Oleh : Muhda Ashari D. Wibawa
Ramadhan di masa pandemi ini mengharuskan setiap umat Muslim untuk melaksanakan peribadahan di rumah saja. Mulai dari salat berjamaah untuk setiap salat fardhu, salat Jum’at, hingga salat tarawih semuanya dipindah laksanakan di rumah demi kebaikan bersama. Tak luput pelaksanaan i’tikaf pada tahun ini. Jujur saya pribadi jarang beri’tikaf ketika Ramadhan tiba, baru memulai dan membiasakannya saja sekitar 3 tahun terakhir. I’tikaf terakhir tahun lalu masih bisa dilakukan di Masjid Gede Kauman Jogjakarta. Berbeda sekali, tahun ini mencoba untuk memaksimalkan malam-malam terakhir Ramadhan di rumah saja. tak ayal jika saya pribadi rindu untuk bisa beri’tikaf di Masjid Gede Kauman. ‘Kok tidak rindu i’tikaf di Masjidil Haram?’ Maklum, saya belum pernah berkunjung ke sana. Semoga Allah memudahkan dan mengabulkan impian untuk bisa memaksimalkan Ramadhan di Masjidil Haram, Aamiin.
Muhammadiyah dan beberapa ormas serta tokoh agama Islam lainnya telah mengeluarkan tuntunan ibadah Ramadhan di masa pandemi. Termasuk tata cara i’tikaf di sepuluh malam yang akhir yang bisa dilakukan di rumah. Sebagian orang tetap berpendapat bahwa i’tikaf haruslah dilakukan di masjid sebagaimana dalam firman Allah وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ “dan janganlah kamu mencampuri mereka, sedang kamu beri’tikaf di masjid”. Bahwasanya i’tikaf yang diartikan sebagai ‘berdiam diri’ disyaratkan untuk dilakukan di masjid. Maka tidak sah i’tikaf seseorang apabila tidak dilakukan di masjid. Begitu sekiranya alasan yang dipegang oleh sebagian orang.
Sebagian lainnya menyatakan bahwa tidak mengapa untuk beri’tikaf di rumah karena memang kondisinya tidak memungkinkan, asalkan di malam itu ia menghidupkan malam dengan berzikir, berdoa, membaca Al-Qur’an atau salat malam dengan niat i’tikaf. Apalagi diniatkan pula untuk mendapatkan kemuliaan malam Lailatul Qadar. Karena terdapat udzur inilah yang menjadikan i’tikaf pada tahun ini harus dilaksanakan di rumah. Tentu yang demikian itu menjadi dilema bagi sebagian kita. Maka salah satu kuncinya adalah yakin bahwa dengan apa yang kita lakukan (beri’tikaf walau di rumah) itu dilihat dan akan dibalas oleh Allah.
Bagi kita yang sudah selama 20 hari menjalankan ibadah Ramadhan di rumah bersama keluarga, 10 hari terakhir di bulan Ramadhan ini adalah momentum yang cocok untuk menguatkan rasa kekeluargaan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, ketika sudah memasuki 10 malam terakhir pada bulan Ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya dan membangunkan istri-istrinya. Hal ini dimaksudkan untuk fokus memaksimalkan ibadah dan keluarga juga turut serta bersama Nabi. Beliau mengajak kepada keluarganya untuk mau menghidupkan malam-malam akhir pada bulan Ramadhan seraya mencari kemuliaan Lailatul Qadar. Tentu hal inilah yang seharusnya bisa kita tiru dalam keluarga kita, terlebih dalam keadaan seperti ini.
Untuk menguatkan kekeluargaan ini, perlu adanya komunikasi yang baik dan kesepakatan bersama serta niat yang ikhlas untuk mendapatkan keridhoan dari Allah semata. Ada beberapa langkah yang bisa diterapkan untuk menghidupkan 10 malam terakhir di bulan Ramadhan bersama keluarga di rumah.
Pertama, ajaklah diskusi keluarga untuk mau memaksimalkan Ramadhan dengan melaksanakan i’tikaf bersama. Bisa dengan berzikir, berdoa atau membaca Al-Qur’an sampai menjelang waktu sahur.
Kedua, salat Isya berjamaah di awal waktu, tanpa dilanjutkan dengan salat tarawih. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengakhirkan salat tarawih untuk diganti dengan salat tahajud di sepertiga malam yang akhir. Opsi lainnya adalah dengan tetap tarawih bersama, namun mengakhirkan pada salat witirnya.
Ketiga, tidur setelah melaksanakan salat isya dengan niat untuk bangun di malam hari. Setelah itu dilanjutkan dengan memperbanyak doa atau zikir bersama keluarga di rumah.
Perlu diketahui bahwa salah satu momen yang tepat untuk menguatkan keluarga adalah melakukan kegiatan dalam rangka taqarrub ilallaah. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika menjabat sebagai khalifah. Setelah kita berzikir dan beribadah kepada Allah, barulah kita awali komunikasi untuk menguatkan kekeluargaan kita bersama. Komunikasi yang dibangun juga akan menjadi komunikasi yang sehat dan baik.
Karena kita sedang berkomunikasi bersama keluarga kita setelah melakukan ibadah kepada Allah, dan Allah ikut hadir dalam komunikasi tersebut. Karena Allah turun ke langit dunia si sepertiga malam yang akhir untuk melihat siapakah yang sedang beribadah kepada-Nya. Maka perlulah kita menguatkan kembali kekeluargaan kita dengan beri’tikaf dalam rangka memaksimalkan Ramadhan ini. Semoga Allah memudahkan dan menerima amal ibadah kita di bulan Ramadhan ini. Aamiin yaa Rabbal’aalamiin.
Oleh : Muhda Ashari D. Wibawa, Alumni Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta