swt. Mudah-mudahan ramadhan kali ini semakin menjauhkan diri kita dari rasa takabur dan mendekatkan kita pada perasaan rendah hati.
Wallahu a’lam bisshowab.
Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta