Meluaskan Hati untuk Mensyukuri Takdir Ilahi

Ujian Ke-Imanan

Ilustrasi

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay

Dalam buku 1001 malam, ada satu cerita tentang Abu Nawas yang dicurhati oleh salah seorang warga tentang musibah yang dialaminya. Kata warga tersebut, “Aku mempunyai rumah yang amat sempit. Sedangkan aku tinggal bersama istri dan kedelapan anak-anakku. Rumah itu kami rasakan terlalu sempit sehingga kami tidak merasa bahagia.” 

Lantas Abu Nawas bertanya kepada orang itu, “Punyakah engkau seekor domba?”

“Tidak, tetapi aku mampu membelinya.” jawab orang itu.

“Kalau begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu.” Abu Nawas menyarankan. Orang itu tidak membantah. Ia langsung membeli seekor domba seperti yang disarankan Abu Nawas. Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas.

“Wahai Abu Nawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku bertambah sesak. Aku dan keluargaku merasa segala sesuatu menjadi lebih buruk dibandingkan sebelum tinggal bersama domba.” kata orang itu mengeluh.

“Kalau begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di dalam rumahmu.” kata Abu Nawas. Orang itu tidak membantah. Ia langsung membeli beberapa ekor unggas yang kemudian dimasukkan ke dalam rumahnya. Beperapa hari kemudian orang itu datang lagi ke rumah Abu Nawas.

“Aku telah melaksanakan saran-saranmu untuk menambah penghuni rumahku dengan beberapa ekor unggas. Akan tetapi aku dan keluargaku semakin tidak betah tinggal di rumah yang makin banyak penghuninya. Kami merasa lebih tersiksa ” kata orang itu dengan wajah yang semakin muram.

“Kalau begitu belilah seekor anak unta dan peliharalah di dalam rumahmu.” kata Abu Nawas menyarankan. Orang itu tidak membantah. Ia langsung ke pasar hewan membeli seekor anak unta untuk dipelihara di dalam rumahnya. Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas. Ia berkata,

“Tahukah engkau bahwa keadaan di dalam rumahku sekarang hampir seperti neraka. Semuanya berubah menjadi lebih mengerikan daripada hari-hari sebelumnya. Wahai Abu Nawas, kami sudah tidak tahan tinggal serumah dengan binatang-binatang itu.” kata orang itu putus asa.

“Baiklah, kalau kalian sudah merasa tidak tahan maka juallah anak unta itu.” kata Abu Nawas. Orang itu tidak membantah. Ia langsung menjual anak unta yang baru dibelinya. Beberapa hari kemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu.

“Bagaimana keadaan kalian sekarang?” Abu Nawas bertanya.

“Keadaannya sekarang lebih baik karena anak unta itu sudah tidak lagi tinggal disini ” kata orang itu tersenyum.

“Baiklah, kalau begitu sekarang juallah unggas-unggasmu.” kata Abu Nawas.

Orang itu tidak membantah. Ia langsung menjuai unggas-unggasnya. Beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu.

“Bagaimana keadaan -rumah kalian sekarang ?” Abu Nawas bertanya.

“Keadaan sekarang lebih menyenangkan karena unggas-unggas itu sudah tidak tinggal bersama kami.” kata orang itu dengan wajah ceria.

“Baiklah kalau begitu sekarang juallah domba itu.” kata Abu Nawas. Orang itu tidak membantah. Dengan senang hati ia langsung menjual dombanya.

Beberapa hari kemudian Abu Nawas bertamu ke rumah orang itu. Ia bertanya, “Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang ?”

“Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu hai Abu Nawas.” kata orang itu dengan wajah berseri-seri.

“Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan sekecil apapun bahkan di tengah kesulitanmu, maka Tuhan akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiranmu.” kata Abu Nawas menjelaskan.

Cerita di atas memberikan pelajaran kepada kita tentang hakikat syukur. Rasa syukur tidak hanya dilakukan ketika kita mendapat nikmat yang besar, melainkan saat mendapatkan  nikmat kecil juga. Bahkan ketika Allah memberi ujian pun, terselip beribu-ribu kenikmatan yang Dia berikan kepada kita. Namun sayang banyak yang tidak menyadarinya.

Ketika syukur dilakukan dari hal yang paling kecil dari nikmat yang kita dapatkan atau rasakan, maka akal dan hati kita akan luas dalam memandang dunia. Sehingga rasa cinta kepada Allah semakin bertambah. Akan tetapi jika syukur terpatok pada hal-hal besar atau bahkan standar orang, maka kesempitan akal dan hati akan menguasai.

Akibatnya perasaan kufur dan tidak puas atas karunia Allah akan muncul serta memicu azab pedih dari Sang Pencipta. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat ke-7 yang artinya, ” ..Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. “

Bersyukur pun berlaku bagi kita yang saat ini sedang menghadapi musibah wabah corona. Karena sebenarnya ada berjuta-juta nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita di tengah kondisi musibah ini. Misal kesempatan sehat, dapat berkumpul dengan keluarga, mampu mendapatkan makanan, mampu membantu orang dan nikmat lainnya yang tak terkira jumlahnya. Akan tetapi sedikit dari kita yang menyadari akan hal itu sehingga yang muncul hanyalah keluh dan kesah. Mudah-mudahan ramadhan di kondisi pandemi ini membuat kita bisa lebih luas lagi dalam memandang nikmat Allah sehingga mampu bersyukur atas segala takdir yang telah ditetapkan-Nya.

Wallahu a’lam bisshowab.

Royyan Mahmuda Al’Arisyi Daulay, alumni Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Exit mobile version