Bait Al-Hikmah: Mata Air Ilmu Pengetahuan Masa Keemasan Islam

Bait Al-Hikmah: Mata Air Ilmu Pengetahuan Masa Keemasan Islam

Muhammad Yuanda Zara

Bulan April dan Mei adalah dua bulan spesial bagi masyarakat yang melek huruf di seantero bumi. Tanggal 23 April diperingati warga dunia sebagai Hari Buku Internasional, sementara tanggal 17 Mei dirayakan masyarakat Indonesia sebagai Hari Buku Nasional. Kendati peringatan kedua hari buku ini dilakukan setiap tahun, tampaknya di Indonesia sendiri minat baca semakin menurun. Ini ada kaitannya dengan kurangnya produksi bahan bacaan di dalam negeri, daya beli buku yang lemah, dan merajalelanya media komunikasi seperti televisi dan terutama sekali internet yang menyita waktu. Membaca buku dipandang sebagai kegiatan yang melelahkan dan tidak segera membuahkan hasil.

Padahal, harus disadari bahwa buku berperan penting memajukan suatu bangsa, bahkan peradaban. Masa Keemasan Islam (abad ke-8 hingga 13 M), mendapatkan namanya lantaran penghargaan yang tinggi pada buku, yang pada gilrannya berarti penghargaan pada penulis, pembaca, penerjemah, pertukaran ilmu lintasbudaya, dokumentasi tertulis, perpustakaan, dan, terutama sekali, pada ide-ide brilian yang dituangkan dalam karya tulis.

Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) adalah institusi yang patut disebut setiap mengingat masa lalu Islam yang gemilang. Pendirian Bait al-Hikmah dipandang sebagai awal dari apa yang dikenal sebagai Zaman Keemasan Islam, zaman ketika kemajuan ilmu pengetahuan dan budaya mencapai puncaknya. Embrio institusi ini sudah ada sejak masa Harun al Rasyid (766-809), khalifah kelima dinasti Abbasiyah di Baghdad. Ia adalah khalifah yang memiliki misi memajukan Baghdad, sebagaimana tampak dari upayanya untuk mendirikan berbagai fasilitas publik dan mendorong pengkajian ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu alam.

Putra Harun al Rasyid yang kemudian juga menjadi khalifah, Al-Ma’mun, adalah sosok sentral yang membangun Bait al Hikmah

Di bawah Al-Ma’mun, produksi dan transfer pengetahuan berjalan dengan cepat. Filsuf Muslim ternama, Al-Kindi, menulis ratusan karya, mulai dari filsafat hingga kedokteran, yang kemudian menjadi bagian perpustakaan Bait al-Hikmah. Di sisi lain, nama Aristoteles pun mulai dikenal di dunia Arab-Islam. Al-Ma’mun memakai jasa Al-Kindi untuk menerjemahkan berbagai buah pikiran sang pemikir besar Yunani itu ke dalam bahasa Arab. Selain al-Kindi, Al-Ma’mun mempekerjakan seorang penerjemah Kristen Nestorian, Hunayn ibn Ishaq. Hunayn menerjemahkan ratusan karya intelektual Yunani. Tak heran ia kemudian dijuluki sebagai sebagai “pemimpinnya para penerjemah”.

Melalui para penerjemah, dunia Islam mengenal karya-karya klasik para pemikir besar Yunani, seperti Plato, Aristoteles, Hippocrates, Galen dan Albinus. Selain dari bahasa Yunani, penerjemahan juga dilakukan dari bahasa India dan Persia. Melalui berbagai aktivitas intelektual di Bait al-Hikmah, bahasa Arab, yang awalnya hanya bahasa lisan, beralih menjadi bahasa perantara di dunia Muslim dan, yang tak kalah penting, menjadi bahasa tulis dan cetak. Karya-karya besar yang sudah diterjemahkan ke bahasa Arab kemudian diterjemahkan lagi ke bahasa Latin. Ini menjadi pintu masuk ke Eropa, terutama di Italia, Prancis, dan Spanyol, dan kemudian menjadi buku rujukan para sarjana Kristen yang berbahasa Latin.

Selain karya-karya Yunani, Al-Ma’mun juga mengoleksi berbagai karya dari negeri-negeri lainnya seperti Palestina, Mesir, Suriah, bahkan India. Untuk itu, ia sampai harus mempekerjakan orang untuk berpetualang ke sana untuk mencari buku-buku dimaksud.

Muhammad bin Musa alKhawarizmi, ahli matematika (dikenal sebagai Bapak Aljabar) dan ahli astronomi ternama, pernah bekerja di Bait al-Hikmah. Nama-nama lain yang berada di bawah payung Bait al-Hikmah ialah sarjana bahasa Arab, Mahmud al-Zamakhsyari, dan ahli astronomi yang dikenal karena merintis penghitungan diameter bumi serta membuktikan bahwa bumi itu bulat, Ahmad al-Farghani (Alfraganus).

Eksistensi Bait al-Hikmah berakhir ketika pasukan Mongol, sebagai bagian dari kampanye militer mereka menguasai kawasan Mesopotamia, mengepung dan pada akhirnya meratakan Baghdad pada 1258 M. Setelah Baghdad dan Bait al-Hikmahnya hancur, baik Baghdad khususnya maupun peradaban Islam secara keseluruhan belum bisa pulih kembali ke puncak kejayaannya seperti yang pernah dialaminya di zaman keemasaannya.

Hikmah dari Bait al-Hikmah

Sebagian orang menilai bahwa Bait al-Hikmah hanyalah sebuah perpustakaan semata. Ini merupakan simplifikasi. Bait al-Hikmah berfungsi lebih daripada itu, karena ia juga berperan sebagai ruang bagi para cendekiawan untuk mengolah, menyebarkan dan mempertukarkan ide-ide mereka. Bait alHikmah mungkin bisa dikatakan sebagai pionir dari apa yang kini kita kenal sebagai universitas. Perpustakaan hanya merupakan satu bagian saja dari Bait al-Hikmah. Di sana juga ada observatorium yang memberi para sarjana kesempatan untuk mengeksplor dunia lain bernama luar angkasa. Bait al-Hikmah ibarat kampus dan lembaga penelitian, meski dalam arti terbatas. Para sarjana terkemuka dari berbagai belahan dunia bersua, berbagai pengetahuan dengan berdiskusi, dan dilanjutkan dengan meneliti dan menerbitkan kajian-kajian mereka. Mereka juga mempraktikkan pengetahuan mereka dalam profesi mereka masing-masing, misalnya dokter dan arsitek.

Dewasa ini, berbagai kajian tentang sejarah Eropa yang ditulis oleh orang Eropa sendiri selalu memasukkan Zaman Keemasan Islam, khususnya Bait al-Hikmah, sebagai jembatan yang memberikan kesempatan orang Eropa mengenal ilmu pengetahuan, baik melalui karya terjemahan dari bahasa Yunani maupun karya-karya pribadi para cendekiawan Muslim. Dari sanalah karyakarya ini sampai ke tangan orang Eropa. Ini menunjukkan tingginya apresiasi para pengamat Eropa pada peran yang dimainkan oleh sarjana-sarjana Muslim dalam diseminasi ilmu pengetahuan.

Penyebaran pengetahuan melalui Bait al-Hikmah dan lembaga sejenis berpengaruh besar pada kebangkitan kembali (Renaisans) Eropa, benua yang kemajuannya masih kita rasakan hingga kini

Di sisi lain, ada beberapa elemen yang membuat Bait al Hikmah berhasil membawa progres dalam diseminasi pengetahuan, dan sebagian di antaranya masih relevan untuk masa kini. Salah satunya penerjemahan buku asing bermutu, yang artinya membukakan pintu pada dunia lain yang lebih maju. Dan, tampaknya Persyarikatan Muhammadiyah sendiri tengah berada di jalur ini karena belakangan penerbitnya, SM, menerjemahkan dan menerbitkan berbagai buku solid tentang Islam dan Indonesia yang ditulis oleh para sarjana asing, yang pendekatan, kekayaan sumber, dan kekhasan analisis serta gaya bahasa mereka niscaya akan menjadi sumbangan intelektual berharga bagi perkembangan Islam di Indonesia.

Yang tak kalah penting adalah bahwa melimpahnya informasi dan mudahnya akses terhadap pengetahuan seharusnya mendorong kian aktifnya produksi pengetahuan, dan juga melahirkan berbagai terobosan dalam keilmuan. Pada masa kini, umat manusia tenggelam dalam informasi yang datang silih berganti dalam hitungan detik dan hanya dengan sentuhan jari. Sisi baiknya, informasi menjadi milik semua orang. Sisi buruknya, pengetahuan menjadi dangkal dan jauh dari perenungan atau refleksi. Maka, buku dan perpustakaan merupakan sarana yang harus tetap dirawat dan dikembangkan demi lahirnya manusia yang tidak hanya berpengetahuan tapi juga perseptif, bijak dan memiliki daya cipta.

Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan

Sumber: Majalah SM No 12 Tahun 2017

Exit mobile version