Racha Julian Chairurrizal
Pernah kebayang gak sih kalau beberapa anggota DPR itu korupsi karena mereka tu jarang main? Apa lagi kalau diliat dari jam kerja mereka yang cukup padat. Ya meskipun emang kita sering nemu mereka sedang tidur di waktu yang salah sih. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa beberapa anggota DPR itu menjalani hari-hari nya dengan kegiatan yang cukup melelahkan. Ditambah, menurut riset dari Indo Barometer pada Januari 2020 kemarin mengenai kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara dan beberapa CSO, DPR dan DPRD ini berada di peringkat sepuluh lho, Lur.
Bahkan sama partai politik yang selama ini kita kenal sebagai lembaga yang cukup yak-yak an aja masih kalah tingkat public trust-nya. Belum lagi kalau ada yang dari mereka memilih menjadi dewan yang sensasional. Udah kerja harian, klarifikasi lintas televisi, dan masih juga harus melihat cemoohan publik di kolom komentar akun sosial medianya. Udah secara kolektif public trust-nya rendah, ditambah ada aja yang milih secara individu jadi orang yang sensasional.
Cape deeehh….
Lelah emang jadi dewan, makanya mereka jadi jarang menikmati aktivitas senggang, terlebih bermain. Bahkan sekadar meluangkan waktunya untuk bermain permainan tradisional atau kalau dalam istilah Baduy Dalam dikenal sebagai pagawean barudak yang artinya pekerjaan anak-anak pun, belum tentu sempat. Padahal, dalam pengamatan saya, pagawean barudak ini sangat penting untuk mereka. Selain untuk refreshing dari panasnya pikiran, juga sebagai sarana muhasabah diri. Khususnya, menurut saya, anggota DPR ini ayo lah sesekali bermain egrang, hompimpa, apalagi petak umpet. Penting lho ini tu.
Menurut hemat saya, saking pentingnya tiga permainan di atas, setiap warga negara yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR itu harus bisa dan lolos untuk melakukan tiga permainan di atas. Saya ulangi, ada egrang, hompimpa, dan petak umpet. Dah tiga itu dulu aja deh. Kalau mereka gabisa, please untuk partai-partai pengusung, jangan calonkan mereka.
Emangnya kenapa sih?
Kalau kita tahu, ternyata tiga permainan di atas memiliki pesan luhur yang bisa menjadi pegangan para anggota DPR loh.
Pertama kita coba masuk ke egrang ya. Dalam Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2018, Om Zaini Alif, seseorang yang dikenal sebagai “Bapak Permainan Tradisional” pernah memaparkan hasil penelitiannya mengenai sekitar 2000 jenis permainan tradisional yang ada di Indonesia, termasuk di antaranya adalah egrang, hompimpa dan petak umpet. Mengenai egrang sendiri, ia mengatakan bahwa ternyata, setelah diteliti, ada makna lain dari egrang selain perihal keseimbangan loh. Kalau kalian pernah main egrang, mesti tau, kalau kontrol gerakan itu ada di tangan, pijakan itu ada di kaki dan kekuatannya itu terletak di tapalnya, di bawah. Nah menurut Doktor permainan tradisional ini, tangan, pijakan kaki dan tapal dalam egrang ini memiliki makna sendiri sebagai tilu sapamilu, dua sakarupa, hiji eta keneh atau tekad, ucap, lampah, atau bisa juga dipahami sebagai control, sensitivity and power.
Bahwa tangan itu diartikan sebagai tilu sapamilu, tekad, dan control. Dalam konteks anggota DPR, mereka sebagai pengambil kebijakan tentu harus memiliki tilu sapamilu, tekad, dan control terhadap keadaan berupa kebijakan yang sesuai dengan keinginan rakyat
Bagaimana anggota DPR bisa berperan sebagai tokoh yang visioner, dinamis dan adaptif. Mata anggota DPR ini harus seperti ketika kita bermain egrang, fokus menghadap ke depan. Perubahan dan kemajuan bangsa adalah harga diri seorang anggota DPR. Kemudian, dalam pijakan kaki, di situ ada dua sakarupa yang bermakna sebagai sebuah ucap dan pemikiran, yang dalam makna lain disebutkan beliau sebagai area sensitif, yaitu kekuasaan.
Bagaimana anggota DPR dalam permainan egrang harus bisa memastikan kekuasaannya digunakan sebagai arena jual beli pikiran, yang tentu, pikiran yang diharapkan oleh rakyatnya. Karena apa? Karena tapal dalam peneltian beliau dikatakan sebagai hiji eta keneh atau juga disebut sebagai lampah yang berarti tindakan dan power yang berarti kekuatan. Maka, kita ketahui bersama bahwa kekuatan anggota DPR berada di bawah, di tapal, di tindakannya yang sesuai dengan kehendak pemberi kekuatan mereka, yaitu rakyat.
Tanpa rakyat, anggota DPR hanya tokoh penguasa yang goyah, yang sensitif dan mudah roboh. Seperti dalam egrang, ketika tapal itu goyah, maka kejengkang adalah sebuah keniscayaan.
Hompimpa
Yang kedua, yok kita coba masuk ke babagan hompimpa. Setelah mereka memahami egrang, yang menghantarkan kepada pemahaman bagaimana kekuasaan seharusnya dijalankan, saat ini mereka harus memahami filosofi hompimpa. Btw, Om Zaini ini menjadikan hompimpa sebagai objek penelitian di disertasinya loh. Ketika mahasiswa S3 lainnya di ITB meneliti pesawat dan seperangkat babagan teknologinya, Om Zaini memilih untuk meneliti hompimpa. Dalam disertasinya, ia menyebutkan bahwa hompimpa sendiri secara filosofis memiliki makna mendalam yang dititipkan leluhur kita untuk kita semua, khususnya anggota DPR sebagai pembuat kebijakan negara.
Hompimpa sendiri menurut beliau berasal dari bahasa sanskerta yang memiliki arti Hom/Om yaitu Tuhan seperti dalam kata”Om” dalam kalimat Om swastiastu, Pimpa yang berarti berkumpul, bergantian dan saling memberi manfaat, Alai Hom yang berarti kembali ke Tuhan, dan Gambreng sebagai penegasan dari Tuhan sebagai peringatan bagi manusia akan makna hompimpa alaihom secara utuh. Sekilas, arti hompimpa ini mirip dengan kalimat tahlil, yaitu dari Allah dan kepada Allah-lah kita makhluknya kembali.
Dalam hompimpa, kita, dan menurut saya khususnya anggota DPR, diingatkan bahwa Tuhan ini menurunkan atau menciptakan kita sebagai makhluknya untuk melakukan Pimpa, yaitu aktivitas perkumpulan, bergantian dan saling memberi manfaat satu sama lain. Maka, korupsi tentu bukan kegiatan yang diinginkan oleh-Nya dalam tafsir hompimpa ini. Karena hanya modal pimpa inilah yang nantinya akan kita bawa untuk alaihom, atau untuk kembali menemui Yang Maha Kuasa. Bukan mobil dinas, apalagi pin emas kehormatan anggota DPR yang nampak mewah itu. Kemudian, dalam hompimpa kita diajarkan mengenai kebutaan kita akan takdir-Nya.
Apakah punggung atau telapak tangan yang akan menang, gak ada yang tau. Di situ lah kita diajarkan untuk belajar ikhlas juga, setelah apa yang kita lakukan di dunia, maka ketika alaihom, kita serahkan hasilnya kepada Tuhan, punggung tangan, atau telapak tangan, dinilai kebaikan, atau keburukan, mendapat surga, atau neraka. Ikhlas dan tawakal yang hanya kita bisa lakukan ketika masuk di fase alaihom. Keren bukan? Makanya, selain egrang, DPR juga wajib bisa main hompimpa.
Petak Umpet
Yang sebagai penutup dan last but not least adalah petak umpet. Satu di antara tiga permainan yang wajib bisa dimainkan oleh anggota DPR. Setelah memahami bagaimana egrang sebagai dasar dalam menggerakkan kekuasan, dan hompimpa sebagai filosofi hidup yang harus hamemayu hayuning bawana dan berwatak ikhlas nan tawakkal, maka petak umpet dapat menjadi permainan pamungkas bagi mereka. Petak umpet sendiri kita ketahui cara mainnya adalah dengan kita menunjuk salah satu dari peserta permainan sebagai orang yang nantinya akan menghitung dan mencari pemain lainnya yang dipersilakan untuk ngumpet. Menurut Om Zaini, petak umpet ini memiliki makna tentang bagaimana Tuhan dan kematian menjalankan fungsinya.
Kok bisa?
“Perhatiin aja kalo kita main petak umpet”, kata Om Zaini dalam acara Debat Publik Kongres Kebudayaan Indonesia tahun 2018 itu.
Coba ya kita sedikit role play mengenai petak umpet ini. dalam petak umpet, pemain yang jadi ucing nantinya bakal menghitung 1-10 atau sampai angka berapapun yang ditentukan bersama pemain sebelumnya, kemudian ketika si Ucing mulai menghitung, pemain lainnya diberi waktu untuk ngumpet seprimpen mungkin biar gak ketahuan sama yang jadi. Nah kemudian, dalam bumi Pasundan khususnya, ketika si pemain yang bersembunyi terlihat oleh si Ucing (sang Kucing), maka dia (si pemain) yang kahongkeun (di-Hong-kan) tidak bisa bermain lagi, selanjutnya hanya bisa menyaksikan teman-temannya bermain.
Dan kalau kita sadar, setiap pemain yang jadi Ucing berhasil menemukan kita, maka dia akan teriak “Hong!”, yang artinya dalam bahasa Sunda adalah ketemu. Yang ternyata ketika diteliti lebih mendalam oleh Om Zaini, Hong di sini bukan hanya berarti ketemu, akan tetapi berarti sebagai bertemu dengan Tuhan. Jadi arti dari kahongkeun di sini adalah manusia yang ‘ditemukan’ oleh Tuhan. Dan apa jadinya kalo kita kahongkeun tadi? Yak, kita gabisa main lagi, alias kita meninggal, selesai sudah permainan di dunia ini.
Uniknya lagi, dalam permainan petak umpet ini kita juga gatau siapa yang bakal kahongkeun duluan. Belum tentu pemain yang ndelik paling primpen akan kahongkeun terakhir, bahkan bisa jadi yang sembunyi paling primpen lah yang justru kahongkeun duluan.
Artinya apa? Artinya Tuhan dalam mencabut nyawa makhluk-Nya tidak akan pandang bulu. Orang kuat seperti Hitler pun akhirnya tumbang, bahkan kematiannya tidak terpaut lama dengan Anne Frank yang jadi tahanan Nazi sendiri, makhluk ‘lemah’ korban holocaust yang ‘tidak ada apa-apanya’ dibanding Hitler.
Itulah kenapa, anggota DPR harus paham dan bisa bermain petak umpet ini. agar bisa memaknai bahwa kekuasan bukan lah sesuatu yang abadi. Seperti kata Bung Karno, “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.
Siapapun kita, presiden, miliarder, anggota DPR, pemulung, pengangguran ataupun PSK, kekebalan kematian tidak ada rumusnya. Kita hanya bisa berusaha, Tuhan yang menentukan.
Inget, egrang, hompimpa dan petak umpet. Kalau anggota DPR gabisa main tiga permainan tersebut, terutama egrang, sudah lah tak usah dipilih aja.
Racha Julian Chairurrizal, Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, Ketua Bidang Advokasi PW IPM DIY