Benarkah Kiai Dahlan, Saudagar?

Mukhaer Pakkanna
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta

Pada periode awal pergerakan, Muhammadiyah selalu diinisiasi kaum saudagar. Mereka ini berfungsi ganda, selain sebagai juru dakwah (mubaligh), juga sebagai saudagar. Periode awal, para saudagar Muhammadiyah itu, sukses membangun kemandirian persyarikatan. Figur Kiyai Dahlan sebagai tokoh sentral dan prototype saudagar sejati.

Bahkan, Kiyai Dahlan selalu mengajarkan murid-muridnya untuk menjadi orang yang mandiri. Hasilnya, cukup mencengangkan. Pada tahun 1916, kaum saudagar yang menjadi anggota persyarikatan Muhammadiyah, tercatat dalam sejarah mencapai 70% dari total anggota Muhammadiyah.

Etos saudagar telah terpatri dalam diri generasi awal Muhammadiyah. Tatkala itu Muhammadiyah cukup disegani. Tidak heran, telah menjadi kenangan indah, bagaimana para saudagar Muhammadiyah di Sumatera Barat, Bugis-Makassar, Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Tasikmalaya, Garut, dan lain-lain, mampu menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah dengan kekuatan bisnisnya.

Kenangan indah, bahwa Muhammadiyah selalu dimotori kaum saudagar telah menjadi cerita masa lalu. Generasi Muhammadiyah dalam empat dekade belakangan ini bukan lagi dimotori kaum saudagar, tapi dijejali oleh kaum pamongpraja. Bahkan, dalam struktur kepengurusan Muhammadiyah saat ini, mulai dari Pimpinan Pusat (PP) hingga Pimpinan Ranting (PRM), sulit lagi ditemukan kaum saudagar.

Nah, bagaimana seungguhnya karakter saudagar Kiyai Dahlan? Secara geneologi, karakter saudagar Kiyai Dahlan terbentuk dari ibunya, Nyai Abu Bakar. Padahal secara umum, kehidupan masyarakat Yogyakarta, sejatinya adalah petani. Sementara di perkotaan, dominan bertukang dan pengrajin (kerajinan tanduk, perunggu, emas, perak dan lainnya). Mereka umumnya tinggal di kampung Kemasan.

Sementara, sebagian kecil masyarakat mengabdikan diri kepada Sultan, sebagai Abdi Dalem. Abdi Dalem, bertugas mengurusi masalah keagamaan. Dan mereka berdomisili di sekitar Masjid, di kampung Kauman. Mereka dikenal sebagai Abdi Dalem pamethakaan.

Pendapatan sebagai Abdi Dalem ini, tentu sangat kecil. Kendati demikian, profesi itu sangat di idam-idamkan masyarakat Yogyakarta. Selain mereka merasa dekat dengan Sultan, ada rasa bangga dan tentu ada semacam panggilan (calling) atas berkah yang bakal diperoleh dengan cepat. Mereka yang menjadi Abdi Dalem, otomatis strata sosialnya menjadi terangkat dalam struktur piramida masyarakat Yogyakarta.

Tentu, Kiyai Abu Bakar, ayah Kiyai Dahlan adalah Abdi Dalem pada dua kerajaan, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Beliau juga menjadi imam di Masjid Sultonain (Masjid dua Sultan), di kampung Nitikan. Tetapi kemudian ditarik dan ditetapkan sebagai imam dan khatib di masjid Gedhe Kauman. Kiyai Abu Bakar adalah kyai yang sangat dekat dengan HB VII, sehingga beliau pernah ditugasi untuk menghajikan (sebagai badal haji) ayahnya, HB VI.

Kehidupan Kiyai Abu Bakar diperoleh dari gajinya sebagai Abdi Dalem dan istrinya sebagai saudagar batik. Kehidupan seperti ini sudah menjadi kegaliban masyarakat di sekitar Keraton Kasultanan Yogyakarta. Yang laki-laki menjadi Abdi Dalem Keraton, yang perempuan (istri) menjadi saudagar. Kerja keras dari Nyai Abu Bakar ini menjadikan usahanya maju dan popular sebagai saudagar batik yang cukup berhasil. Karena itulah, keluarga Kiyai Abu Bakar ini menjadi keluarga yang terpandang. Kaya sekaligus sebagai Abdi Dalem Keraton.

Dengan iklim keluarga seperti itu, karakter Kiyai Dahlan tertempa. Makanya, Kiyai Dahlan pun seolah memperoleh legacy sebagai Abdi Dalem Kasultanan Yogyakarta, sementara sang istrinya, Nyai Walidah, yang juga tertempa sebagai karakater yang sama dengan keluarga Kiyai Dahlan, juga menjadi saudagar batik. Sebagai Abdi Dalem, Kiyai Dahlan mendapat gaji dari Kraton sebesar 15 gulden per bulan.

Al kisah, Kiyai Dahlan pernah dimodali oleh orang tuanya sebesar 500 gulden. Namun, sebagian besar untuk membeli kitab. Kiyai tanpa jenuh mendalami pelbagai kitab karena haus ilmu. Makanya, usahanya juga lebih banyak ditangani oleh istrinya.

Tatkala kongres Budi Utomo (BU) digelar di rumah Kiyai Dahlan pada 1917, banyak peserta kongres yang berasal dari luar Yogyakarta berbelanja batik di rumahnya. Sebagai pengusaha, saudagar batik sekaligus sebagai mubaligh, Kiyai Dahlan telah berkeliling ke pelbagaai daerah untuk silaturahim dengan para ulama setempat, berdagang sekaligus memberi pengajian.

Sebagai contoh, tatkala beliau berdakwah ke Solo, Magelang, Ponorogo, Gresik, Surabaya, Sumber Pocung (Kepanjen, Malang), Banyuwangi, Cianjur, Tasikmalaya, Jakarta dll. Selalu membawa cangkingan dagangan batik dan kitab (Adabi Darban, 2010). Apa lagi jika bersama istrinya. Kiyai Dahlan selalu dengan biaya sendiri. Kemana-mana selalu membawa dagangan batik dan kitab. Kitab itu kerapkali pesanan ulama yang dikunjungi.

Dalam perkembangaan saat ini, satu teladan yang bisa dicontoh dari Kiyai Dahlan adalah bagaimana dakwah dibangun di atas kemandirian. Dan, opsi kemandirian yang dipilih Kiyai Dahlan selain sebagai seorang mubaligh, juga sebagai seorang saudagar yang disokong oleh sang istri. Tentu, suasana di masa Kiyai Dahlan, komplikasi masalahnya sudah jauh berbeda dengan dinamika saat ini. Di tengah penjumlahan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang terus berlipat-ganda, besaran aset menanjak, dan sumber daya lainnya yang makin besar, terutama warga, sejatinya harus terus menopang syiar al Islam dan kemuhammadiyaan di semesta ini. Tanpa bosan mewartakan kemaslahatan dan kosmopolitanisme Islam.

Namun, besaran modal sosial Muhammadiyah seperti itu akan rapuh, jika tidak ditopang dengan mental entrepreneurship dalam mengelola persyarikatan, dan salah satunya dibutuhkan bagaimana cara melipat-gandakan penjumlahan mental saudagar itu. Tentu, mental itu harus dimulai dan dibentuk dari keluarga anggota persyarikatan sendiri, dan kemudian didesiminasikan dalam jejaring (networking) dan di Amal Usaha Muhammadiyah. Semoga!
(Beberapa catatan sejarah di atas diadaptasi dari data Bapak Sukriyanto AR).

Tangerang, 25 Mei 2020

Exit mobile version