Sikap Tengahan

Siapa tidak kenal Fir’aun dalam sejarah umat Musa di negeri Mesir kuno? Raja Ramses yang satu ini dikenal luas sebagai diktator yang perkasa, kejam, dan super arogan. Selain penindas rakyatnya yang tidak ada duanya, Fir’aun dengan congkak mengaku sebagai “tuhan yang maha tinggi”. Sungguh sebuah ketakaburan yang paling lengkap di muka bumi.

Siapa pula tak kenal Musa alaihissalam? Nabi utusan Allah ini dikenal pula keras sikap dan pendirian. Dia pernah menjambak rambut Nabi Harun, saudara sepupunya, yang ketika dia tinggalkan malah sebagian umat Bani Israil menjadi penyembah sapi. Musa marah sekali kepada Harun.

Boleh jadi Musa yang keras memang dihadirkan untuk melawan Fir’aun yang keras kepala dan tamak kuasa. Harus sebagai kekuatan penyeimbang, yang lembut, ibarat air di tengah dua api menyala.

Namun, suatu ketika Allah justru memerintahkan Musa dan Harun untuk menyikapi Fir’aun dengan lemah lembut. Allah memerintahkan kepada dua Nabi utusan-Nya itu sebagaimana dalam firmanNya, yang artinya: ”Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut” (Qs Thaha : 43-44).

Kisah Musa dan Harun versus Fir’aun ini memberi pelajaran tentang sisi lain dalam berdakwah: qaulan layyina, ujaran yang lembut dan menggugah kesadaran. Ada tujuan membongkar sangkar-besi kesesatan yang berkecamuk di kepala sang diktator yang zalim itu melalui proses sublimasi atau penyucian kesadaran. Firman Allah di Surat lain yang artinya: ”Dan katakanlah (kepada Fir’aun) : Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabb-mu agar supaya kamu takut kepada-Nya” (Qs An-Naazi’at : 18-19).

Memang dalam berdakwah ada perintah pula untuk qaulan sadida, perkataan yang keras atau tegas. Namun di sisi lain dianjurkan pula dengan perkataan yang lemah lembut. Keduanya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, tinggal bagaimana penggunaannya sesuai dengan kondisi dan sasaran yang dihadapi.

Demikian pula sisi dakwah itu ada amar makruf sekaligus nahyu munkar, yang pertama berupa perintah pada kebaikan, yang kedua mencegah kemunkaran. Pendekatan yang satu positif-konstruktif, yang lainnya negatif-kritis. Keduanya sama pentingnya untuk digunakan. Berlakukan cara berdakwah dengan hikmah, edukasi, dan dialog yang demokratis (Qs An-Nahl: 125).

Maka jauhi sikap ekstrem atau ghuluw dalam berdakwah. Ekstrem yang serba lemah lembut, sebaliknya ekstrem yang serba keras. Di sinilah penting para da’i atau pelaku dakwah memiliki kecerdasan sekaligus kearifan, sehingga dakwah mengalir ke tujuan. Para pelaku dakwah dituntut memiliki keseimbangan yang baik, itulah wajah wasithiyah atau tengahan. Kapan keras dan kapan lemah lembut.

Ketika menuntut lemah lembut, tidak perlu merasa jatuh diri. Begitu pula sebaliknya, tatkala harus tegas tak perlu menunjukkan arogansi. Hal yang terpenting lakukan dengan ikhlas tanpa campur kepentingan diri dan hawa nafsu. Hawa nafsu merasa diri paling benar, bersih, dan hebat serta menganggap lain sesat, kumuh, dan rendah. Dalam sikap hidup sehari-hari maupun dalam menyebarkan misi dakwah tak perlu dengan angkuh dan amuk marah. Sebab di antara ciri orang bertaqwa antara lain pandai menahan marah dan menjadi pemaaf (Qs Ali Imran: 133-134).

Jalan hidup manusia tidaklah selamanya bergaris lurus. Ranah dakwah menyebar benih kebenaran dan kebaikan pun penuh warna. Ketika kita benar, memang tetap pelihara prinsip kebenaran itu, tetapi sikap arif pun bagian dari khazanah indah yang diajarkan Allah dan para Nabi utusan-Nya. Ambillah sikap bijak dan cerdas, laksana mutiara yang hilang dan harus ditemukan kembali. Allah Yang Maha Rahman dan Rahim tidak akan salah alamat melimpahkan berkah dan anugerah-Nya bagi insan Muslim dan penyebar dakwah yang menampilkan sikap tengahan sebagai mosaik hikmah! A. Nuha

Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2016

Exit mobile version