Catatan Pendek Menyikapi Konspirasi

Catatan Pendek Menyikapi Konspirasi

Ilustrasi Dok CNN

Oleh : Fajar Iqbal Mirza

Belakangan ini sedang marak pembahasan tentang konspirasi. Setidaknya ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab terkait konspirasi, yaitu, pertama apakah salah untuk percaya pada teori konspirasi? Kedua, mengapa penting untuk menghindari teori konspirasi? Ketiga, bagaiamana cara terhindar dari teori konspirasi?

Pertama, perlu diketahui bahwa ada beberapa teori konspirasi yang memang terbukti kebenarannya seiring dengan berjalannya waktu. Terbukti bahwa dugaan-dugaan dalam teori konspirasi ada benarnya. Misalkan saat Snowden merilis dokumen rahasia negara, walaupun ini juga debatable.

Namun demikian jika dibandingkan jumlah teori konspirasi dengan kejadian yang bisa dibuktikan, maka sangat sedikit kejadian yang bisa dibuktikan kebenarannya dari teori konspirasi. Kebanyakan dari teori konspirasi cenderung asumtif, tidak ilmiah, cocokologi, dan sulit dibuktikan kebenarannya.

Bahkan ada konspirasi yang bisa dibuat bahan becandaan. Misalkan empire-an yang belakangan muncul di Indonesia. Bagi segelintiran orang, ada yang merasa itu adalah sebuah kebenaran. Buktinya masih ada yang ingin jadi pengikutnya. Namun bagi kebanyakan orang, empire-an ini cuma jadi bahan penghilang stress yang lama-lama juga bisa bikin stress.

Mengapa kita bisa dengan mudah bilang bahwa empire-an ini jauh dari kebenaran? Ya, karena kita memiliki ilmu dalam menjawab konspirasi tersebut. Sedari dulu kita sudah belajar bagaimana sejarah yang ada di Indonesia dan dunia, sehingga kita tahu betul PBB tidak lahir di Bandung.

Jika kita percaya bahwa PBB lahir di Bandung jelas kita salah. Dampak minimalnya nilai ujian di sekolah kita nilainya jelek.

Kedua, dampak percaya sepenuhnya pada teori konspirasi ini berbagai macam. Bisa berdampak ringan seperti nilai ujian tadi. Bisa berdampak  juga bagi kehidupan. Karena kebanyakan teori konspirasi sulit untuk dibuktikan, maka kita akan terjebak pada kehidupan yang “halu”. Kita akan berfokus terhadap sesuatu yang belum tentu benar dan tidak ada manfaatnya. Ini bisa berdampak pada kehidupan.

Contoh dengan konspirasi Covid-19 saat ini. Ada yang bilang senjata biologis, ada yang bilang virus buatan Tiongkok, AS, dan banyak lagi asumsi liar. Memang menarik untuk dikaji, namun sangat sulit untuk dibuktikan dan jauh dari kata manfaat. Apakah jika kita percaya hal tersebut maka Covid-19 akan hilang? Apakah jika kita percaya hal tersebut maka PBB akan lahir di Bandung? Saya kira tidak. Dampak yang diciptakan dan tidak ada manfaat membuat kita lebih baik menghindar dari teori konspirasi.

Ketiga, cara terhindar dari konspirasi adalah dengan ilmu dan cara berfikir. Jika kita memiliki ilmu maka kebenaran-kebenaran “semu”, karena sulit dibuktikan, mudah untuk kita jawab. Untuk cara berfikir, D Kanehman dalam “Thinking, Fast and Slow” mengelompokan kepada dua cara manusia berfikir.

Kanehman mengibaratkan seperti kamera otomatis dan manual. Kamera otomatis dapat dengan cepat memotret objek yang ingin di ambil. Namun hasil dari potretan tersebut bisa tidak begitu tajam, nge-blur, dll. Begitu pula cara berfikir kita. Kita dengan mudah mempercayai segala informasi yang kita dapatkan tanpa kita olah terlebih dahulu. Cara berfikir seperti ini lah yang bisa dengan mudah percaya terhadap teori konspirasi, dan berita hoax. Ketika kita dapat berita langsung percaya bahkan langsung dishare melihat judulnya tanpa baca isi dari berita.

Cara berfikir kedua seperti kamera manual. Jika ingin memotret dengan kamera manual maka kita dengan hati-hati, dan cermat mengambil angel terbaik dari objek. Sehingga foto yang dihasilkan pun sangat tajam dan bisa dikatakan lebih sempurna. Begitupun cara berfikir kita.

Ketika kita mendapatkan berita, artikel, video yang kita dapatkan maka kita tidak dengan mudah mempercayai hal tersebut. Kita akan membandingkan dengan informasi lainnya dari sumber yang lebih kredibel terkait hal tersebut. Sehingga pemahaman kita terhadap sebuah isu lebih matang dan kita bisa lebih dekat kepada kebenaran. Agar kita terhindar maka cara berfikir kedua lah yang harus kita aktifkan.

Fajar Iqbal Mirza, Alumni Darul Arqam Muhammadiyah Garut, Magister HI Universitas Indonesia

Exit mobile version