Prof Dr Haedar Nashir, MSi
Umat Islam Indonesia merupakan kekuatan yang besar di negeri ini maupun di dunia Islam. Hal itu karena jumlahnya yang sangat besar dan majemuk maupun wataknya yang lebih moderat dengan kondisi kehidupan yang relatif aman dan damai. Potensi yang posisitf tersebut tentu perlu disyukuri sebagai karunia Allah yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai kemajuan yang unggul di segala bidang, sehingga menjadi khayra ummah atau umat terbaik. Bukan hanya unggul jumlah atau kuantitas dan atribut-atribut kultural tetapi tidak kalah penting unggul kualitas dan berkemajuan di segala bidang kehidupan.
Kelebihan kuantitas dan kemoderatan umat Islam Indonesia di mata dunia itu kini tidak jarang menjadi kebanggaan yang berlebihan, seakan muslim di negeri ini serbahebat dan telah menjadi penentu peradaban dunia. Tidak jarang bahkan menjadi bahan komoditi yang beraroma ananiyah hizbiyah, seolah kita serbabaik dan yang lain serbaburuk. Hanya dengan berwacana, umat muslim Indonesia seakan telah menjelma menjadi umat terbaik di muka bumi, tidak jarang sambil beraroma cenderung merendahkan bangsa Muslim di kawasan Timur Tengah atau negeri lain. Dengan hanya melalui pidato dan seminar nasional maupun internasional tidak jarang muncul kebanggaan yang berlebihan dan cenderung retorika, seakan umat Islam Indonesia benar-benar serba unggul.
Padahal jujur harus diakui, banyak hal yang masih jauh tertinggal di tubuh umat Islam negeri ini. Meski besar secara jumlah, mayoritas umat Islam masih tertinggal atau belum maju dalam bidang ekonomi dan iptek sebagai pilar kemajuan peradaban
Kemiskinan dan kesenjangan sosial masih melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam politik juga belum mandiri dan menjadi kekuatan yang menentukan, lebih banyak sebagai pelengkap penderita. Negara-negara Muslim lain termasuk di Timur Tengah banyak yang lebih unggul dalam sejumlah aspek, terutama ekonomi, kemajuan iptek, dan perkembangan lainnya. Sebagian negara seperti Suriah dan Yaman maupun Mesir, Irak, Libya, dan lainnya memang sedang ditimpa musibah dalam kancah The Arab Spring dan akibat hegemoni kekuatan luar; tetapi bukan berarti saudara-saudara dari negeri Muslim itu tamat riwayatnya. Kita harus berempati, bukan unjuk diri di atas musibah saudaranya.
Islam Indonesia
Islam di kepulauan di Indonesia yang di masa lampau sering disebut Nusantara secara historis hadir dan berkembang dalam suatu matarantai yang panjang, berwarna-warna, dan tidak sekali jadi dengan melibatkan banyak sekali pelaku dakwah dan penyebar Islam yang tak berbilang. Islam di negeri Nusantara tidaklah tunggal dan linier, dia tumbuh-berkembang sarat dinamika persambungan dan perubahan yang mengalami pembentukan terus menerus sejak abad ketujuh atau ketigabelas hingga saat ini. Hingga kapanpun Islam dalam kehidupan pemeluknya akan terus mengalami perkembangan pasang-surut sesuai hukum perubahan yang sepenuhnya bercorak kesejarahan.
Para ahli mencermati keragaman proses dan pelaku Islamisasi di negeri ini secara dialektik. Islam masuk ke Indonesia berhadapan dengan kebudayaan masyarakat Indonesia yang bertumpu pada stratum masyarakat petani yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan animisme (Dobbin, 2008: 185). Islam masuk ke Nusantara ketika agama Hindu telah mengakar kuat dalam masyarakat setempat, jadi telah berlangsung terutama di pulau Jawa proses “Hinduisasi” atau lebih tepat “Indianisasi” yang tembus secara mendalam dan meninggalkan bekas lama sekali (Benda, 1974: 36). Islamisasi di kepulauan Nusantara merupakan bentuk penyebaran Islam melalui proses sosial-kultural dan sosial-ekonomi yang dilakukan para penyebar dan saudagar Muslim di kepulauan Nusantara (Kartodirjo, 1993: 7).
Kehadiran organisasi-organisasi Islam di awal abad ke20 merupakan matarantai dari sejarah Islam yang panjang, meluas, dan berlapis-lapis dalam banyak ragam itu, yang coraknya lebih modern dan teorganisasi. Sebutlah kelahiran dan kehadiran organisasi-organisasi Islam seperti Jami’atul Khair (1905), Sarikat Dagang Islam (1905), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Al-Irsyad (1914), Persatuan Islam (1923), dan Nahdlatul Ulama (1926), serta organisasi Islam lannya yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Kongres Wanita pertama tahun 1928, di mana ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah menjadi salah satu pemrakarsa dan penyelenggara, merupakan titik awal kebangkitan perempuan Indonesia dan menjadi bagian integral dari pergerakan nasional. Semuanya memberi saham bagi pembentukan perkembangan dan kemajuan umat Islam maupun bangsa Indonesia yang bersambung dengan kehadiran gerakan-gerakan Islam sesudahnya hingga saat ini.
Karenanya keliru jika Islam di Indonesia dipersempit atau direduksi dalam format Islam Nusantara dengan corak tunggal. Termasuk tunggal hanya pada sifat moderat atau berwawasan budaya kenusantaraan belaka
Islam Nusantara itu jika dinisbahkan pada Islam Indonesia masa lampau pun tidaklah tunggal, tetapi juga beragam juga dinamis. Pelakunya pun bukan hanya para wali dengan karakter sarat mitologis, tetapi majemuk sekali, di antara yang paling menonjol ialah para saudagar.
Dengan demikian Islam Nusantara atau lebih komporehensif Islam Indonesia itu sangatlah majemuk dan dinamis, tidak tunggal dan tradisionalistik. Unsur majemuk dan dinamik ini di masa lampau memperoleh karakter dari kehadiran para saudagar Muslim yang berperan sebagai pendakwah dan penggerak Islam dan dari tokoh maupun pergerakan Islam pembaru yang menyemaikan benih-benih progresif di tubuh umat Islam sejak dulu hingga saat ini. Corak yang beragam dan dinamis inilah yang lebih memberi atribut sebagai Islam Indonesia!
Umat Produktif
Umat Islam Indonesia alhamdulillah bertumbuh menjadi mayoritas di negeri ini, dengan proporsi tahun 2010 menurut Badan Pusat Statistik 87,21% dari total penduduk. Jumlah yang besar ini tentu merupakan anugerah Allah sebagai hasil perjuangan panjang dan melelahkan para penyebar atau mujahid dakwah yang bermacam-ragam dan tersebar luas dari Aceh hingga Papua di seluruh kepulauan Indonesia. Proses Islamisasinya pun bergerak kultural sehingga secara umum melahirkan umat yang moderat sebagai hasil dari adaptasi dan pergumulan yang panjang dan melibatkan seluruh unsur yang menyebar luas di negeri ini.
Umat Islam Indonesia tidak sepatutnya menunjukkan arogansi dan kebanggaan yang berlebihan. Umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya masih harus bekerja keras meningkatkan daya saing diri di hadapan umat dan bangsa lain. Bagaimana meningkatkan kemampuan berkompetisi dengan umat dan bangsa lain, termasuk di kawasan negeri-negeri jiran pada era Masyarakat Ekonomi Asean saat ini. Dalam sejumlah hal kita masih di belakang setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indonesia yang mayoritas Muslim lebih sering disejajarkan dengan Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Mayoritas umat Islam di akar rumput masih lebih berposisi sebagai objek ketimbang subjek. Kalau mau membangun masjid dan instrastruktur masih harus meminta bantuan, belum banyak yang mandiri. Sehingga muncul pertanyaan, apa yang dapat disumbangkan ke dunia internasional khususnya dunia Islam manakala umat Islam Indonesia masih dhu’afa-mustadh’afin seperti itu? Ibarat suara kodok yang nyaring dan perut yang digelembungkan, tetapi tidak dapat berbuat banyak kecuali melompat-lompat di tempat.
Kalau bicara yang muluk-muluk tentu mudah, tetapi berpijak di dunia nyata untuk mendongkrak kemajuan umat sungguh tak gampang dan menuntut kerja keras yang optimal
Kalau di forum internasional atau seminar dan sebagainya dengan mudah kita mendeklarasikan diri sebagai yang umat terhebat. Demikian pula kalau membanggakan jumlah, semua dapat saling berebut menunjukkan angka tertinggi. Apalagi kalau dikaitkan dengan isu-isu kultural yang melankolis, sungguh banyak yang merasa unggul dan berada di depan. Namun sungguh sudah unggulkah dan berdaya saing tinggi-kah umat Islam Indonesia?
Sabda Nabi, Ibda bi-nafsika, mulailah dari dirimu sendiri. Para pemimpin dan organisasi Islam perlu jujur melihat diri sendiri. Umat Islam Indonesia masih harus berjuang keras membangun kualitas, termasuk kemampuan daya saing dirinya di bidang ekonomi dan kemajuan iptek. Lihatlah umat di bawah, yang masih banyak mengalami kesulitan hidup, ekonomi pas-pasan, pendidikan formal belum tinggi, dan tertinggal dalam banyak aspek kehidupan. Jika ingin berperan sebagai rahmatan lil-’alamin dan menjadi contoh bagi dunia Islam mancanegara, maka jadikan diri kuat dan mandiri sehingga layak sendiri sebagai uswah hasanah. Mana mungkin kita bisa mengurus orang lain kalau rumah sendiri belum terurus dengan baik.
Umat yang mayoritas di negeri ini harus mengedepankan langkah-langkah nyata membangun kemandirian dan daya saing melalui berbagai program pemberdayaan. Tingkatkan kualitas sumberdaya umat melalui pendidikan yang unggul dan berdaya saing tinggi. Kembangkan usaha-usaha ekonomi mikro, kecil, dan menengah yang tangguh dan bersifat alternatif. Bangun berbagai sarana dan prasarana yang mempermudah umat meraih akses dan kegiatan produktif. Jika sudah bermodal yang cukup kuat di segala bidang dan berdaya saing tinggi, tentu akan mampu tampil sebagai kekuatan yang besar dan raksasa.
Umat Islam Indonesia harus membuktikan diri unggul dalam segala aspek kehidupan. Kalaupun memiliki keunggulan tertentu, tidak layak menunjukkan arogansi disertai sikap yang terkesan merendahkan Muslim Arab dan Timur Tengah atau lainnya. Semua negeri dan bangsa Muslim memiliki kelebihan dan masalahnya sendiri, sehingga yang harus dikedepankan ialah sikap ukhuwah dan saling meringankan beban. Kelebihan yang kita miliki pun tidak lantas menjadikan diri arogan dan percaya diri berlebihan. Pada saat yang sama, bahkan perlu bermuhasabah diri, benarkah umat Islam Indonesia atau Islam Nusantara telah menjadi umat yang unggul? Bagaimana sebenarnya kondisi internal umat Islam di negeri ini. Jangan sampai merasa diri hebat dan berambisi mengespor Islam ke mancanegara, tetapi keadaan sendiri masih jauh panggang dari api. Kata pepatah Arab, faqir asy-syai la yu’thi: jika kita tidak punya apa-apa mana mungkin mampu memberi!
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2016