YOGYAKARTA, Suara Muhamamdiyah – Bertalian dengan ditetapkannya ibadah puasa oleh umat Isam sebagai salah satu sendinya, maka hal ini mengundang beberapa pertanyaan yang essensial mengenainya. Utama sekali kita rasakan pentingnya mempertanyakan puasa ini sebagai salah satu sendi Islam bilamana hal itu kita pandang dengan kacamata dengan situasi tehnologi masa kini.
Pertanyaan-pertanyaan yang dinilai cukup essensial diantaranya:
- Apakah sebenarnya puasa itu? Apakah puasa Ramadhan itu perlu ketetapan secara mutlak?
- Apakah puasa Ramadhan mempunyai peranan positif dalam kehidupan praktis manusia sehari-harinya, baik yang bersifat individual dan sosial?
- Apakah puasa Ramadhan masih memiliki bobot kebajikan pada masa tehnologi kini dan masa yang akan datang? Apakah peranan puasa Ramadhan pada abad tehnologi dapat digantikan dengan sistem dan cara lain?
- Sebagai suatu ibadah, maka dasar apakah yang melandasi lahirnya konsepsi puasa Ramadhan dengan sendi-sendi Islam yang lain?
- Bagaimanakah hubungan antara puasa Ramadhan dengan sendi-sendi Islam yang lain? Dan bagaimanakah sifat pertaliannya itu?
Untuk menjawab hal itu, secara general, setiap umat Islam mestinya mengetahui hakikat puasa. Karena banyak sekali kesalah-fahaman orang tentang hakikat puasa. Sementara, ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa hakikat puasa adalah mengurangi kadar makan dan minum. Sebagian lainnya, mengatakan bahwa puasa tidak hanya sekedar tidak makan dan tidak minum serta tidak berjima’ (dengan istri) di siang hari.
Pendapat pertama umumnya berasal dari kaum kebathinan. Dan pendapat kedua berasal dari faham yang formalitas dari sebagian umat Islam yang tidak bijaksana. Fagam yang benar tentang hakikat puasa seperti yang disabdakan oleh Raslullaah SAW,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ. فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهْلِ عَلَيْكَ فَقُل: إِنِّى صَائِمٌ إِنِّى صَائِمٌ
“Puasa itu bukan hanya meninggalkan makan dan minum. Akan tetapi, puasa itu meninggalkan hal-hal yang keji. Jika kamu dicaci atau dibodo-bodohi orang lain, maka katakanlah, ‘aku sedang puasa.., aku sedang puasa.” (H.R. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban dan Hakim)
Secara luas, Nabi mengisyaratkan kepada kita bahwa keadaan-keadaan yang menyebabkan diri melakukan perbuatan yang tidak bernilai hendaknya ditinggalkan.
Dengan begitu, hakikat puasa secara materiil dan mortal menjadi satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Secara materiilnya ialah meninggalkan makan, minum dan berjima’. Sedangkan morilnya meninggalkan apa saja perbuatan, sifat dan tingkah laku yang bernilai positif.(Rahel)