New Normal, Makhluk Baru di Era Pandemi

Oleh: Deni Al Asyari

New Normal. Begitu pemerintah dan banyak orang menyebutkan. Kalimat itu muncul ditengah ketidakberdayaan manusia, dalam menghadapi virus corona. Sementara, semua aktivitas manusia tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. Mulai dari sektor pendidikan, ekonomi, sosial, agama, dan lain sebagainya.

Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan beberapa tokoh publik, menyampaikan, masa new normal, akan mulai diberlakukan pada bulan Juni 2020. Oleh karenanya, pemerintah meminta masyarakat mulai untuk bersiap menghadapi dan menjalani kondisi new normal ini.

Istilah new normal sendiri, awal mulanya digunakan dalam istilah bisnis dan ekonomi, yang merujuk pada krisis keuangan pada tahun 2007-2008, serta resesi global tahun 2008 – 2012. Kemudian istilah tersebut, berkembang dan digunakan untuk menjelaskan sebuah konsep dan kondisi normal baru atau abnormal yang disepakati.

Konsep new normal yang sekarang disampaikan pemerintah, adalah terkait cara manusia berdamai dengan corona, sekaligus menyesuaikan aktivitas sosialnya dengan kondisi wabah. Misalnya, menjaga kebersihan, menggunakan masker, menjaga jarak, pembatasan ruang publik dan tempat kerja, pembatasan interaksi antar sesama.

New normal dianggap sebagai sebuah pilihan, karena vaksin untuk melawan virus corona ini, sampai sekarang belum ditemukan, bahkan, banyak ahli virus menyebutkan, penemuan vaksin ini, bisa memakan waktu yang panjang. Oleh karenanya, pemerintah, mulai mengajak masyarakat berdamai dengan corona, melalui cara hidup new normal tadi.

Hal ini penting, namun juga jauh lebih penting, sebagaimana yang disampaikan oleh Amien Rais, bahwa pemerintah juga harus menerapkan konsep, standar, ketentuan-ketentuan, dan norma-norma yang menjadi rujukan dalam kehidupan new normal nanti. Tentu tidak hanya sekedar sektor kesehatan, namun juga dalam sektor yang lainnya. Sebab, dalam kondisi normal, semua prilaku, kebijakan dan aturan baik kesehatan, sosial, agama dan ekonomi juga ada standar dan norma rujukannya.

Maka, kondisi new normal, juga harus menerapkan kondisi yang sama, agar masyarakat juga mengerti. Karena istilah ini bisa saja disalahpahami dalam hal yang lebih luas. Misalnya, apakah “pembiaran” jutaan pengangguran yang di PHK akibat wabah covid ini juga bagian dari new normal..? Apakah lonjakan utang negara yang semakin memuncak, terutama sejak masa covid ini, juga bagian new normal..? Apakah mall yang terus dibuka, bandara yang terus berjalan, dan tempat ibadah yang terus tutup, juga bagian dari new normal..?

Apakah kenaikan biaya iuran kesehatan ( BPJS), dan biaya-biaya kebutuhan publik lainnya, juga bagian new normal..? Apakah kondisi ekonomi, yang makin terpuruk juga bagian dari new normal? Apakah harga minyak dunia yang turun, sementara harga BBM dalam negeri tetap sama, juga bagian dari new normal…? Maka, konsep new normal, perlu standar dan kebijakan yang tetap serta dapat menyelamatkan kehidupan masyarakat dan negara.

Walaupun cara berdamai dengan corona, bukanlah pilihan yang tepat, jika sejak awal, pemerintah, memberlakukan aturan yang ketat dan konsisten. Sebab dengan melihat pada propinsi Aceh, yang hingga saat sekarang, angka pasien positif corona, di bawah 20 orang. Menjadi contoh terbaik bagaimana propinsi ini menerapkan aturan dan standar sosial yang sangat ketat.

Semoga, makhluk baru yang bernama new normal ini, tidak menjadi bencana baru untuk kondisi abnormal kembali. Salam.

Deni Al Asyari, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/Suara Muhammadiyah

Exit mobile version