Royyan Mahmuda Daulay
Dalam kitab Al-Mawa’iz Al-Ushfuriyah, karangan Muhammad Bin Abu Bakar Al-Ushfuri, pernah diceritakan sebuah kisah tentang kehidupan Putri Nabi Muhammad Saw, Fatimah Az-Zahrah dan suaminya yaitu Ali Bin Abi Thalib. Suatu ketika Ali pulang ke rumah dan berkata kepada Fatimah, ” Wahai wanita mulia, apakah engkau punya makanan untuk kau hidangkan kepada suamimu ini? “
Fatimah menjawab, ” Demi Allah aku tak punya makanan. Namun aku mendapatkan uang dari hasil menenun kain milik Salma Al-Farisi ra. sebesar enam dirham. Sebenarnya aku ingin membeli makanan untuk Hasan dan Husain dengan uang ini. “
Lantas Ali berkata, “Wahai wanita mulia, berikan uang itu padaku, biar aku saja yang membelikan makanan untuk anak-anak kita. “
Maka Fatimah pun menyerahkan uang itu kepada suaminya. Lalu Ali segera pergi untuk membelanjakan uang tersebut. Ketika berada dalam perjalanan, ada seseorang berdiri di hadapan Ali dan berkata, ” Siapa gerangan yang mau memberi pinjaman kepada Allah yang Maha Menolong lagi Maha Mencukupi? “
Merasa terpanggil hatinya untuk membantu, Ali menyerahkan uang yang dimilikinya kepada orang tersebut. Karena uangnya sudah tidak ada, Ali pulang ke rumah dan menceritakan hal tersebut kepada Fatimah. Awalnya Fatimah menangis karena sedih melihat Ali tidak membawa sesuatu yang direncanakan. Namun Ali menjelaskan bahwa ia meminjamkan hartanya kepada Allah Swt. dan Fatimah menjadi rela karenanya.
Setelah itu, Ali segera pergi untuk bertemu Rosulullah Saw. Akan tetapi saat dalam perjalanan ada seorang lelaki badui dengan membawa seekor unta datang mendekatinya.
” Wahai Abu Hasan, belilah unta ini, ” pinta si Badui itu.
” Aku tidak punya uang, ” Jawab Ali.
” Bagaimana jika aku menjualnya kepadamu dan kamu boleh membayarnya nanti kalau sudah ada uang?” Ujar si Badui merayu.
” Berapa harganya? ” tanya Ali
” Seratus dirham, ” jawab si Badui.
” Baiklah akan kubeli untamu ini, ” kata Ali sepakat.
Namun, baru saja akad jual beli itu selesai, tiba-tiba seorang Badui lainnya datang mendekati Ali. Lalu si Badui tersebut berkata, ” Wahai Abu Hasan, apakah engkau mau menjual unta ini? “
“Ya, ” jawab Ali singkat.
” Berapa harganya? “
” Tiga ratus dirham. “
” Baiklah, kubeli unta ini, ” kata si Badui sepakat.
Si Badui tersebut menyerahkan tiga ratus dirham kepada Ali. Dengan uang tersebut Ali membayar unta yang dibelinya dari si Badui pertama dan memberikan sisanya kepada Fatimah istrinya. Setelah itu Ali kemudian mengunjungi Rosulullah Saw. Setelah tiba di kediaman Rosulullah, Ali kaget karena Beliau telah mengetahui apa yang hendak diceritakannya.
Rosul berkata, ” Berbahagialah engkau, wahai Ali! Engkau telah meminjamkan enam dirham kepada Allah dan Allah memberimu tiga ratus dirham. Artinya, Allah mengganti setiap satu dirham dengan 50 dirham. Ketahuilah, orang Badui yang pertama tadi adalah Malaikat Jibril, sedangkan yang kedua adalah Malaikat Israfil. “
Kisah di atas memiliki banyak sekali hikmah yang dapat diteladani oleh kita umat Nabi Muhammad Saw. saat ini. Mulai dari perkara iman hingga perkara amal sedekah, dapat kita contoh dan tiru pada kehidupan yang fana ini. Fatimah dan Ali, meskipun anak dan menantu Nabi tak lantas menjadikan mereka takabur ataupun kikir. Malah sebaliknya membuat mereka semakin kuat rasa imannya dan lunak hatinya untuk membantu siapa saja. Bahkan saat kondisi sulit pun mereka rela untuk mendermakan hartanya dengan niatan karena Allah Swt.
Karena niat tulus ikhlas itulah Allah dengan rahmat-Nya mengganti kebaikan hati Ali dan kerelaan hati Fatimah dengan sesuatu yang tidak diduga dan di luar ekspektasinya. Ketika rasa ikhlas telah bersemayam di hati dan mengiringi amal perbuatan, maka ridho dan rahmat Allah lah ganjaran yang akan didapatkan. Jangan sampai rasa ikhlas itu tertutupi oleh keinginan untuk mendapatkan ganjaran yang sifatnya duniawi sebagai akibat dari amal baik yang telah dilakukan. Karena dengan perasaan seperti itu maka yang timbul bukanlah keridhaan Allah Swt, dan yang seperti ini seringkali kita lakukan secara sadar atau tidak dalam beramal di kehidupan sehari-hari.
Maka, selayaknya bagi kita untuk bisa meneladani para sahabat dan keturunan Nabi tersebut yang mencontohkan untuk beramal sedekah dengan ikhlas tanpa pamrih, meskipun kondisi dirinya sedang tidak baik-baik saja. Karena amal sedekah pada waktu susah akan lebih bermakna ketimbang saat sedang bergelimang harta. Dan mungkin itu bisa menjadi motivasi kita saat ini, yang meskipun sedang dilanda wabah corona dan mengalami berbagai kesulitan hidup, untuk tetap bisa menghidupkan api kemanusiaan di dalam sanubari dengan bersedekah tanpa pamrih.
Wallahu a’lam bisshowwab
Royyan Mahmuda Daulay, alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta