Abdul Muin Malilang
Cahaya mentari perlahan mulai merayap di cakrawala ufuk barat. Ia akan menghantarkan seberkas cahaya akhir bulan agung Ramadhan 1441 H. Balutan gemerlap itu seakan berpamitan dengan manusia muslim seluruh jagad yang barusan ia bersamai selama tiga puluh hari.
Semburan cahayanya sedikit demi sedikit mulai meredup dari hamparan langit biru. Dan langit pun seolah enggan melepas kepergiannya. Langit bagai bersedih berpisah dengan cahaya keagungan. Di saat berbagai jenis fauna kembali ke sarang dan sangkar untuk beristirahat, bersamaan itu pula aneka flora kembali dalam dekapan malam, ketika itulah suara para mu’adzin terdengar menggelegar melalui pegeras suara dari menara masjid dan mushalla. Artinya, waktu maghrib telah tiba. Makna hakikinya, Ramadhan 1441 H. telah berlalu.
Kepergian Ramadhan ditangisi oleh kaum beriman, karena merasa begitu kehilangan momentum emas untuk ber-tazkiyatun nafs. Pupus sudah waktu melipatgandakan ganjaran kebajikan, sirna sudah bulan pembakaran aneka dosa, salah dan khilaf. Bulan yang begitu dirindu nurani insan humanistik dan imani, karena kesadaran akan tumpukan dosa yang demikian menghantui.
Sementara di sisi lain, kebajikan dan kesyukuran kita atas segala nikmat dari Allah SWT begitu minimalis. Bahkan syukur nikmat demikian kita abai, sedangkan kufur nikmat demikian terpelihara. Perbedaan antara keduanya begitu terjal.
Kini, orang-orang yang mengisi bulan Ramadhan dengan baik, sedikit memiliki perasaan gembira bercampur rindu. Namun bagi yang agak menyia-nyiakannya, relung hatinya mungkin diliputi penyesalan dan hanya dapat mengidamkan bertemu dengan Ramadhan 1442 berikutnya. Sebuah pertemuan yang masih dibingkai tanda tanya.
Selamat jalan syahrun mubarak. Semoga kita dapat memelihara amal kebajikan selama Ramadhan seraya berharap pula Allah SWT. masih berkenan mempertemukan kita di tahun 1442 H.