Meminimalisir Social Gap Pada Momentum Idulfitri

Oleh: Dr Mohammad Yusri Isfa, M.,Si

Penulis ingin menggambarkan sekelumit tulisan ini, betapa dahsyatnya momentum Idulfitri jika dikaitkan dengan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan baik lahir dan batin ummat. Sendainya momentum ini terpatri dan terimplemntasi pada sebelas bulan setelah Ramadhan kemudian, sehingga tidak bersifat seremonial, maka upaya Pemerintah dalam mengurangi tingginya angka gini ratio di Tanah Air akan mudah dicapai. Wabil khusus keberadaan ummat Islam yang nota bene mengalami angka ketimpangan (social gap) yang tinggi, tidak menjadi penyebab.

Salah satu  indikator terpenting hasil pembangunan yang dicapai di berbagai daerah di Tanah Air adalah mengecilnya angka ketidak merataan (Gini Ratio=0). Upaya-upaya yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun swasta kearah itu sudah dan terus dilaksanakan. Hal tersebut dalam rangka untuk menghilangkan atau setidaknya akan mengurangi kesenjangan, atau social gap yang ada ditengah-tengah masyarakat. Namun hasil-hasil yang dicapai belum seperti yang diharapkan.

Menurut BPS (2019), bahwa angka rata-rata gini ratio di Indonesia adalah 0,351. Angka tetinggi gini ratio di Indonesia adalah  Jogjakarta (0,423), sementara angka terendah gini ratio adalah Provinsi Bangka Belitung (0,269). Ini menandakan bahwa ketidak merataan pendapatan dan penghasilan masyarakat masih saja terjadi dimana-mana. Belum adanya titik keseimbangan ketimpangan di Indonesia secara umum disebabkan dikarenakan banyaknya pertumbuhan ekonominya didorong oleh  industri-industri yang bersifat extraktif (industri yang mengandalkan sumber daya alam) dengan pertambangan-pertambangan illegal, kemudian upah yang masih banyak kesenjangan. Begitu juga sektor perkebunan yang hanya dimiliki segelintir orang dengan luas yang mendominasi. Oleh karenanya seolah betapa sulitnya kelas pekerja yang kebanyakan bisa berubah pada kelas elit, seolah sesungguhnya di masyarakat kita telah terjadi kasta terselubung, yang tidak memungkinkan berpindahnya dari kasta rendah kepada kasta menengah bahkan kasta yang lebih tinggi.

Bagaimana ummat Islam dapat keluar dari orbit ketimpangan itu?, padahal Islam memiliki tuntunan yang kuat terhadap persoalan pemerataan, keadilan dan membangun peradaban yang lebih maju. Jika secara sosial, ekonomi dan kultural ummat Islam memiliki potrensi jumlah yang luar biasa banyak. Ambil contoh jika jumlah ummat Islam itu dijadikan potensi pasar bagi kegiatan ekonomi, maka tidak menutup kemungkinan secara ekonomi akan memiliki manfaat besar bagi kebangkitan ekonomi ummat pada masa yang akan datang.

Oleh karena itu penulis ingin menjelaskan beberapa aspek pada tulisan kali ini diantaranya; Memahami makna ketimpangan (dalam istilah penulis social gap) dan beberapa penyebab, akibat-akibat yang ditimbulkan dari ketimpangan, pembangunan ekonomi bukan pembangunan sosial, Semangat Idulfitri dan implikasi kehidupan ekonomi, sosial  dan cultural. Penulisan artikel ini merupakan penulisan diskriptif dikombinasikan dengan data dan fakta sekunder dari berbagai sumber. Semoga dalam momentum Idulfitri kali ini dapat menjadi telaah yang lebih mengerucut pada sebuah aksi nyata bagi langkah-langkah pemerataan kesempatan, ekonomi dan lain-lain.

Mengambil pendapat Andrianof A Caniago, 2009 :” ketimpangan adalah buah pembangunan yang hanya fokus pada aspek ekonomi. Para subjek pembangunan hanya bertumpu pada angka-angka pertumbuhan ekonomi semata, tanpa melihat apakah pertumbuhan ekonomi itu sudah rata-rata dapat dinikmati masyarakat atau belum. Pertumbuhan hanya dimiliki kelompok “user” atau “pemodal” dari suatu corporasi. Penulis dapat mengilustrasikan jika digambarkan pada sebuah piramida segitiga, bahwa pertumbuhan itu berada pada puncak kerucutnya saja yang jumlahnya secara kuantitatif amatlah sedikit dibandingkan alas segitiga yang paling bawah tentunya yang kebanyakan sebagai penomton dari pertumbuhan itu.

Dengan tidak bermaksud mendikhotomikan antara Orde Baru dan Orde lainnya di Indonesia, maka pada masa Pemerintahan Orde Baru sesungguhnya model pembangunan menggunakan istilah Todaro (2000), Pembangunan dengan pendekatan Tricle Down Effect dengan orientasi Pertumbuhan itu telah berpuluh di terapkan di Indonesia, namun menuai buah ketidak merataan yang lebar. Pembangunan yang fokus di Pulau Jawa dengan pendekatan Trcle Down Effect atau efek menetes itu diharapkan akan berdampak kondisi serupa/sama pada wilayah-wilayah yang ada di Indonesia, namun nyatanya jangankan “menetes malah mampet”, sehingga akibatnya  Jawa maju pesat namun wilayah lain berjalan terseok-seok, kemiskinan semakin menggurita, pengangguran dan lain-lain didominasi luar Jawa.

Selanjutnya jika merujuk pendapat Jonathan Haughton (2000), bahwa ketimpangan sosial sebagai akibat bentuk ketidak adilan yang terjadi dalam proses pembangunan. Salah satu bentuk  pembangunan yang tidak berkeadilan adalah sebuah pemihakan kepada kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok lain dalam pembangunan. Salah satu contoh adalah dalam proses pembangunan bahwa masyarakat, pekerja hanya sebagai objek pembangunan, belum dijadikan sebagai subjek pembangunan. Artinya masyarakat sebagai pekerja saja,belum sebagai bagian pemilik modal yang harus diperhitungkan.

Islam menuntun ummat nya bahwa tolok ukur seseorang dalam bekerja ditentukan oleh kualitas apa yang dikerjakannya (lihat QS Al-An’am 132). Oleh karena itu menafikan keadilan dalam Islam sama artinya  dengan belum diberikannya kepada pekerja suatu porsi yang  yang seimbang atau secara proporsional dalam menikmati hasil-hasil pembangunan, sehingga selesai menerima  upah, lalu dikonsumsi,  ya terjadi lagi ke papa an, kemiskinan  itu.

Sedangkan dalam ajaran Islam memiliki prinsip ‘muswah’ (kesetaraan) dan prinsip “adlah” ( keadilan. Dengan prinsip ini sesunggguhnya antara “user” dengan “pekerja” memiliki kedudukan yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Oleh karenanya prinsip Islam sesungguhnya sangat universal dalam kontek hak-hak sebagai pekerja dengan pemilik modal. Seperti dua mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Namun sayangnya prinsip-prinsip itu belum dajadikan guading principle atau panduan prinsip dalam membangun masyarakat ekonomi Islam.

Sejalan dengan hal tersebut bahwa dalam UUD 45 pasal 33 juga dinyatakan   bahwa: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dibawah pimpinan negara, 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jelas bahwa nafas Islam dengan nafas yang tertera dalam konstitusi sebenarnya sangat sejalan.

Oleh karenanya kesetaraan dan keadilan dalam sebuah pembangunan jelas merupakan keniscayaan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat agar jurang ketimpangan dapat diatasi. Dengan demikian implikasi lanjutan atau dampak ikutan dari ketimpangan itu juga dapat dicegah. Sebelum penulis memaparkan dampak dari ketimpangan, sekilas apa penyebab dari ketimpangan tersebut.

 Ada beberapa penyebab ketimpangan itu antara lain sebagai berikut.

Pertama, terhambatnya mengakses sumber kehidupan yang lebih baik, masyarakat tidak memiliki peluang-peluang terhadap sumber dan  kesempatan. Kondisi seperti ini banyak kita dapati, dimana masyarakat tidak memahami dan tidak mendapat informasi akan peluang-peluang dan kesempatan-kesempatan, apakah pekerjaan, bisnis dan kesempatan berusaha lainnya.

Kedua, ketidak adilan dibanding kelompok lainnya. Perlakuan ini mengingat masih terasanya aroma KKN dalam pelayanan publik dalam berbagai kegiatan pembangunan. Hal ini diperparah karena ketiadaan sistem kontrol baik lembaga maupun privat, sehingga perilaku ketidak adilan semakin menjadi-jadi. Pelayanan pembangunan dengan sistem tebang pilih menjadikan masyarakat semakin menagalami ketimpangan-ketimpangan, dan

Ketiga, belum maksimumnya penggalian dan pemanfaatan social capital dan human capital. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya pencari kerja yang hijrah keluar Negri mencari penghidupan. Aktivitas tingginya pencari kerja ke luar Negri menujukkan bahwa kesempatan kerja bagi anak bangsa di dalam negri sendiri masih sangat terbatas. Pemerintah dirasa perlu memiliki sistem regulasi yang lebih mengutamakan social capital dan human capital anak bangsa.

Ada beberapa dampak dari ketimpangan sosial. Dari berbagai penelusuran penulis keberbagai daerah, baik kawasan pedesaan dan perkotaan, maka akibat yang ditumbukan dari ketimpangan sosial ini adalah; miskin secara ekonomi, lemahnya sumber Daya Manusia untuk ikut bersaing dan terkikisnya cultur atau budaya.

Pertama, miskin secara ekonomi, secara orang perorang maka ekonomi hanya tumbuh dan berkembang pada kelompok tertentu saja dan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Selanjutnya secara kewilayahan maka ekonomi tumbuh dan berkembang hanya berlaku di beberapa daerah saja sementara kebanyakan wilayah lainnya masih tergolong lamban. Kemudian miskin sumber daya, yaitu eksploitasi sumber daya, baik sumber daya alam, sumber daya mineral hanya dikuasai oleh sedikit orang saja. Sebagaimana Amiuen Rais, 2008, bahwa 80% kekayaan alam Indonesi ini dikuasai oleh hanya 10% orang Indonesia.

            Kedua, Lemahnya Sumber Daya Manusia dalam persaingan, bahwa miskin secara ekonomi akan semakin menyulitkan mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, memiliki kompetensi pendidikan yang mumpuni dan penguasaan teknologi yang baik tentunya. Inilah yang juga menjadi penyebab ketimpangan semakin dalam, sehingga penulis teringat salah satu syair lagu Alm Haji Rhoma Irama “yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin”

            Ketiga, terkikisnya kultur budaya, yakni budaya kepasrahan, yakni seringnya muncul kalimat “ya sudahlah mau buat apa lagi”. Sepertinya sederhana, namun kalimat itu sebuah konsekwensi dari ketidak mampuan masyarakat menghadapi dominasi yang begitu kuat. Akibatnya banyak mereka yang terdiam tak bisa berkata-kata lagu selain kepasrahan terhadap berbagai kultur yang negatip dan tidak sesuai dengan kultur Indonesia.

            Dimasa covid yang beririsan dengan Idulfitri 1441 H ini saja Muhammadiyah mampu melakukan fund rissing sebesar 130 miliyard, belum lagi infak, sodakoh dan zakat yang terhimpun dari berbagai ormas Islam. Suatu penggelontoran dana yang tertinggi dari sekian banyak ormas dan lembaga ekonomi lainnya. Idulfitri membawa implikasi pada gairah ummat untuk memberikan sebagian harta yang diperoleh baik before maupu after Ramadhan. Ini dimungkinkan karena begitu besar kepedulian ummat (muzakki, donasi) yang berkelebihan rezki untuk melihat nasib saudara-saudaranya yang lemah secara ekonomi. Ini menandakan bahwa potensi ekonomi ummat Islam begitu besar. Pada tulisan saya yang lalu bahwa diprediksi pertumbuhan ekonomi ummat Islam yang dihimpun dari infak, zakat dan sodakoh menjadi 214 Triliun di tahun 2024.

  1. Implikasi Kehidupan Ekonomi

Maka bila gerakan-gerakan ini dapat dimanegement dengan baik dengan memanfaatkan semangat Idulfitri, bukan tidak mungkin muhammadiyah kedepan akan memiliki amal usaha yang lebih produktif yang lebih banyak lagi dalam membangun perekonomian ummat. Saat ini saja, ambil contoh di Cabang Babat Lamongan Jawa Timur, Bank Muhammadiyah yang mengantongi Izin Koperasi saja di Tahun 2017 silam sudah mampu menarik 80 persen dana nasabah di daerah itu. Dari perhelatan Muhammadiyah expo di  Muntilan Jawa Tengah (2018) penulis melihat betapa usaha kayu lapis yang dikelola ranting Muhammadiyah Gunung Preng Muntilan  Kabupaten Magelang Jawa Tengah, yang mampu menyerap 80 persen warga desa sebagai tenaga kerjanya. Suatu karya dan prestasi ummat yang patut ditiru.

Upaya-upaya fund rissing (penggalangan dana) yang digelar saat jelang Idulfitri dalam bentuk Gerakan Amal Saleh (GAS) sebaiknya tidak hanya digunakan pada hal-hal yang rutinitas, seperti membangun ini dan itu, yang kadang-kadang terbengkalai pula.  Akan kah lebih baik pengumpulan dana-dana dapat dikelola pada hal-hal yang lebih produktif dan dapat diperoleh banyak manfaat (mulyplyer effect). Kegiatan-kegiatan yang produktif itu lambat laun akan memutus mata rantai pada kegiatan “meminta-minta” terus menerus dalam berbagai pembiayaan-pembiayaan amal usaha. Disamping itu dapat menggerakkan aktifitas ekonomi ummat, manambah lapangan pekerjaan baru, dan pada akhirnya ketimpangan itu dapat diminimalisir.

Ada suatu pernyataan Clifford Geertz, 1976 yang agak menggelitik, dimana pada sebuah penelitian beliau yang dituang dalam sebuah buku The Religion Of Java, bahwa secara sosial ummat Islam wabil khusus Muhammadiyah itu kurang memiliki kohesifitas (daya rekat) sesama jamaah. Mengapa demikian? Maka ada sebuah jawaban yang saya kutip dari pernyataan bapak Hajriyanto Tohari (saat ini Dubes Indonesia untuk Turki), pada saat momentum acara Silaturrahim Syawal di UMSU tahun 1439 H lalu menyebutkan bahwa “orang-orang Muhammadiyah itu kalo gak ngaji aja di ranting, maka nyaris silaturrahimnya menjadi hilang. Beliau menyebut yang namanya Nuzululul Quran, Maulidan, Mikrajtan dan lain-lain sudah hampir dipantangkan dalam Muhammadiyah. Bakda sholat jamaah juga gak ada salam-salaman, itu bukan tradisi orang Muhammadiyah sebutnya sambil becanda.

Satu hal cultur yang melekat pada semua ummat Islam apapun mazhab/manhajnya itu, setiap Idulfitri tiba suasana keakraban sesama keluarga, sahabat, handai tolan itu begitu kental. Bahkan dibeberapa daerah di Indonesia, katakan provinsi Aceh, Sumatera Barat dan tempat lain semangat itu memakan durasi yang cukup lama. Mereka bependapat, “wong Hari Raya,( Syawal maksudnya)  kan sebulan”. Maka Idul Fihri dapat membangun spritual bermasyarakat, bergotong royong memecahkan masalah bersama dalam menghadapi banyak persoalan. Ini suatu potensi yang tidak dimiliki agama lain. Semangat lain di hari raya Idul Fihri adalah hilangnya sekat-sekat ketimpangan sosial. Bayangkan di hari raya Idulfitri agak susah membedakan si kaya dan si Duafa, semua pake pakaian serba baru, semua memakan makanan yang lezat dan higienis, tidak terlihat social gap diantara ummat Islam. Suatu role model bermasyarakat untuk diamalkan sebelas bulan kemudian, kenapa tidak.

Terakhir penulis ingin menarasikan implikasi kultural pada semangat Idulfitri. Begitu banyak local wisdom, tatacara bersilaturrahim, kuliner dan lain sebagainya. Penulis sepakat sepanjang tidak melanggar syariah (Al-Quran dan Sunnah Maqbullah), kultur-kultur kedaerahan ini dapat dilestarikan.

Sebut saja kultur Jawa di Sumatera“nonjok” atau mengantar makanan kepada orang tua, kerabat dalam menghadap Idul Fihri. Ada kuliner “ketupat lebaran”, sebuah menu ala Indonesia yang sedap rasanya dicampur berbagai sayur dan daging. Konon warna putihnya ketupat merupakan lambang kesucian setelah ber maafan di hari yang Fithri.

Ada “sungkeman” sekalipun ini tidak dibenarkan ajaran Islam. Disebutkan dalam sebuah hadist sahih “ Wahai Rasulullah, apabila salah seorang dari kami bertemu saudaranya atau sahabatnya, bolehkah ia menunduk atau membungkuk untuk menghormati nya. Maka Rasul menjawab “tidak boleh” . (HR At Tarmizi nomor 2728). Namun penulis melihat dari sisi tradisi dan budaya, ada spirit keikhlasan mengungkapkan rasa maaf  dari yang lebih muda kepada yang lebih tua di saat hari raya Idulfitri. Dapat kita perhatikan bahwa sungkeman itu gesturnya juga bukan menunduk-nunduk, melainkan lebih mengakrabkan suasana saja. Di saat sungkeman ini tidak terlihat ada social gap, manakala yang lebih kaya, ada pangkat tertentu, maka itu tak berlaku. Ketika ia lebih muda usia maka  semacam wajib sungkeman kepada yang lebih tua, sekalipun keberadaan ekonomi dan lain-lainnya lebih rendah.Wollohu A’lam.

Kemudian ada TeHaEr, kultur ini sudah begitu kuat di Indonesia. Semula THR ini merupakan semacam hadiah bagi staf, karyawan yang bekerja, baik sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) maupu di Perusahaan-perusahaan. Namun sekarang ini diperluas maknanya. Artinya siapapun yang berkemampuan memberi sekedar “Salam Tempel” antara yang satu dengan lainnya. Kultur ini merupakan satu model bagi perputaran ekonomi yang luar biasa dalam menghadapi Idulfitri. Kita lihat dari mulai anak-anak sampai orang dewasa  tidak sedikit pula yang menjadikan THR ini sebagai tabungan untuk digunakan pada saat-saat tertentu pula. Kenapa mereka tabung?, oleh karena pola konsumsi di hari raya begitu meriah, banyak varian, sehingga relatip tidak diperlukan jajanan, maka uang THR tadi lebih baik ditabung.

Terakhir ada kultur Halal Bi Halal, namun di persyarikatan Muhammadiyah lazim menggunakan “Silaturrahim Syawalan”. Tetapi apapun istilahnya maknanya adalah merekatkan kembali hubungan silaturrahim sesama ummat Islam. Suasana halal bi halal merupakan membangun hubungan batin, merajut kebersamaan. Namun mestinya yang perlu dihindarkan adalah aksi “pamer” yang berlebihan di acara tersebut. Semisal pamer mobil baru, pamer pakaian serba mahal, sepatu mahal dan lain-lain serba mahal yang dapat menghilangkan esensi Silaturrahim itu sendiri.

Social gap atau ketimpangan mestinya dapat di minimalisir, bahkan dapat dihilangkan manakala segenap potensi ekonomi ummat Islam seperti infaq, sodakoh dan zakat mal dapat di kordinir, dimanagemen secara proporsional dan profesional, tidak pada tataran konsumtif penggunaannya sehingga menjadi produktif dan memiliki mulplayer effect.

Semangat Idulfitri merupakan suasana yang mesti dijaga keberlangsungannya (sustainable). Ada beberapa implikasi seperti ekonomi, sosial dan kultural yang dapat menumbuh kembangkan kebersamaan, kekeluargaan yang akhirnya meminimilisir social gap. Ada maindset yang mesti dirubah dalam pemanfatan dana-dana yang didapat dari fund rissing atau Gerakan Amal Saleh (GAS) dan sejenisnya. Perubahan dari penggunaannya yang bersifat konsumtif menjadi kepada hal yang bersifat produktif. Diperlukan sebuah fatwa atau Standard Opersi Prosedur (SOP) dari kelembagaan berwenang, katakan Majlis Ulama Indonesia  (MUI) atau Kementrian Perekonomian Republik Indonesia.

Dr Mohammad Yusri Isfa, M.,Si, Ketua LPCR PWM Sumatera Utara dan Ketua Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Strategis UMSU

Exit mobile version