Apa Kabar Para Guru Honorer?

Apa Kabar Para Guru Honorer?

Oleh Fahd Pahdepie

Di tengah pandemi, apa kabar nasib kawan-kawan guru honorer? Di hari pendidikan nasional ini, apakah masih ada yang peduli dan memperhatikan mereka? Mudah-mudahan Mas Menteri dan jajarannya tidak melupakan mereka.

Saat sedang tidak terjadi Wabah Corona saja, nasib para guru honorer sangat memprihatinkan. Masih ada di antara mereka, di pelosok desa, yang diupah hanya Rp300-500 ribu rupiah saja setiap bulannya. Itu pun kadang tidak tidak lancar.

Sekolah swasta yang bertahan dengan nafas terengah-engah, kadang masih tega menunggak gaji para pengajar tidak tetapnya. Sebab tak ada pilihan lain? Atau karena mereka tidak lebih penting dari pengurus yayasan?

Namun, para guru ini tetap ikhlas mengajar. Tak sedikit dari mereka yang bekerja sampingan. Ada yang menjadi pengemudi ojek online, menjadi sales asuransi, atau berjualan sekadarnya. Apa saja untuk menyambung hidup, yang penting halal. Satu-satunya yang tak ingin mereka tinggalkan adalah mengajar, teringat janji dahulu di bangku kuliah keguruan untuk mengabdi buat dunia pendidikan.

Kini, di masa pandemi, hidup mereka lebih susah lagi. Beberapa barangkali sudah tak bisa mengajar. Honor hilang. Sementara dapur harus terus ngebul, anak-istri butuh makan, kontrakan harus dibayar setiap bulan. Mereka butuh bantuan.

Masalahnya, saat mereka mendatangi RT atau RW untuk menanyakan bantuan, jawabannya, “Honorer tak masuk kategori penerima bantuan.” Status mereka ini memang membingungkan. Di satu sisi mereka memang bukan pengangguran, di sisi lain mereka bisa jadi hampir lebih susah dari yang tak punya pekerjaan.

Paling tidak, para pengagguran disediakan kartu pra kerja yang konon bisa menyedot anggaran negara hingga Rp5,6 triliun itu. Bisakah para guru honorer ikut kursus daring kartu pra kerja? Tapi belajar apa? Kursus membuat risoles keju atau memancing ikan itu? Dan tentu uang saku yang Rp600 ribu setiap bulan itu bisa jadi lebih besar dari upah bulanan para guru atau pengajar PAUD di luar masa pandemi.

Mudah-mudahan saya keliru. Mudah-mudahan memang ada dana bantuan yang dianggarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mereka. Bukankah sudah ada peraturan menteri nomor 19 tahun 2020 terkait pencairan honor di atas 50% dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler?

Tentu itu bagus. Itu kabar baik. Tetapi mendorong honor agar bisa dibayarkan tepat waktu, boleh dianggarkan lebih dari 50% dari dana BOS, tanpa ketentuan yang memberatkan, tanpa syarat NUPTK, seharusnya sudah dikerjakan dari dulu. Karena itu memang hak mereka.

Hari-hari ini para guru honorer dan pengajar PAUD membutuhkan jaring pengaman sosial yang lebih baik. Yang bisa diandalkan untuk bertahan di masa pandemi. Perlu mekanisme dan terobosan lain yang lebih berani untuk menyelesaikan masalah ini.

Bisakah Mas Menteri mengusulkan agar guru honorer dimasukkan ke dalam kelompok rentan yang juga perlu mendapatkan bantuan dan perhatian baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah? Bisakah ada pengalihan anggaran untuk menopang kesejahteraan mereka di masa krisis ini?

Bisakah dana-dana festival, kunjungan daerah, atau dana rapat koordinasi tingkat kementerian dialihkan sementara untuk membantu para pejuang pendidikan yang kesulitan: guru honorer, pengajar PAUD, OB dan satpam sekolah, dan seterusnya? Ini hanya usul saja.

Saya tidak menuliskan artikel ini sebagai kritik, tetapi kepedulian dan empati. Di saat profesi lain terus disuarakan dan diperjuangkan hak serta nasibnya di masa pandemi, saya kira guru honorer juga layak mendapatkan perhatian serupa… bahkan mungkin lebih. Mereka tidak perlu kita rendahkan harkat dan martabatnya dulu untuk disebut miskin agar layak mendapatkan bantuan, bukan?

Jika pemerintah mendorong belajar di rumah saja, e-learning, kursus daring, atau semacamnya. Jangan-jangan masih banyak guru honorer yang masih kesulitan, bahkan untuk makan atau membeli pulsa.

Di hari pendidikan nasional di tengah pandemi seperti sekarang ini, harus dengan cara apa kita berterima kasih pada mereka? Tentu ucapan selamat hari pendidikan nasional saja tidak cukup.

Tabik!

Fahd Pahdepie, Penulis Buku Revolusi Sekolah

Exit mobile version